tirto.id - Seseorang senang bermimpi karena itu barangkali merupakan satu-satunya hal paling benar untuk dilakukan. Namun, Olivier Giroud, penyerang Chelsea dan timnas Perancis, bukan tipe orang macam itu: ia senang bermimpi dan gemar bekerja keras mewujudkan mimpinya. Baginya, itu barulah hal paling benar.
"Karena aku masih mempunyai mimpi," kata Olivier Giroud kepada Guardian pada Desember 2018. “Aku senang berada di klub besar daripada bermain setiap minggu untuk klub semenjana. Memenangkan Premier League adalah mimpi terakhirku sebagai seorang pesepakbola, mungkin melebihi keinginanku untuk memenangkan Liga Champions, karena aku tahu betapa sulitnya memenangkan Premier League [...] Aku ingin mewujudkannya. Aku tidak ingin mengakhiri [karierku] dengan penyesalan apa pun."
Olivier Giroud adalah pemenang Piala Dunia 2018, peraih empat gelar Piala FA, pemenang Puskas Award, dan peraih gelar Ligue 1 bersama Montpellier pada musim 2011-2012. Tetapi saat pria Perancis itu berbicara mengenai mimpinya memenangkan Premier League, publik Inggris jelas akan tertawa meremehkan.
Hampir tujuh musim berjibaku di divisi tertinggi sepakbola Inggris itu, gelar Premier League masih tampak jauh dari Giroud. Setelah mengalami kegagalan meski sudah berjuang selama lima musim lebih bersama Arsenal, peruntungan Giroud tak jauh beda saat pindah ke Chelsea. Malahan, di Chelsea saat ini, untuk mendapatkan kepercayaan saja Giroud butuh usaha setengah mati: ia hanya bermain 21 kali di Premier League, dan hanya 6 kali bermain sebagai starter.
Dan ia juga sudah berusia 32 tahun—umur yang tak lagi muda untuk seorang penyerang.
Namun Giroud ternyata belum mau melempar handuk. Meski kontraknya bersama Chelsea habis pada musim depan, ia masih yakin akan bertahan di klub asal London tersebut untuk terus memperjuangkan mimpinya.
“Aku masih muda,” kata Giroud. “Secara fisik aku dalam kondisi bagus. Aku tahu betapa aku akan merindukan sepakbola setelah pensiun nanti. Aku rasa aku masih memilki masa depan menyenangkan untuk beberapa tahun ke depan.”
Evolusi Giroud
Pada 1952 Lydie Marland, sosialita legendaris Amerika Serikat, mempunyai banyak cara agar terlihat lebih muda dari usia aslinya. Ia, yang saat itu berusia 52, tahu bagaimana cara merawat tubuh. Dan meski matanya sudah tidak bisa memandang dengan jelas, ia enggan mengenakan kacamata. Tapi ada satu hal penting yang justu membuat Marland gagal menutupi usia aslinya.
Soal itu, dalam salah satu esainya di buku Impossible Owls (2018), Brian Phillips, mantan penulis Grantland, menulis: “Mengenai pilihan pakaian, Marland seperti dibekukan oleh waktu. Dia senang menggunakan topi jenis cloche yang modis dua puluh lima tahun sebelumnya, memakai gaun flapper kuno yang cocok untuk wanita muda jauh sebelum masa perang. Pakaiannya dipilih dengan cermat dan dibuat dengan indah, tapi itu untuk zaman dulu sekali. Tetapi pada usianya yang sekarang, di kota kecilnya yang konservatif, setelan itu justru membuatnya tampak seperti orang-orangan sawah.”
Ledekan Phillips untuk Marland tersebut tentu juga cocok dijadikan sindirian untuk Arsene Wenger, mantan pelatih Arsenal. Pada musim panas 2012, saat penyerang model falsenine dan defensive forward mulai menjadi bagian penting di klub-klub besar Eropa, ia justru mendatangkan Olivier Giroud yang bergaya kuno. Mempunyai tinggi 193 cm, Giroud adalah seorang target man, yang hanya mampu bekerja ketika bola sampai ke dalam kotak penalti lawan.
Pada musim pertamanya di Arsenal, musim 2012-2013, Giroud memang penyerang seperti itu. Tampil sebanyak 34 kali di liga, ia berhasil mencetak 11 gol yang sebagian besar dilakukan dengan cara yang sama: sebuah umpan lambung ke kotak yang diselesaikan dengan jarak dekat, entah dengan sundulan kepala maupun melalui sebuah sontekan.
Pada musim keduanya di Arsenal, Giroud tampil sebanyak 36 kali dan jumlah golnya meningkat menjadi 16 biji. Wenger pun terus mengandalkannya. Bahkan saking percayanya kepada Giroud, ia sampai tak mempunyai penyerang alternatif. Alasan Wenger menarik: Giroud selalu bekerja keras dan mulai mengalami perubahan gaya main.
“Aku selalu berpikir: ‘Aku harus mengistirahatkannya, aku harus mengistirahatkannya, aku harus mengistirahatkannya.’ Tapi setiap hari Jumat datang, aku selalu berubah pikiran. Ia [Giroud] adalah pria yang benar-benar tangguh. Bahkan saat tim medis mengatakan bahwa ia harus istirahat, ia akan mengatakan: ‘aku baik-baik saja’,” tutur Wenger pada Januari 2014.
Soal perubahan gaya main Giroud, Daniel Scofield, salah satu penulis The Times, setidaknya mulai menyadarinya pada April 2014. Kala itu, dalam pertandingan Arsenal melawan West Ham United, Giroud sering beroperasi di luar kotak penalti. Entah untuk membuka ruang, menghubungkan serangan, atau menciptakan peluang untuk rekan-rekannya.
Pengamatan Scofield tersebut lantas diperkuat oleh statistik Giroud pada akhir musim. Menurut situs resmi Premier League, pada musim 2013-2014 Giroud lebih sering terlibat dalam bangunan serangan Arsenal daripada pada musim debutnya. Ia mencatatkan 8 assist, mengumpan sebanyak 1114 kali, dan menciptakan 9 kali peluang emas. Sedangkan pada musim sebelumnya, ia hanya mencatatkan 3 assist, mengumpan 697 kali, dan hanya menciptakan 5 peluang emas.
Seiring berjalannya waktu, Giroud terus mengalami perkembangan signifikan, dari seorang target man menjadi penyerang yang mampu memainkan beberapa peran lain. Namun Wenger kemudian menuntut lebih: Giroud harus mampu menjadi seorang penyerang yang mampu berjuang sendirian di lini depan sekaligus mampu mengintimidasi lawan.
Singkat kata, menurut Tony Cascarino, mantan penyerang Irlandia, Wenger ingin Giroud tampil seperti “monster”. Saat Giroud dipukul jatuh pemain bertahan lawan, ia harus berani memukul balik. Saat bek-bek lawan memprovokasinya, ia harus mampu memberikan provokasi yang jauh lebih hebat.
Jika ingin menjadi penyerang top, Cascarino lantas membenarkan tuntutan Wenger itu. Sayangnya, Giroud gagal melakukannya dan disingkirkan Wenger pada bursa transfer musim dingin awal 2018. Namun bukan berarti karier Giroud tamat sesudah itu. Saat perannya mampu dimaksimalkan, ia sebenarnya masih bisa menjadi pemain penting di dalam sebuah tim. Setidaknya, pelatih timnas Perancis Didier Deschamps berhasil membuktikannya pada Piala Dunia 2018.
Giroud Masih Bisa Berperan Penting untuk Chelsea
Dalam gelaran Piala Dunia 2018, kecuali saat menghadapi Australia pada laga pembuka, Giroud selalu menjadi andalan lini depan Perancis hingga menjadi juara. Meski tak mencetak satu gol pun dan hanya mencatatkan satu assist, Didier Deschamps memujinya setinggi langit.
“Akan sangat bagus jika ia mampu mencetak gol, tetapi Olivier [Giroud] selalu murah hati dan tak pernah mengeluh soal kerja keras. Dia mungkin tidak memiliki gaya flamboyan tetapi tim membutuhkannya—dalam bertahan maupun soal kemampuannya di udara—bahkan jika dia tidak mampu mencetak gol. Dia melakukan banyak hal. Pemain yang berada di sekitarnya pun mendapatkan keuntungan,” ujar Deschamps setelah Perancis lolos ke babak semifinal.
Deschamps tentu tidak sedang berjualan kecap. Saat orang-orang mulai membandingkan Giroud dengan Stephane Guivarc'h, penyerang Perancis di Piala Dunia 1998 yang tampak seperti genap-genap di atas lapangan, Giroud jelas berguna bagi tim. Ia mampu membuat Kylian Mbappe dan Antoine Griezmann tampil maksimal, membuat taktik counter attack Deschamp berjalan lapang, serta bisa menjadi defensive forward jika memang diperlukan.
Soal peran defensive forward, penampilan Giroud saat Perancis mengalahkan Belgia 1-0 pada babak semifinal bisa menjadi contoh. Kala itu, daripada berusaha membobol gawang lawan, ia justru tampak seperti seorang pemain bertahan di lini depan.
“Ketika Anda hanya memiliki waktu sembilan menit untuk mengakhiri sebuah kompetisi, apa yang paling penting untuk dilakukan? Tentu, menjaga hasil pertandingan. Aku belum pernah bermain bertahan seperti saat melawan Belgia. Bahkan, aku seperti bermain di posisi nomor enam. Tentu, akan selalu ada pembenci yang mengatakan, ‘tapi Anda tidak mencetak gol.’ Tetapi aku tahu berapa gol yang sudah aku cetak untuk Perancis,” tutur Giroud.
Yang menarik, penampilan Giroud bersama Chelsea di Premier League musim ini sebetulnya tak jauh beda saat ia bermain bersama Perancis di Piala Dunia 2018. Meski hanya bermain sebanyak 21 pertandingan, 6 sebagai starter dan 15 kali sebagai pengganti, ia sebetulnya mampu memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap penampilan Chelsea. Catatan statistik pun memberikan beberapa bukti.
Pertama, Chelsea tidak pernah kalah saat Giroud bermain sebagai starter. Dalam 6 pertandingan tersebut, Chelsea 4 kali menang dan 2 kali bermain imbang. Kedua, dari 13 gol yang dicetak Eden Hazard musim ini, 7 di antaranya terjadi saat Giroud berada di dalam lapangan. Ia memang hanya mencatatkan 2 assist untuk Hazard, tetapi kemampuannya dalam membuka ruang serta dalam menghubungkan sering kali mempermudah Hazard dalam bekerja. Dan terakhir, ia jenis penyerang yang mampu berkorban untuk kepentingan tim.
Pertanyaannya: dengan penampilan seperti itu, mengapa Maurizio Sarri terus-terusan mencadangkannya?
Jika masalahnya adalah jumlah gol, Giroud tentu sudah mampu memberikan pembuktian. Dalam lima pertandingan terakhir, ia mampu mencetak 5 gol, dua untuk timnas Perancis dan tiga untuk Chelsea. Bahkan, saat Chelsea berhasil mengalahkan Dynamo Kiev 0-5 dalam pertandingan leg kedua babak 16 besar Liga Europa, ia terlibat dalam seluruh gol Chelsea: selain mencetak hattrick, ia mencatatkan satu assist, dan berperan besar dalam proses gol ketiga Chelsea yang dicetak Marcos Alonso.
Untuk semua itu, Giroud seharusnya pantas kembali mendapatkan kepercayaan dari Sarri. Setidaknya untuk membawa Chelsea finis di peringkat empat besar, sebelum ia kembali mengejar mimpi untuk meraih gelar Premier League pada tahun-tahun mendatang.
Setelah mencetak hattrick ke gawang Kiev, Sarri pun memberikan tanda-tanda bahwa Giroud bisa menjadi penyelamat Chelsea pada musim ini. “Bagi kami, Olivier adalah pemain yang sangat penting. Aku sangat bahagia untuknya dan untuk tiga golnya. Aku benar-benar bahagia untuknya.”
Editor: Ivan Aulia Ahsan