Menuju konten utama

Fanatisme Massa Pendukung Ahok

Gelombang aksi dukungan terhadap Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masih berlanjut hingga Kamis (11/5/2017).

Fanatisme Massa Pendukung Ahok
Potret pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok menyalakan lilin di depan Rutan Cipinang, Jakarta, sebagai bentuk dukungan serta simpati untuk Ahok yang ditahan di Rutan Cipinang, Selasa (9/5). tirto.id/Andrey Gromico.

tirto.id - Gelombang aksi dukungan terhadap Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok masih berlanjut hingga Kamis (11/5/2017). Massa yang mayoritas berpakaian kotak-kotak itu terus melakukan aksi usai Ahok ditahan setelah Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis dua tahun penjara, pada Selasa (9/5/2017). Mereka terus mendesak agar penahanan Ahok ditangguhkan.

Massa pendukung Ahok setidaknya telah melakukan aksi di 5 titik secara maraton, yakni di Jalan RM Harsono, Jakarta sembari mendengar vonis hakim; Rutan Cipinang (tempat Ahok ditahan pertama kali); Mako Brimob yang kini menjadi tempat tahanan Ahok; Balaikota DKI Jakarta; dan Pengadilan Tinggi Jakarta.

Mereka juga melakukan aksi lilin di Tugu Proklamasi, Jakarta, pada Rabu (10/5/2017) malam. Tuntutan mereka sama, yaitu: menuntut Ahok untuk dibebaskan.

Selain itu, massa pendukung Ahok juga berupaya menggalang 1 juta KTP demi menjamin penangguhan penahanan mantan Bupati Belitung Timur itu.

Dalam pantauan Tirto hingga Kamis (11/5/2017), jumlah massa memang tidak begitu banyak. Dalam pantauan di Mako Brimob, pada Rabu (10/5/2017), misalnya, jumlah massa tidak mencapai ratusan.

Massa pendukung Ahok pun menggunakan beragam alat untuk menyatakan simpati, dukungan, hingga tuntutan bebas kepada Ahok. Ada beberapa orang yang menggunakan poster, gambar, hingga doa bersama saat larut malam untuk menunjukkan simpati mereka Gubernur DKI Jakarta non-aktif itu.

Beberapa kali karangan bunga terus berdatangan ke Mako Brimob, tempat Ahok ditahan. Namun, bunga tersebut selalu dikembalikan kepada pemiliknya. Belum lagi ada beberapa pendukung mantan Bupati Belitung Timur itu yang rela sampai menginap di Mako Brimob demi menunggu Ahok bebas.

Misalnya, Santi (41), Warga Kalisari, Jakarta Timur ini lebih memilih untuk menunggu di depan Mako Brimob daripada berjalan ke Tugu Proklamasi.

“Sampai nunggu sini aja. Karena pak Ahok di sini. Kita nunggu dia di sini sampai kapan pun,” kata Santi saat berbincang dengan Tirto, di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Rabu (10/5/2017).

Aksi menuntut Ahok agar dibebaskan ini terus berlanjut. Di Balai Kota, pada Kamis (11/5/2017) massa pendukung Ahok kembali melakukan aksi. Mereka melakukan orasi dan mengajak massa agar terus berjuang untuk Ahok.

“Kita harus bebaskan Ahok, kita harus perjuangkan Indonesia. Ahok sudah berjuang untuk kita, sekarang kita berjuang untuk Ahok. Kita hapuskan pasal yang memenjarakan Ahok,” ujar Kindawati (58), pada Kamis (11/5/2017).

Menanggapi desakan tersebut, Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi meminta kepada seluruh pihak yang menolak keputusan penahanan Ahok untuk tidak bersikap anarkis. Ia mengajak publik untuk menghormati keputusan hakim.

“Mengimbau kembali semua pihak untuk menghormati proses dan putusan hakim,” ujar Farid dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, Kamis (11/5/2017).

Farid meminta publik untuk menghentikan semua tindakan-tindakan yang mengintervensi hakim maupun pengadilan. Ia menilai sikap tersebut sebagai bentuk merendahkan kehormatan, keluhuran martabat hakim maupun peradilan Indonesia.

Farid menyarankan publik untuk menggunakan proses formil sesuai ketentuan hukum. Menurut dia, hukum mengatur tentang pengajuan penangguhan penahanan, keberatan substansi putusan dengan mengajukan banding hingga dugaan adanya pelanggaran KEPPH (Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim) dapat dilaporkan ke KY.

Di saat yang sama, KY mengimbau aparat untuk merespons sikap massa yang mengganggu ketertiban. KY mendukung aparat penegak hukum untuk tegas kepada pihak yang memicu keributan.

“Meminta aparat penegak hukum menindak tegas pihak-pihak yang melakukan kericuhan merespons proses dan putusan hakim dan penahanan Basuki Tjahja Purnama," kata Farid.

Di sisi lain, polisi siap mengamankan segala tindak aksi demo penolak Ahok ditahan. Ia mengaku, polisi akan bersikap mengamankan aksi. “Kita siapkan pengamanan yang terpenting tidak mengganggu," kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono, Jakarta, Kamis (11/5/2017).

Argo mengatakan, mereka belum menindak massa karena massa beraksi damai. Ia menegaskan segala aksi yang dilakukan beberapa lalu mendapat pemberitahuan dari kepolisian. Mereka pun melakukan pengamanan demi menjaga ketertiban umum.

“Kita juga mengedepankan diskresi kepolisian. Dia tidak mengganggu ketertiban umum. Begitu lempar-lempar ya kita dorong," tutur Argo.

Saat disinggung mengenai massa pendukung Ahok banyak wanita, Argo mengaku polisi lebih mengedepankan preventif. Mereka akan lebih berfokus pada dialog daripada menggunakan pendekatan represif.

Menjawab Fanatisme Massa Pendukung Ahok

Semangat pantang mundur dan fanatisme para pendukung Ahok memunculkan pertanyaan. Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Muradi angkat bicara soal fanatisme yang muncul usai penahanan Ahok. Menurut Muradi, fanatisme kepada Ahok merupakan hal yang wajar dalam politik.

“Fanatisme normal saja. Bukan yang surprise. Perkara ini menjadi fenomena karena dia jarang," ujar Muradi saat dihubungi Tirto, Kamis (11/5/2017).

Menurut Muradi ada beberapa poin yang membuat massa pendukung Ahok menjadi fanatik, bahkan membabi buta. Pertama, kata dia, masyarakat merindukan pemimpin yang bekerja. Muradi menilai, kinerja Ahok sebagai pemimpin sangat baik. Hal itu terlihat dari hasil survei saat Pilkada DKI 2017 yang menilai kinerja Ahok di atas 50 persen.

Kinerja mantan Bupati Belitung Timur itu menyasar ke semua elemen, baik menengah atas maupun menengah ke bawah. Apalagi jumlah pemimpin yang bekerja sedikit sehingga masyarakat rela membela Ahok.

“Pemimpin yang kemudian punya track record baik itu dirindukan oleh publik," kata Muradi.

Menurut Muradi, Ahok telah menerapkan konsep politik, yakni pemimpin butuh legitimasi rakyat sementara rakyat butuh pemimpin yang bekerja. Dengan demikian, massa rela bertindak fanatik. Muradi menambahkan, sedikit pemimpin yang mempunyai basis massa fanatik setelah Orde Baru.

Fanatisme ini pun muncul, kata Muradi, bukan karena Ahok mempunyai massa, tetapi massa yang memang melihat Ahok berdasarkan kinerja dan kepemimpinannya.

Poin kedua, lanjut Muradi, yang memunculkan fanatisme kepada Ahok adalah proses peradilan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Muradi melihat, masyarakat menuding vonis hakim tidak adil kepada Ahok.

Sikap hakim yang tidak sependapat dengan jaksa penuntut umum, kata Muradi, menjadi dasar publik menilai persidangan tidak adil. Masyarakat menjadi bertanya-tanya dengan keputusan hakim, apalagi hakim yang memutus perkara Ahok mendapat kenaikan jabatan usai vonis tersebut. Hal tersebut, kata Muradi, ikut menjadi pemicu emosi para pendukung Ahok.

Ketiga adalah tata kelola peradilan. Setelah melihat kejanggalan dalam persidangan Ahok dengan pasal penodaan agama, massa ingin menghapus pasal karet tersebut. Tujuannya adalah agar kejadian kasus serupa tidak terulang kembali di kemudian hari.

“Saya sih menganggap untuk review ulang pasal penistaan agama itu untuk mematahkan pemimpin yang bukan dari agama mayoritas," kata Muradi.

Keempat adalah publik. Setelah Ahok divonis dua tahun dan dipenjara, massa penuntut Ahok menjadi diam. Di sisi lain, mereka yang mendukung Ahok dibebaskan menjadi bergerak. Mereka melakukan beragam cara agar Ahok bebas. Namun demikian, Muradi menilai, aksi pendukung Ahok tidak akan sama seperti aksi bela Islam.

“Nggak lah. Bahwa mereka [pendukung Ahok] masih marah iya," kata Muradi.

Akan tetapi, kata Muradi, massa bisa diredam apabila bisa memenuhi 3 kriteria. Pertama, putusan banding Ahok mencerminkan keadilan. Keadilan dapat dilihat massa apabila Pengadilan Tinggi dapat memberikan putusan mendekati tuntutan jaksa. Kemudian, lanjut Muradi, pengadilan bisa memberikan vonis sesuai peradilan yang berlaku.

Sementara itu, sosiolog dari Universitas Indonesia (UI) Thamrin A. Tomagola menilai bahwa fanatisme terhadap Ahok sebenarnya adalah bentuk emosi masyarakat yang ingin mempunyai pemimpin baik. Hal tersebut sebagai bentuk kerinduan kepada seorang pemimpin yang benar-benar bekerja secara profesional, jujur, dan bersih.

“Ini sebenarnya menunjukkan ya kerinduan masyarakat kepada seorang pemimpin yang benar-benar tulus bekerja untuk rakyat, profesional, jujur dan bersih. Kerinduan itu sangat kuat karena selama ini kita mempunyai pemimpin-pemimpin, politisi-politisi yang busuk," ujar Thamrin saat berbincang dengan Tirto, di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Rabu (10/5/2017).

Thamrin mengatakan, fanatisme masyarakat kepada Ahok semakin menguat akibat mantan Bupati Belitung Timur itu terseret kasus penodaan agama. Menurut dia, publik melihat kasus Ahok janggal karena perkaranya langsung diseret ke pengadilan. Empati tersebut semakin membesar karena Ahok divonis bersalah dalam perkara dugaan penistaan agama tersebut.

“Nah masyarakat ini melihat sekarang pak Ahok itu bukan lagi hanya terpidana, tetapi mereka malah melihat dia sebagai orang yang teraniaya, yang tidak pernah korupsi tapi dihukum dan dia sekarang menjadi simbol dari segala sesuatu yang bersih, jujur, bekerja profesional dan sungguh-sungguh. Dia sekarang menjadi simbol dan simbol itu ada dalam pikiran dan hati rakyat,” kata Thamrin.

Thamrin memprediksi, aksi simpatik kepada Ahok akan membesar setelah suami Veronica Tan tersebut ditahan. Ia menilai situasi ini sebagai bentuk penganiayaan kepada Ahok. Massa bisa bergerak karena mereka muak dengan kehadiran politisi dan birokrat yang busuk. Menurut dia, Ahok yang menjadi simbol akan terus didorong untuk dibebaskan dari penjara.

Meskipun dukungan terlihat besar dalam tiga hari terakhir, Thamrin pesimistis aksi akan bergerak terkonsolidasi seperti aksi bela Islam yang dilakukan berjilid-jilid. “Ini masih terbatas sebagai simbol. Belum terorganisir menjadi satu kekuatan yang misalnya bisa memobilisir massa seperti yang terjadi dalam aksi bela islam 1, 2, dan 3,” ujar Thamrin.

Thamrin menilai, massa Ahok tidak perlu melakukan pendekatan mobilisasi massa. Ia berharap para pendukung Ahok sebaiknya tidak menggunakan pendekatan otot. Kalau pun mau melakukan aksi, ia menyarankan agar aksi tidak mengganggu ketertiban.

"Kalau datang dalam jumlah kecil, hanya untuk menunjukkan bahwa mereka berkabung dan bersimpati, nggak apa-apa. Tapi jangan sampai datang dalam jumlah yang banyak, kemudian menimbulkan kemacetan, malah keributan. Jangan sama sekali," kata Thamrin.

Baca juga artikel terkait SIDANG AHOK atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz