tirto.id - Kasus dugaan perbudakan modern di kapal milik perusahaan Cina memasuki babak baru. Kepolisian Indonesia mulai menyelidiki dugaan keterlibatan perusahaan pengirim pekerja migran di Tanah Air.
Dalam proses penyelidikan ada fakta-fakta baru yang digali dari para anak buah kapal (ABK) yang telah pulang ke Indonesia pekan lalu.
Saat ini 14 ABK menjalani karantina selama 14 hari di Rumah Perlindungan Trauma Center (RPTC) milik Kementerian Sosial di Jakarta. Mereka diwakili oleh kuasa hukum Dalimunthe & Tampubolon (DNT) Lawyers.
Pengacara Indonesia telah berkoordinasi dengan lembaga yang telah menangani advokasi di Korea Selatan yakni Environmental Justice Foundation (EJF), yayasan yang berfokus pada isu keadilan lingkungan berbasis di London, dan pengacara publik Advocates for Public Interest Law (APIL).
Kuasa hukum ABK dari DNT Lawyers, Krido Sasmito memaparkan fakta terbaru. Di antaranya, masalah gaji dan pungutan liar.
Sebagian ABK tidak menerima gaji dan sebagian lagi baru digaji untuk setara tiga bulan. Padahal 14 ABK telah bekerja selama 13 bulan.
Gaji yang diterima pun tak sesuai kontrak. Ada ABK menerima gaji USD 120 setara Rp1,7 juta untuk 13 bulan bekerja. Sesuai kontrak mereka menerima USD 300 per bulan.
Selama tiga bulan pertama bekerja, seluruh ABK tidak menerima utuh gaji. Dalih kapten kapal, ada pemotongan untuk hal biaya administratif.
Padahal sesuai aturan, biaya rekrutmen tidak dibebankan kepada ABK, melainkan perusahaan. Ia menyebut pemotongan gaji ABK itu “melanggar aturan dan terindikasi pidana”.
Pengacara menemukan fakta lain. Sebelum ABK berangkat, mereka membayar kepada agensi dan perekrut berkisar Rp800 ribu hingga Rp5 juta. Krido menyebut biaya itu bagian dari pungutan liar, karena seharusnya mereka tak dipungut biaya saat mendaftar jadi pekerja migran.
Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengatakan, pemerintah akan berusaha mencari cara agar hak-hak yang belum dibayar segera dipenuhi oleh perusahaan kapal di Cina. Pemerintah Cina disebut telah berkomitmen membantu penuntasan masalah ABK.
Penyakit Misterius Menimpa ABK
Para ABK tersebut telah bekerja di Dalian Ocean Fishing Co. Ltd., perusahaan penangkapan ikan berbasis di Distrik Zhongshan, Dalian, kota pelabuhan besar di Provinsi Liaoning, Cina.
Perusahaan terdaftar sebagai grup penangkap ikan tuna dengan tujuh kapal yakni Long Xing 629, Long Xing 806, Long Xing 805, Long Xing 630, Long Xing 802, Long Xing 605, dan Tian Yu 8.
ABK Indonesia berpindah-pindah kapal saat ‘diperbudak’. Mereka semula berada di Kapal Long Xing 629 sejak berlayar pada 15 Februari 2019. Menurut pengacara para ABK, kapal ini melaut non-setop selama 13 bulan tanpa sandar ke daratan di Perairan Samoa.
Saat itu terjadi musibah. Ada ABK meninggal akibat penyakit yang belum jelas. Hal ini disampaikan pengacara ABK, Krido Sasmita.
Keduanya Sepri, 24 tahun, dan M Muh Alfatah, 19 tahun. Keduanya tidak mendapat izin pengobatan di daratan. Mereka menahan sakit selama lebih dari sebulan.
Jenis penyakitnya tak jelas. Ciri-ciri yang tampak yakni badan membengkak, sakit pada bagian dada, dan sesak nafas. Pada masa kritis, Alfatah dipindah ke Long Xing 802, sementara Sepri tetap di Long Xing 629.
Sepri, 24 tahun, warga Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan ini akhirnya meninggal di Kapal Long Xing 629 pada 21 Desember 2019. Kemudian menyusul meninggal M Muh Alfatah di Long Xing 802 pada 27 Desember 2019. Kedua jasad ABK dilarung ke laut (burial at sea). Setelah itu, dua ABK lagi meninggal.
Saat itu, kapal Long Xing 629 akan meneruskan pelayaran ke Cina. Para ABK dialihkan ke Kapal Tian Yu 8 dan Long Xing 605 untuk menuju Busan, Korea Selatan pada Maret 2020.
Di tengah jalan, seorang ABK, Ari, 24 tahun, asal Ogan Komering Ilir Sumatra Selatan, sakit keras selama 17 hari. Ia meninggal pada 30 Maret. Pemakamannya sama dengan dua ABK sebelumnya.
Hanya satu ABK meninggal berikutnya yang jenazahnya sampai ke Indonesia. Ia adalah Effendi Pasaribu yang dimakamkan di Desa Pahieme II, Kecamatan Sorkam Barat, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatra Utara.
Ia meninggal di rumah sakit Busan pada 27 April setelah kapal sandar di Korea Selatan. Sebelum dibawa ke rumah sakit, sebetulnya Effendi telah mengeluh sakit sejak Februari.
Gejala fisik yang dialami keempat ABK sebelum meninggal sama saja yakni badan bengkak dan sesak nafas.
Pengacara ABK, Krido Sasmita menyebut penyakit keempat ABK tidak menular, tapi “mereka keracunan dari makanan-makanan tak layak yang disediakan di kapal Long Xing.”
Lebih dari setahun, para ABK mengonsumsi makanan dari stok pangan kapal dan meminum hasil penyulingan air dari laut. Sedangkan ABK senior dan kapten kapal mengonsumsi makanan segar yang disuplai kapal grup lain dan meminum air mineral kemasan.
Polri Bidik Perusahaan Perekrut ABK
Mereka juga mengalami kekerasan berupa pemukulan saat di kapal. Padahal mereka sudah kerja 18 jam sehari, bahkan hingga 48 jam non-setop saat tangkapan ikan banyak.
Atas temuan fakta tersebut, kepolisian kini telah memeriksa 14 ABK. Dikutip dari Antara, Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Ferdy Sambo telah meminta 14 buku pelaut (seaman book) dan menanyai syahbandar.
Maskapai yang memberangkatkan ABK dari Jakarta ke Korea Selatan juga diperiksa untuk periksa prosedur pengiriman pekerja migran oleh perusahaan. Bareskrim tengah menyelidiki dugaan pelanggaran perusahaan.
Menurut Sambo, bila tak sesuai prosedur, perusahaan bisa kena Pasal 81 UU Pekerja Migran dan Pasal 4 UU 21/2007 tentang tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
“Kami tengah menyelidiki sesuai prosedur atau tidak pengiriman pekerja migran. Kami sudah periksa mereka di Jakarta,” kata Sambo.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Abdul Aziz