Menuju konten utama

Formappi Nilai Sulit Tentukan Angka Ideal Ambang Batas Parlemen

Penentuan angka ideal ambang batas parlemen atau parlementary threshold dinilai akan menjadi tarik menarik antara partai besar dan menengah di Senayan.

Formappi Nilai Sulit Tentukan Angka Ideal Ambang Batas Parlemen
Suasana saat rapat paripurna ke-13 masa persidangan IV tahun sidang 2023-2024 di kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (5/3/2024). Rapat Paripurna tersebut dalam rangka pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023-2024. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/Spt.

tirto.id - Penentuan angka ideal ambang batas parlemen atau parlementary threshold dinilai akan menjadi tarik menarik antara partai besar dan menengah di Senayan. Saat ini, sejumlah anggota DPR RI dari berbagai partai politik di Senayan, mulai mematok angka ambang batas parlemen.

Hal itu terjadi usai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) meminta DPR agar mengubah ambang batas parlemen sebelum 2029. Misalnya, Nasdem menginginkan angka 7 persen, PPP mematok 2,5 persen, dan PAN ingin ambang batas parlemen 2-3 persen.

Menurut Peneliti Bidang Legislasi Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, partai besar cenderung merasa perlu menaikkan angka ambang batas, sedangkan parpol kecil menginginkan yang lebih rendah.

"Tarik menarik antara dua kubu itu akhirnya diselesaikan melalui kompromi. Selalu seperti itu sih selama ini penentuan PT itu," kata Lucius saat dihubungi Tirto, Kamis (7/3/2024).

Lucius Karus mengatakan, sangat sulit menentukan angka ideal ambang batas parlemen untuk menjawab kebutuhan akan proporsionalitas. Di sisi lain, perlunya penguatan sistem presidensil.

Menurut lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta itu, putusan MK tersebut menjadi pengingat bagi DPR agar tak sekadar menentukan ambang batas parlemen sebagai angka kompromi.

"Faktanya memang angka parlementary threshold ini merupakan angka kompromi," ucap Lucius.

Sejatinya, kata pengamat asal Nusa Tenggara Timur ini, MK tidak menentukan angka pasti ambang batas parlemen demi menjamin suara tidak sia-sia sekaligus proporsional, serta penguatan sistem presidensial.

Lucius menilai peluang terbuka bagi banyak parpol lolos ke Senayan bila angka ambang batas parlemen diperkecil menjadi 1-2 persen. Menurutnya, hal itu akan berujung pada tidak ramahnya sistem presidensial di Indonesia.

Pasalnya, kata dia, yang diinginkan oleh sistem presidensial ialah jumlah parpol yang tidak terlalu banyak di parlemen, sehingga proses pengambilan keputusan menjadi efektif.

"Bayangkan kalau dengan PT 1-2 persen saja lalu akan ada 10-15 parpol yang masuk parlemen, bagaimana nanti proses pengambilan keputusan bisa lebih efektif? Setiap parpol punya kepentingan yang tak bisa begitu saja diabaikan," kata Lucius Karus.

Sementara itu, Sekretaris Fraksi PPP di DPR RI, Achmad Baidowi atau Awiek, menilai bila angka PT dinaikkan menjadi 7 persen sebagaimana keinginan Nasdem justru melawan putusan MK. Sebab, menurut Ketua DPP PPP itu, dalam pertimbangan MK bahwa 4 persen itu menyebabkan pemilu yang disproporsional dan banyak suara yang terbuang. Oleh karena itu, untuk menentukan angka ambang batas parlemen harus dihitung-hitung dengan angka yang akademik dan rasional.

"Besaran angka PT yang dibenarkan tidak bertentangan dengan hak politik kedaulatan rakyat dan rasionalitas, sehingga harus menggunakan argumen yang memadai serta secara nyata dan tidak menimbulkan disproporsionalitas," kata Awiek kepada Tirto, Kamis (7/3/2024).

Awiek mengatakan, keinginan mereka menurunkan angka batas parlemen menadi 2,5 persen sudah tepat untuk meminimalkan disproporsionalitas antara suara sah dan penentuan jumlah kursi, sekaligus memperkuat penyederhanaan partai politik di DPR RI.

Awiek mengatakan ide penyederhanaan partai politik di DPR, tidak boleh berbenturan dengan keharusan menjaga prinsip proporsionalitas hasil pemilu dengan penentuan jumlah kursi di DPR.

"Kalau 7 persen, maka pertimbangan hukum MK itu bertentangan semua," tukas Awiek.

Dalam kesempatan terpisah, anggota Komisi III DPR RI F-PDIP Arteria Dahlan mengaku bingung dengan putusan MK yang meminta DPR mengubah ambang batas parlemen. Akan tetapi, Arteria menghormati putusan tersebut.

"Jadi, kan, kita juga bingung kalau setiap saat ini berubah-berubah ya. Apapun itu inilah namanya pematangan demokrasi kita, ya, kita hormati saja," kata Arteria kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (6/3/2024).

Selain Nasdem, PAN juga telah mematok angka ambang batas parlemen setelah putusan MK itu. Anggota DPR komisi II fraksi PAN DPR RI, Guspardi Gaus, menginginkan ambang batas parlemen diubah ke 2-3 persen. Namun, dia mengakui pihaknya belum bisa memutuskan karena belum menerima salinan putusan.

"Ya ini, kan, dipergunakan untuk pemilu 2029 bukan 2024. Diperkirakan 2-3 persen. Karana di dalam putusan MK itu penyederhanaan penataan antara partai politik yang ada di Senayan," kata Guspardi.

Sementara Partai Nasdem ingin ambang batas parlemen naik menjadi tujuh persen. Anggota DPR RI Fraksi Nasdem, Sugeng Prawoto, menilai ambang batas parlemen perlu dinaikkan agar ada penyederhanaan partai politik di parlemen. Harapannya tidak ada perbedaan signifikan ideologi partai politik di Indonesia.

"Dari dulu kita memang ingin 7 persen supaya mohon maaf kita harus realistis tidak semua orang lantas bikin partai politik sedemikian rupa ya kalau memang kita seideologi," tutur Sugeng.

MK sendiri menilai ketentuan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen suara sah nasional yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.

Baca juga artikel terkait PARLEMENTARY THRESHOLD atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Politik
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Anggun P Situmorang