Menuju konten utama

Film Musik Makan dan Upaya Menghadirkan Bioskop Alternatif

Ada berbagai macam ruang alternatif pemutaran film mulai dari kafe, hotel, bioskop mini, dan festival.

Film Musik Makan dan Upaya Menghadirkan Bioskop Alternatif
Poster Film Musik Makan 2018. FOTO/Istimewa

tirto.id - Sutradara Ismail Basbeth punya obsesi membuat omnibus --serangkaian karya yang dirilis dalam waktu berbeda-- sejak awal menjadi sutradara. Keinginan tersebut selalu gagal di tengah jalan. Proyek film panjang lain datang dan mesti digarap terlebih dulu. Muncullah Mencari Hilal dan Talak Tiga. Setelah dua film tayang, Basbeth punya tugas membimbing sutradara muda dalam membuat karya. Ini membuatnya selalu resah lantaran belum menemukan kesempatan untuk mengejar mimpinya. Tapi pada akhirnya, ia bersikukuh untuk menyediakan waktu dalam membuat omnimbus.

“Saya ingin membuat film tanpa naskah, tanpa cerita, tanpa brainstorming dulu. Wis aku capek. Sekali ini saja saya ingin semuanya saya yang mengarahkan,” kata Basbeth.

Maka terciptalah Mobil Bekas dan Kisah-Kisah Dalam Putaran. Omnimbus minim suara minim dialog dengan ‘bintang utama’ mobil jip produksi Amerika Serikat 1943. Film dibuat berdasar riset Basbeth tentang persoalan di Indonesia. “Saya melihat perkara apa saja yang belum selesai sejak tahun 1945 sampai 2016. Ada berbagai permasalahan mulai dari ekonomi, politik, seni budaya, sosial, dan sejarah. Tani dan kekuasaan misalnya,” lanjut Basbeth.

Film ini pertama kali diputar di Busan Internasional Film Festival 2017. Kemudian di Tokyo International Film Festival, dan Hong Kong International Film Festival. Di Indonesia, Mobil Bekas tayang di Jogja- Netpac Asian Film Festival. Di Jakarta, film tayang pada hari Sabtu lalu sebagai penutup acara Film Musik Makan (FMM) 2018.

FMM adalah acara yang bertujuan menjadi ruang pertemuan antara pelaku dunia perfilman dan penikmat dunia perfilman melalui diskusi dan pemutaran film-film independen Indonesia yang baru diciptakan. Sesuai namanya, acara ini disertai penjualan makanan dari sineas dalam negeri yang punya usaha makanan, dan musik dari grup-grup baru.

Festival ini pertama kali diadakan lima tahun lalu. Saat itu FMM diadakan sebagai ajang premiere film Rocket Rain karya Anggun Priambodo. “Saya tidak mengira FMM bisa jadi acara tahunan. Ternyata masyarakat punya minat terhadap film independen. Sutradara pun sadar tentang kebutuhan terhadap ruang alternatif ini. Salah satu kontribusi terpenting FMM adalah membuat publik tahu kemana mereka harus datang untuk melihat film-film independen baru,” kata Meiske Taurisia, pendiri Kolektif, penyelenggara FMM.

Tahun ini FMM memutar lima film pendek dan dua film panjang yaitu Mobil Bekas, Malila: The Farewell Flower (Anucha Boonyawatana), Joko (Suryo Wiyogo), Happy Family (Eden Junjung), Elegi Melodi (Jason Iskandar), Waung (Wregas Bhanuteja), dan Madonna (Sinung Winahyoko). Hiburan musik datang dari Rental Video, grup musik beranggotakan Adrian Yunan, Harlan Boer, dan Andri Boer. Mereka menciptakan lagu-lagu yang terinspirasi dari film Indonesia lawas. Tiket FMM 2018 dijual seharga Rp150 ribu. Jumlah penonton setiap sesi bisa mencapai 200-an orang dari seluruh kapasitas ruangan yang berjumlah 301 kursi.

Sejak tahun lalu, FMM menayangkan film dari luar Indonesia khususnya kawasan ASEAN. Di tahun ini FMM turut diadakan di Bandung untuk pertama kalinya. Meiske merasakan peningkatan minat dari sutradara-sutradara dalam negeri untuk menampilkan karya di FMM. Peningkatan juga ia rasakan dari sisi komunitas film yang hendak menyelenggarakan acara pemutaran film independen di ruang-ruang alternatif.

“Permintaan yang sampai pada Kolektif menggambarkan peningkatan permintaan terhadap film indie. Sekarang orang yang menghubungi kami ialah perwakilan dari hotel, kafe, co-working space. Ruang alternatif pemutaran film sudah berkembang ke tempat-tempat baru. Di Kolektif, kami mengadakan 20 pemutaran film per bulan. Kami bekerjasama dengan 68 komunitas yang tersebar di beberapa kota. Sekarang jumlah penonton kolektif bisa sampai 9.000 orang,” kata Meiske.

Infografik Film Musik Makan

Geliat Bioskop Alternatif

Di Jakarta saat ini ada beberapa ruang alternatif yang cukup rutin memutar film. Antara lain Kineforum, Kinosaurus, dan Paviliun 28. Kineforum ialah ruang alternatif pemutaran film independen pertama yang berbentuk bioskop. Ruang ini muncul pada tahun 2006 dan diinisiasi oleh beberapa praktisi perfilman, salah satunya Riri Riza. Situs Dewan Kesenian Jakarta menyebut bahwa Kineforum adalah wujud keinginan para pembuat film independen pada tahun 1970-an.

Mereka ingin memiliki gedung bioskop alternatif yang bisa memutar film selain film-film yang yang beredar di bioskop. Alexander Matius, mantan manager program Kineforum mengatakan bahwa sebelum Kineforum, ada program pemutaran film alternatif bernama Arthouse. Cikal bakal program tersebut ialah komunitas film bernama Kine Klub pada akhir tahun 1960-an. Saat itu komunitas tersebut pernah menyelenggarakan program pemutaran film dengan tema-tema yang cair misalnya, pemutaran film Jepang.

Keberadaan ruang pemutaran film alternatif turut didambakan oleh sutradara muda. Cinema Poetica pernah mewawancarai beberapa sutradara, di antaranya Jason Iskandar, Chairun Nissa, dan Charlotte Cynthia Wijaya. Dalam artikel berjudul "Sineas dan Layar Alternatif", sutradara- sutradara tersebut berpendapat tentang pentingnya ruang alternatif. Mereka menganggap ruang alternatif bisa menjadi sarana untuk melakukan misi sosial, cara untuk meraih reputasi, cara untuk menayangkan film dengan genre tertentu, dan motivasi untuk kembali berkarya.

Dalam kurun waktu tiga tahun ke belakang muncul Paviliun 28 dan Kinosaurus. Paviliun 28 menata ruang pemutaran serupa bioskop dengan kapasitas 40 orang. Kinosaurus muncul pada tahun 2016. Ruang ditata layaknya kafe yang dilengkapi layar besar. Kedua tempat tersebut mengadaptasi model program film yakni mengkurasi film berdasarkan tema pilhan yang dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu.

Matius yang kini bekerja sebagai manajer program Kinosaurus berkata bahwa kini tema-tema yang diangkat berasal dari masalah yang menjadi perbincangan publik. Ia membagi film menjadi dua bagian. yakni karya bagi mereka yang hendak belajar tentang film dan karya untuk penonton yang ingin belajar lewat film. Ekspektasi utama Matius ialah penonton bisa mendapat masukan baru dari film yang diputar. Setelah film usai akan diadakan diskusi yang menghadirkan sosok-sosok yang terlibat dalam film.

“Dalam ruang pemutaran alternatif harus ada pertemuan dan dialog,” katanya.

Bagaimanapun, ruang alternatif ini tetap punya tantangan tersendiri. Menurut Matius, tantangan terberatnya adalah ketersediaan film. Ini bukan berarti hanya bicara ada atau tidaknya film. "Bisa saja filmnya ada tetapi kita tidak punya uang untuk membayar distributor. Atau proposal pemutaran ditolak dengan berbagai pertimbangan,” ucap Matius. Tantangan ini toh tidak membuatnya putus asa. Ia tetap bahagia karena menjadi manajer program pemutaran film alternatif bisa membuatnya membuatnya melihat film dari sudut pandang baru.

Meiske mencoba untuk meringankan tantangan itu lewat Kolektif. Baginya, Kolektif adalah wujud dari pengalaman masa lalu yang sulit mencari film independen. “Saya tahu betapa sulit komunitas mencari film independen. Apabila komunitas tidak tahu di mana tempat mencari film, bagaimana mereka bisa survive dan memberikan layanan pada publik?”

Baca juga artikel terkait FESTIVAL FILM atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Film
Reporter: Joan Aurelia
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Nuran Wibisono