tirto.id - Laporan terbaru dari Energy Shift Institute (ESI) berjudul “Coal in Indonesia Paradox of Strength and Uncertainty” menyoroti bahwa ketergantungan pada bisnis batu bara dapat menciptakan situasi kompleks di masa depan, meskipun keuntungan saat ini sangat besar.
ESI mengungkapkan bahwa sektor pertambangan batu bara nasional berhasil mencetak laba bersih hingga 31,4 miliar dolar AS antara tahun 2019-2023. Ini menempatkannya sebagai sektor paling menguntungkan kedua setelah perbankan.
Produksi batu bara Indonesia juga terus meningkat, mencapai rekor 837 juta ton pada 2024, naik 7,9 persen dari tahun sebelumnya dan tidak terpengaruh tren penurunan permintaan global. Namun, ESI memperingatkan bahwa kondisi ini tidak akan bertahan lama.
"Kemampuan industri batu bara menghasilkan keuntungan besar dalam beberapa tahun terakhir hanyalah lonjakan sementara, sebuah karakter industri komoditas yang kerap berfluktuasi, dan bukan keunggulan struktural," kata Principal dan Pemimpin Kajian Transisi Batu Bara Indonesia ESI, Hazel Ilango, dilansir Antara, Selasa (17/6/2025).
Meskipun kontribusi batu bara terhadap PDB nasional mencapai sekitar 3,6 persen dan bahkan lebih tinggi di daerah penghasil seperti Kalimantan Timur (40 persen), Sumatra Selatan (25 persen), dan Kalimantan Selatan (15 persen), kontribusi ini berpotensi berkurang dalam jangka panjang.
ESI menemukan, dari analisis SWOT terhadap 12 perusahaan batu bara Indonesia, bahwa sebagian besar tambang merupakan aset yang matang dengan kebutuhan investasi rendah.
Dengan kondisi keuangan yang stabil dan risiko yang relatif rendah, di mana rasio utang terhadap ekuitas rata-rata hanya 21 persen, perusahaan-perusahaan ini memiliki modal yang kuat untuk melakukan diversifikasi usaha.
"Gabungan faktor kepercayaan pasar pada sektor batu bara, kestabilan permintaan dan pasokan dalam jangka menengah, serta profitabilitas yang cukup terjaga, menempatkan Indonesia, eksportir batu bara termal terbesar di dunia, pada posisi yang ideal untuk menggunakan arus kas saat ini guna merancang transisi yang lebih teratur," jelas Putra Adhiguna, rekan penulis laporan tersebut.
Ia mendorong perusahaan tambang Indonesia untuk segera mengambil langkah, alih-alih bersikap wait-and-see.
ESI mencatat bahwa hanya sedikit perusahaan batu bara yang telah mengumumkan langkah parsial untuk mengurangi emisi atau menjajaki energi terbarukan, dan kebanyakan rencana tersebut masih pada tahap awal.