tirto.id - Yoga Pratama, relawan Team Rescue Ambulans Indonesia (TRAI) Jakarta, menjadi korban kekerasan polisi saat demonstrasi menolak UU Cipta Kerja di Cikini, Jakarta Pusat, 13 Oktober 2020. Yoga dipukul hingga luka di bagian mata, hidung, dan bibir.
Ini bermula ketika Yoga dan para relawan selesai membagi-bagikan air minum, makanan, dan obat-obatan kepada siapa saja yang membutuhkan dalam aksi tersebut pada pukul 18.00. Ketika itu mereka hendak pulang ke titik temu di posko PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.
Di barisan paling depan ada dua pengendara motor dari TRAI, organisasi kemanusiaan yang memfasilitasi ambulans darurat dan memiliki relawan di berbagai daerah. Di barisan kedua, ada ambulans yang ditumpangi Yoga, tiga anggota TRAI Jakarta lain, dan satu anggota Indonesia Escorting Ambulance (IEA) Bandung, organisasi pengawal ambulans agar bisa lekas sampai ke tujuan menembus kemacetan jalanan.
Paling belakang ada satu lagi ambulans yang dinaiki tiga anggota TRAI dan satu orang dari yayasan swasta yang bermarkas di Depok, Jawa Barat.
Belum sampai tujuan, ada polisi memberhentikan mereka. Pertama-tama ambulans Yoga yang digeledah. Polisi tidak menemukan hal membahayakan. Yoga dan empat relawan lainnya diminta masuk kembali.
Setelah itu ambulans kedua yang hendak diperiksa malah tancap gas menjauh. Yoga dan relawan ambulans depan kebingungan. Polisi pun memaksa mereka turun lagi, bahkan kaca depan mobil retak akibat digedor polisi.
“Gua ditarik, langsung dipukul. Sadar-sadar sudah di tanah, begitu bangun, dipukul lagi. Untung ada satu Brimob meluk melindungi. Kami dibawa ke mobil,” ujar Yoga kepada reporter Tirto, Senin (19/10/2020).
Rifqi Aiman, teman satu mobil Yoga, relawan TRAI Jakarta, turut menjadi korban pemukulan polisi. Dahinya memar meski tak separah Yoga. Ia melihat wajah Yoga sudah penuh darah. “Pas kena pukul gua mikir, ‘kok gini amat jadi relawan, teman gua sampai berdarah mukanya’,” ujarnya kepada reporter Tirto pada kesempatan yang sama.
Setelah itu mereka beserta dua pengendara sepeda motor digiring ke Polda Metro Jaya. Polisi juga sempat menangkap satu relawan dari ambulans belakang yang terjatuh saat berupaya kabur.
Ketika bertugas, TRAI dan IEA berada di bawah koordinasi Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). MDMC hanya menerjunkan tim medis yang berjaga di posko, sedangkan TRAI dan IEA melakukan evakuasi dari lokasi demo ke posko medis.
Ketua MDMC Budi Setiawan yang telah mengetahui kabar penangkapan relawan menghubungi polisi untuk “menjelaskan mereka itu siapa.” “Kami membantu agar mereka dilepas karena tidak salah. Mereka relawan,” kata Budi Setiawan kepada reporter Tirto, Jumat (16/10/2020).
Kabid Humas PMJ Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan razia dilakukan karena polisi mendapatkan informasi “ada yang mencoba memanfaatkan situasi.” Ia menduga ambulans tersebut bukan untuk kepentingan medis, “tapi mengirimkan logistik dan batu untuk para pendemo.” “Ini keterangan dari salah satu [relawan] yang loncat,” ujarnya di PMJ, 14 Oktober 2020.
Ambulans yang melaju kencang dan coba dihentikan dengan tembakan gas air mata namun gagal ini terus diburu malam itu. Polisi menemukannya di Taman Ismail Marzuki. Tiga relawan yang ada di dalamnya langsung ditangkap ke PMJ pada hari yang sama.
Para relawan, yang jumlahnya 11 orang, baru dibebaskan pada 14 Oktober malam. Mereka dikenakan wajib lapor seminggu dua kali.
Terpaksa Mengaku
Tiba di Polda Metro Jaya, Yoga langsung diberikan obat penghilang rasa sakit. Kemudian ia dan tujuh relawan lain diinterogasi di sebuah ruangan. Kondisi tubuhnya yang penuh luka tidak menghentikan kekerasan polisi. “Kalau diceritain sedih,” ujarnya. “Kami terpanggil untuk membantu sesama: mahasiswa, polisi, dan warga sipil. Tapi nyatanya kami yang jadi korban.”
Menurut Rifqi, polisi memberikan pukulan dengan rotan untuk setiap pertanyaan yang diajukan kepada relawan. Mereka dipaksa mengakui membawa batu dalam ambulans. “Daripada mati konyol kesakitan, gua ngalah. Gua jawab iya [ada batu di ambulans],” ujar Rifqi.
Adjie Sambas, relawan TRAI Jakarta yang berada di ambulans depan, juga yakin tak ada batu di ambulans belakang. Ia hanya mendengar desas-desus dari sesama relawan yang ditangkap saat berada di PMJ, tanpa diperlihatkan bukti fisiknya oleh kepolisian. “Masih abu-abu [kabar ditemukan batu]. Kami masih menunggu penyelidikan [polisi],” ujarnya kepada reporter Tirto dalam kesempatan yang sama.
Meski begitu ia yakin dua ambulans hanya berisi air minum, makanan, dan obat-obatan. Tanpa batu, petasan, apalagi benda tajam seperti yang tersebar di media sosial.
Selain dikenakan wajib lapor selama dua hari dalam satu minggu untuk waktu yang tidak ditetapkan, telepon pintar para relawan juga disita polisi. Menurut Sambas, akan dipulangkan pada 22 Oktober.
“Katanya untuk memantau, takutnya ada provokator. Karena masih ada demo lagi, kan,” katanya.
Penulis: Irwan Syambudi & Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino