Menuju konten utama

Subsidi Kendaraan Listrik: Solusi atau Menambah Masalah di DKI?

Bhima menilai subsidi kendaraan listrik memang seharusnya dikasih ke transportasi umum bukan kendaraan listrik pribadi.

Subsidi Kendaraan Listrik: Solusi atau Menambah Masalah di DKI?
Presiden Joko Widodo menghadiri acara peresmian Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) Ultra Fast Charging di Central Parking Nusa Dua, Badung, Bali, Jumat (25/3/2022). ANTARA FOTO/Fikri Yusuf/aww.

tirto.id - “Pembelian kendaraan tanpa subsidi pun telah membuat jalan raya macet luar biasa di kota-kota besar. Bila beli kendaraan listrik akan disubsidi, kita mau jalan lewat mana lagi?”

Pernyataan tersebut dilontarkan pegiat transportasi publik, Deddy Herlambang. Dia menilai rencana pemberian insentif kendaraan listrik yang sedang digodok pemerintah tidak menyelesaikan masalah. Terlebih akan menjadi masalah baru bagi Jakarta. Utamanya dalam mengatasi persoalan kemacetan di Ibu Kota.

Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) 2021 secara nasional mencatat pengguna kendaraan umum hanya di bawah 20 persen, atau 80 persen lebih menggunakan kendaraan pribadi.

Sementara data Tim Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (JUTPI) 2018, menyebutkan di Jabodetabek pengguna angkutan umum massal sebesar 9 persen (bukan taksi). Sedangkan 91 persen adalah pengguna kendaraan pribadi.

“Idealnya modal share pengguna kendaraan angkutan umum massal (bukan taksi) 50 persen dan kendaraan pribadi 50 persen, sehingga arus lalu lintas lancar," kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (31/1/2023).

Dari segi pertumbuhan, kendaraan tiap tahun naik berkisar 5-11 persen (tanpa subsidi). Sementara pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen. Menurutnya kondisi tersebut jelas sangat tidak berimbang. Karena jika pembelian kendaraan diberikan subsidi, tentunya akan mempercepat pertumbuhan kendaraan tiap tahunnya, sedangkan ruang jalan akan semakin terbatas lagi.

“Kondisi pemberian subsidi beli kendaraan ini bagai ada 'api' diguyur 'bensin' tapi jauh dari 'air'. Analogi 'air' diibaratkan angkutan umum massal yang masih minim atau belum ada sama sekali," jelasnya.

Dia berharap jika memang akhirnya subsidi kendaraan listrik tetap dilaksanakan, pemerintah hanya memberikan subsidi pembelian kendaraan listrik dengan skema konversi. Dari kendaraan BBM fosil yang dipunyai oleh masyarakat untuk berganti menjadi kendaraan listrik yang baru.

“Kendaraan BBM fosil yang telah dikonversikan akan menjadi milik pemerintah yang kemudian akan dimusnahkan. Sehingga volume kendaraan/STNK tetap sama jumlahnya di negara kita. Adalah salah kalau mendapatkan subsidi kendaraan listrik berbasis baterai tanpa ada konversi dari kendaraan BBM fosil yang sudah dipunyai oleh masyarakat itu sendiri," katanya.

Dialihkan ke Kendaraan Umum

Atas dasar itu, dia menyarankan agar dana subsidi kendaraan listrik sebaiknya digunakan saja untuk pengembangan infrastruktur angkutan umum massal dan lebih berguna untuk orang banyak. Atau dana subsidi tersebut dapat digunakan untuk pembangunan atau perawatan jaringan jalan yang masih memprihatinkan di daerah-daerah pelosok Kalimantan, Sulawesi, Maluku, NTT, Papua sehingga lebih masuk akal.

“Ayo kita kompak memohon kepada pemerintah untuk mencabut rencana subsidi kendaraan listrik ini. Lebih baik subsidi tersebut kita gunakan untuk daerah atau kelompok sosial yang lebih membutuhkan supaya tepat sasaran," kata Deddy.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudistira mengatakan, subsidi kendaraan listrik memang seharusnya dikasih ke transportasi umum bukan kendaraan listrik pribadi. Kecuali bagi wilayah yang populasi mobilnya masih rendah bisa didorong mobil listrik.

"Tapi di daerah yang sudah macet seperti Jabodetabek harusnya ada aturan konversi mobil BBM ke listrik, bukan beli baru. Ini tinggal kerja sama dengan bengkel konversi," kata dia dihubungi terpisah.

Bhima khwatir, jika subsidi kendaraan listrik menyasar kelompok masyarakat menengah atau atas akan menambah jumlah kendaraan baru. Sehingga ujung-ujungnya tetap akan membuat kemacetan yang tidak dihindarkan.

“Mobil listrik meski sudah disubsidi tapi harga tetap terjangkau kelompok menengah ke atas, ujungnya akan beli mobil baru. Terlebih mobil listrik dijadikan gengsi dan menunjukkan status sosial pemilik,” kata dia.

Upaya mengatasi kemacetan di DKI Jakarta seakan tidak ada habisnya. Ini menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Jika terus dibiarkan, dia tak menampik kemacetan ini akan memberikan dampak kerugian terhadap ekonomi.

Menurut data dari Word Bank (2019), nilai kerugian ekonomi yang diakibatkan kemacetan lalu lintas di DKI Jakarta mencapai Rp65 triliun per tahun. Kerugian itu di antaranya dihitung dari pemborosan energi yaitu BBM yang digunakan kendaran bermotor menjadi lebih banyak untuk jarak yang tetap.

Sementara berdasar kajian Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Kementerian Perhubungan bahwa kemacetan yang terjadi di daerah terpadat di Indonesia, Jabodetabek, mengakibatkan kerugian ekonomi senilai Rp71,4 triliun per tahun. Dari kajian tersebut per hari terjadi pemborosan BBM sebanyak 2,2 juta liter di enam kota metropolitan yang menjadi acuan.

Penerapan ERP Kian Nyata

Pengamat Kebijakan Publik, Trubus Rahardiansyah menilai, kemungkinan penerapan kebijakan electronic road pricing (ERP) atau jalan berbayar bisa dilakukan Pemprov DKI untuk mengatasi persoalan kemacetan. Sebab tanpa subsidi kendaraan listrik jumlah kendaraan di Jakarta sudah semakin padat, ditambah adanya rencana insentif maka semakin parah.

“Jadi ini keliatannya mendorong penerapan ERP jadi dibenarkan karena mobil listrik itu murah. Jadi ini keliatannya ke sana," kata dia saat dihubungi.

Dia memahami bahwa subsidi diberikan pemerintah terhadap kendaraan listrik tujuannya untuk merangsang masyarakat agar beralih ke moda transportasi listrik. Tapi akan menjadi kebijakan tidak tepat jika masyarakat justru berusaha untuk menambah kendaraan baru bukan justru konversi.

“Itu sebenernya tidak tepat karena itu akan menjadikan masyarakat istilahnya berusaha untuk menambah mobil baru," katanya.

Gagasan ERP sudah dimulai sejak era Gubernur Sutiyoso. Penerapan ERP sendiri dilakukan di negara lain dalam upaya menekan kemacetan. Di Singapura misalnya, program ERP ini sukses menekan kemacetan pada 2014-2016 setelah menerapkan ERP sejak 1998.

Gagasan pelaksanaan ERP kemudian berlanjut dan diseriusi di era Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Pada 2014-2015, setelah Jokowi jadi presiden dan Ahok jadi gubernur, mereka mulai melakukan uji coba ERP dan melakukan lelang. Akan tetapi, rencana tersebut gagal dilakukan karena dibatalkan LKPP dan KPPU.

Padahal, kala itu, sudah ada pembentukan Badan Layanan Umum Daerah dan sudah ada dua perusahaan yang berminat, yakni Kapsch dan Qfree. Pada 2018 atau di era Anies Baswedan-Sandiaga Uno, proyek ERP kembali dilanjutkan.

Wakil Gubernur DKI Jakarta kala itu, Sandiaga bahkan berjanji akan menerapkan ERP pada 2019. Hal itu disampaikan setelah Jakarta menerima kedatangan perwakilan Austria dan Swedia. Akan tetapi, strategi tersebut gagal.

Teranyar, Penjabat (Pj) Gubernur DKI, Heru Budi Hartono mengatakan, penerapan kebijakan ERP atau jalan berbayar masih dalam tahap proses Raperda di DPRD DKI.

Kepala Sekretariat Presiden (Kasetpres) non-aktif itu menjelaskan, penerapan ERP masih terdapat sejumlah tahap lagi di DPRD DKI dan dibahas sesuai kewenangannya masing-masing sampai menjadi Perda ERP. Setelah pengesahan perda, pemda menentukan proses bisnis dalam pelaksanaan ERP dan lokasi ERP.

“Kira-kira itu, masih ada tujuh tahapan. Itu dibahas mulai tahun 2022 dan dilanjutkan mungkin 2023,” kata Heru di Balai Kota DKI, Jakarta Pusat.

Insentif Kendaraan Listrik Hampir Final

Aturan insentif pembelian kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) sudah dalam tahap finalisasi. Pembahasan mengenai insentif ini pun bahkan sudah pada tahapan tingkat pembicaraan dengan DPR.

“Jadi dalam hal ini untuk finalisasi antar pemerintah sudah sampai pada titik yang hampir final sudah didesain angkanya nanti berapa," kata Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, di Cikarang, Jawa Barat, Jumat (27/1/2023).

Bendahara Negara itu mengatakan dalam aturan insentif yang akan diterbitkan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nantinya akan ditentukan siapa yang akan menjadi kuasa pengguna anggaran dan menerima subsidi tersebut.

“Karena itu, kan, ada alokasi untuk tadi yang disebut untuk subsidinya dan tentu kita sebagai pengelola keuangan negara harus memberitahukan kepada DPR bahwa akan ada pos baru ini," pungkas dia.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan sebelumnya mengatakan, aturan insentif pembelian kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) akan segera diumumkan pada awal Februari mendatang. Insentif tersebut akan diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

“Mudah-mudahan minggu depan, Februari awal. Rp7 juta ya kira-kira untuk motor listrik baru dan nanti akan diumumkan semua, nanti akan diprioritaskan untuk rakyat yang sederhana," ungkap Menko Luhut dalam acara Saratoga Investment Summit 2023 di Jakarta, dikutip Jumat (26/1/2023).

Luhut mengatakan Indonesia telah siap dalam membangun ekosistem menuju transformasi KBLBB dengan telah dibangunnya proyek kawasan industri Kalimantan Industrial Park Indonesia (KIPI) Tanah Kuning, Kalimantan Utara.

“Ekosistem yang kita bangun ini sudah ada raw material-nya, refinery-nya, EV battery-nya semua sudah tersusun. Ini sudah berjalan dan presiden akan ground-breaking tanggal 27 Februari 1.400 Megawatt dari 10.000 Megawatt di Sungai Kayan dan sekitarnya. Jadi ini one of the largest and greatest downstream industry akan ada di Tanah Kuning nanti," katanya.

Baca juga artikel terkait KENDARAAN LISTRIK atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz