Menuju konten utama
Periksa Data

Perempuan Masih Tak Percaya Diri untuk Maju di Pemilu

Survei Yayasan Plan mengungkap kebanyakan perempuan muda merasa tidak percaya diri jika harus mencalonkan diri mereka dalam Pemilu.

Perempuan Masih Tak Percaya Diri untuk Maju di Pemilu
Header Periksa Data Perempuan Muda Nyaleg. tirto.id/Fuad

tirto.id - Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, isu terkait partisipasi perempuan di politik kembali dibahas. Meski Indonesia pernah memiliki presiden perempuan, yakni Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI yang ke-5, tapi tiga nama yang kerap disebut dalam bursa calon presiden 2024 semuanya laki-laki.

Lantas, bagaimana keterlibatan perempuan dalam politik selama ini di Indonesia? Apakah memang masih minim?

Secara hukum, sebenarnya sudah ada basis untuk mendorong keterlibatan perempuan di politik. Misalnya, menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, salah satu syarat partai politik yang bisa mengikuti pemilu adalah menyertakan paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat.

Namun, kenyataan di lapangan berbeda dengan kondisi ideal. Menurut data Badan Pusat Statitik (BPS), parlemen Indonesia saat ini masih didominasi oleh laki-laki. Rerata partisipasi perempuan di parlemen atau badan legislatif secara nasional pada 2021 hanya berkisar 21,89 persen, naik tipis dari tahun 2020 sebesar 21,09 persen.

Walaupun menurut data, ada tren kenaikan persentase keterwakilan perempuan di parlemen dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, akan tetapi angkanya belum pernah menyentuh 30 persen.

Padahal, suara perempuan diperlukan dalam perumusan kebijakan publik, terutama untuk isu-isu yang menyangkut perempuan, termasuk Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru-baru ini disahkan dan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak.

Lebih jauh, menurut data BPS pula, jika dilihat dari wilayah, tingkat keterlibatan perempuan di legislatif paling tinggi pada 2021 tercatat di Provinsi Kalimantan Tengah, disusul Sulawesi Utara, Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo.

Sementara Nusa Tenggara Barat (NTB) tercatat sebagai provinsi dengan tingkat partisipasi perempuan di parlemen terendah, yakni sekira 1,59 persen.

Apabila ditarik ke level global, keterlibatan perempuan Indonesia di parlemen jauh di bawah, berada di urutan 106 dengan persentase sebesar 21,6 persen. Angka itu didasarkan pada laporan Inter-Parliamentary Union (IPU) bersama Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Keseteraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) per Januari 2023.

Ketimbang negara Asia Tenggara lain, besarnya proporsi perempuan Indonesia di parlemen hanya lebih unggul dibanding Thailand, Malaysia, Kamboja, dan Brunei Darussalam. Namun dari segi proporsi perempuan yang menjadi menteri, persentase Indonesia cenderung tinggi se-Asia Tenggara.

Jumlah menteri perempuan di Indonesia yakni 6 dari total 29 deretan menteri alias sejumlah 20,7 persen, lebih besar dari Vietnam (11,1 persen), Thailand (5,3 persen), Malaysia (16,7 persen), Kamboja (11,1 persen), Singapura (13,3 persen), Laos (17,6 persen), dan Brunei Darussalam (11, 1 persen).

Lebih Percaya Diri Bersuara di Platform Online Ketimbang Ikut Politik Elektoral

Kursi legislatif dan pemerintahan yang saat ini telah diisi oleh para perempuan, nantinya bakal diteruskan oleh generasi-generasi yang lebih muda. Masalahnya, kebanyakan perempuan muda merasa paling tidak percaya diri jika harus mencalonkan diri mereka di kancah pemilu.

Hal itu diungkap hasil survei global Yayasan Plan dalam laporan berjudul “State of the World Girls Report” (SOTWG) yang melibatkan 29 ribu remaja perempuan di 29 negara, termasuk 1.000 perempuan Indonesia berumur 15 – 24 tahun. Domisili respondennya merentang dari Jawa hingga Papua, sementara karakteristik responden survei mencakup kelompok minoritas (secara etnis dan agama) dan pengungsi.

Merujuk laporan SOTWG tersebut, sebanyak 51 persen perempuan muda Indonesia yang mengikuti survei merasa tidak percaya diri untuk ikut dalam politik elektoral maupun mengikuti debat di TV tentang isu sosial, politik, dan ekonomi.

Hal ini serupa dengan temuan global survei SOTWG bahwa 50 persen perempuan merasa tak percaya diri untuk mengajukan diri menjadi kandidat pemilu.

Namun, bukan berarti perempuan tak berani bersuara soal isu-isu politik. Sebanyak 57 persen responden survei SOTWG di Indonesia mengaku percaya diri dalam membagikan konten online sebagai sikap atas suatu masalah, sementara 47 persen bahkan percaya diri dalam membentuk sebuah kelompok untuk mencapai perubahan atas suatu masalah.

Lantas, apa yang membuat perempuan tak percaya diri untuk terjun langsung sebagai pemimpin atau anggota parlemen?

Dalam acara dialog bertajuk “Partisipasi Kaum Muda dan Perempuan dalam Politik” yang digelar Yayasan Plan bersama Jurnal Perempuan sebagai peringatan Hari Perempuan Internasional 2023, Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) Ikhaputri Widiantini mengungkap alasan di balik ketakutan perempuan untuk terjun dalam politik praktis.

Dia bilang, problem utamanya adalah budaya patriarkal, yang kemudian meminggirkan sekaligus mencipta stigma terhadap perempuan.

“Sehingga muncul problem kedua, pola pikir misoginis. Begitu perempuan yang muncul, yang dilihat adalah wow perempuan, ada politisi yang cantik. Jadi orang nggak dilihat politisi yang bicara apa, tapi politisi yang cantik, pakaian yang menarik. Jadi orang diarahkan melihat pakaiannya,” kata Ikha lewat acara yang disiarkan kanal YouTube "Video Jurnal Perempuan" pada 15 Maret 2023.

Hal itu diperparah pula dengan nilai-nilai dalam masyarakat yang masih kurang menerima perempuan sebagai sosok pemimpin. Sebagai gambaran, hanya 20 responden Indonesia percaya perempuan akan diterima di komunitas mereka jika menjadi pemimpin nasional setingkat menteri dan presiden, dibandingkan dengan 49 persen secara global.

Itu artinya, persepsi atas penerimaan masyarakat terhadap perempuan sebagai pemimpin politik di Indonesia tak sampai setengah dari rata-rata global.

Faktor-faktor itulah yang barangkali jadi alasan kenapa kemudian perempuan muda Indonesia merasa lebih percaya diri ketika menyuarakan pendapat secara online dan memilih untuk membicarakan seputar isu sosial, politik, dan ekonomi kepada teman sebaya, alih-alih terlibat dalam politik elektoral.

Sedangkan di kalangan perempuan muda global, mereka justru paling percaya diri dalam mengikuti debat televisi tentang masalah sosial, politik, atau ekonomi, dan mendiskusikan artikel online atau surat kabar tentang masalah yang jadi minat mereka.

Kurang Didengar dan Tak Punya Panutan

Masih mengutip SOTWG, 9 dari 10 anak perempuan dan perempuan muda mengaku mendapati berbagai hambatan dan tantangan ketika berpartisipasi dalam politik.

Tantangan utama di Indonesia, menurut para responden adalah bahwa para politisi cenderung tidak mendengarkan anak perempuan dan remaja perempuan. Tantangan lain meliputi politisi yang tidak membicarakan isu-isu yang berpengaruh terhadap perempuan dan anak perempuan, serta persepsi perempuan muda yang merasa tidak cukup memahami isu-isu politik.

Sama halnya di Indonesia, anggapan bahwa politisi tidak mendengarkan anak perempuan dan perempuan muda juga jadi tantangan utama para perempuan muda di tingkat global. Mereka juga merasa politisi yang menginspirasi keterlibatan perempuan masih minim, dan dunia politik dirasa tidak terbuka untuk partisipasi anak perempuan atau perempuan muda.

Beberapa perempuan muda juga menyatakan tidak memiliki panutan tokoh politik perempuan. Persentasenya yaitu 3 persen di tingkat Indonesia dan 18 persen di level global.

Meski disebut menghadapi sejumlah tantangan, 9 dari 10 perempuan muda Indonesia percaya bahwa partisipasi di dunia politik itu penting. Alasannya, kata sebagian besar responden, perempuan bisa lebih menekankan pada keadilan sosial, pendidikan dan kesehatan dalam keputusan politik.

Partisipasi perempuan muda juga dianggap penting lantaran bisa memperbaiki situasi perempuan muda di masyarakat, di samping juga untuk membuat ruang politik yang lebih inklusif dan representatif.

Selaras dengan tingginya kepercayaan perempuan muda Indonesia dalam menyuarakan pendapat mereka secara online, pengalaman politik mereka memang cenderung berbentuk partisipasi daring seperti mengikuti berita-berita politik lewat media sosial (63 persen).

Secara formal, sebagian besar perempuan muda Indonesia atau sebanyak 61 persen mengaku pernah berkontribusi memberikan suara dalam pemilu di tingkat regional maupun nasional.

Kemiskinan dan Pengangguran Jadi Isu Prioritas

Lantas, untuk perempuan sendiri, apa saja isu-isu yang dianggap penting dalam politik?

Menurut hasil survei Yayasan Plan, bagi kalangan perempuan muda Indonesia, isu yang menjadi prioritas dalam aksi politik yakni kemiskinan dan pengangguran, konflik dan perdamaian, serta kekerasan dan kejahatan komunitas.

Lalu topik penting lainnya adalah akses ke pendidikan, kesehatan mental dan fisik (termasuk kesehatan dan hak seksual dan reproduksi), dan respons terhadap COVID-19.

Sebagian besar isu prioritas itu sejalan pula dengan rerata global yang menilai topik kemiskinan dan pengangguran, konflik dan perdamaian, kekerasan dan kejahatan masyarakat, masalah lingkungan (seperti polusi dan perubahan iklim), kesehatan mental dan fisik (termasuk kesehatan dan hak seksual dan reproduksi), dan akses pendidikan sebagai 5 pilihan terbanyak yang menjadi isu perhatian.

Baca juga artikel terkait PERIKSA DATA atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - Politik
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty