Menuju konten utama

Freeport McMoRan Masih Ingin Beroperasi di Indonesia

"Kami berkomitmen untuk tetap di Indonesia. Ini sumber daya yang penting bagi Freeport, juga merupakan objek penting bagi pemerintah dan Papua," kata Presiden dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Adkerson.

Freeport McMoRan Masih Ingin Beroperasi di Indonesia
President dan CEO Freeport-McMoRan Inc Richard C Adkerson (kanan) berjabat tangan dengan Penasihat Senior PT Freeport Indonesia Chappy Hakim (kiri) usai konferensi pers di Jakarta, Senin (20/2). Freeport menolak untuk mengakhiri kontrak karya dengan pemerintah namun masih membuka pintu untuk bernegosiasi terkait dengan izin operasi dan persetujuan ekspor konsentrat. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay.

tirto.id - PT Freeport Indonesia menegaskan akan tetap beroperasi di Indonesia meskipun nantinya tidak ada kesepakatan antara pemerintah dan perusahaan mengenai status kontrak pertambangan. Dilakukannya hal tersebut, karena Indonesia dianggap penting bagi Freeport.

Hal tersebut disampaikan oleh Presiden dan CEO Freeport McMoRan Inc Richard C. Adkerson dalam jumpa pers di Jakarta, Senin (20/2/2017).

"Kami berkomitmen untuk tetap di Indonesia. Ini sumber daya yang penting bagi Freeport, juga merupakan objek penting bagi pemerintah dan Papua," kata Richard dikutip dari Antara.

Selama beroperasi di Indonesia, kata dia, perusahaan tersebut telah menginvestasikan 12 miliar dolar AS dan sedang melakukan investasi 15 miliar dolar AS dengan menyerap 32.000 tenaga kerja Indonesia.

Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia juga telah menerima 60 persen manfaat finansial langsung dari Freeport, seperti pajak, royalti dan dividen yang dibayarkan kepada pemerintah sejak 1991 yang melebihi 16,5 miliar dolar AS. Sedangkan Freeport McMoRan telah menerima 108 miliar dolar AS dalam bentuk dividen.

"Pajak-pajak, royalti-royalti, dan dividen-dividen di masa mendatang yang akan dibayarkan kepada Pemerintah hingga 2041 diperkirakan melebihi 40 miliar dolar AS," imbuhnya.

Sementara untuk Papua, Richard menegaskan bahwa perusahaan itu juga telah berkontribusi hingga 90 persen dalam kegiatan ekonomi Mimika, Papua. Bahkan, ia mengklaim sepertiga kegiatan ekonomi di Papua ditopang oleh bisnis Freeport.

"Selama sisa kontrak, Indonesia akan menerima lebih dari 40 miliar dolar AS. Aset ini terlalu besar bagi kami untuk keluar. Yang kami butuhkan adalah mencari solusi untuk kerja sama dan kami berkomitmen bekerjasama dengan pemerintah," ujarnya.

Richard menjelaskan sejak berakhirnya izin ekspor pada 12 Januari 2017, kegiatan operasi Freeport sudah tersendat. Perusahaan itu bahkan telah berhenti beroperasi sejak 10 Februari lalu lantaran tidak ada tempat penyimpanan konsentrat.

Hal itu juga diperparah dengan adanya pemogokan kerja oleh karyawan smelter Gresik, yang hanya mampu menyerap 40 persen produksi konsentrat dari tambang di Grasberg.

"Kami berhenti operasi pabrik kami 10 hari yang lalu karena tidak ada storage [penyimpanan] untuk simpan konsentrat kami dan tidak bisa ekspor konsentrat. Kami tidak bisa menghasilkan produk yang tidak bisa kami jual. Akibatnya kami turunkan produksi sangat tajam," ujarnya.

Ia menambahkan Freeport akan melakukan efisiensi dan memangkas biaya-biaya, termasuk melakukan pengurangan karyawan.

"Kami lakukan pengurangan karyawan dua hari lalu kepada kurang dari 10 persen ekspatriat kami. Minggu ini juga kami akan stop karyawan kontraktor kami. Dari 32.000 karyawan, 12.000 karyawan merupakan karyawan langsung kami," katanya.

Richard juga mengaku prihatin dengan keadaan tersebut, namun ia menegaskan hal tersebut dilakukan bukan untuk menekan pemerintah dalam rangka negosiasi status kontrak.

"Kami lakukan ini bukan karena negosiasi dengan pemerintah tapi hanya terpaksa agar bisnis bisa berjalan secara finansial. Kami harap bisa segera ada jalan keluar," ujar Richard.

Baca juga artikel terkait FREEPORT INDONESIA atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto