tirto.id - Kuasa hukum anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di kapal Long Xing 629 dari DNT Lawyers, Pahrur Dalimunthe, mendesak pemerintah menindak tegas para pelaku eksploitasi. Ia meminta pemerintah tak hanya menghukum tegas para pelaku, tapi juga korporasinya.
“Kami berharap agar para pelaku segera ditangkap dan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya,” kata Pahrur lewat keterangan pers yang diterima wartawan Tirto, Senin (11/5/2020) pagi. “Juga korporasi dan aktor pengendali yang ada di Indonesia. UU TPPO memungkinkan untuk itu.”
UU TPPO atau Tindak Pidana Perdagangan Orang mendefinisikan perdagangan orang sebagai: “tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”
Mereka bisa bekerja di kapal luar negeri karena pertama-tama dijanjikan pekerjaan bergaji tinggi oleh calo atau biasa disebut sponsor. Calo inilah yang menghubungkan para calon ABK degan agen penyalur. Peran calo berhenti ketika para calon ABK sudah ditangani penyalur. Baik calo atau agen penyalur lepas tangan terhadap apa yang terjadi kemudian.
Kasus ini telah ditangani polisi. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Ferdy Sambo mengatakan penyidik berusaha mempercepat upaya pemeriksaan terhadap 14 ABK yang kini sudah dipulangkan ke Indonesia. Menurutnya sangat mungkin bagi Polri bekerja sama dengan Interpol agar menjerat pelaku yang berada di luar negeri memiliki ruang gerak yang terbatas.
Pahrur mengatakan jika dimungkinkan, “Polri juga dapat meminta red notice Interpol kepada para pelaku yang berada di luar negeri serta kapal-kapal yang satu grup dengan pelaku dimintakan Purple Notice Interpol, sehingga minimal dapat membatasi ruang gerak para pelaku.”
Data Western & Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC), organisasi pelestari ikan bermigrasi tinggi seperti tuna, menyebut tiga dari empat kapal yang mengangkut ABK Indonesia dimiliki satu perusahaan, hanya berbeda kepemilikan. Kapal Long Xing 629 terdaftar atas nama Zhou Feng; Long Xing 802 dimiliki Huang Zhenbao; dan Tian Yu 8 dipunyai Kanghongcai.
Kata Pahrur, Kapal Long Xing ini yang berada di bawah bendera Dalian Ocean Fishing Co., Ltd.
Apa yang terjadi kepada para ABK asal Indonesia itu adalah penghinaan terhadap kemanusiaan. Mereka diduga menerima upah murah: dijanjikan 300 dolar AS per bulan tapi nyatanya hanya 42 dolar AS per bulan atau kurang dari 1 dolar AS per hari. Mereka juga terkungkung karena paspor disita oleh kapten kapal.
Di atas kapal, mereka minum dari penyulingan air laut dan memicu gangguan kesehatan. Itu hanya sebagian dari perlakuan tak manusiawi yang mereka terima, sehingga empat orang meninggal dan dilarung di laut.
Tak hanya kasus eksploitasi dan pelanggaran HAM, Pahrur menduga Kapal Long Xing juga melakukan illegal fishing dengan menangkap ikan yang dilindungi.
“Hasil tangkapan berupa 20 ekor hiu per hari biasanya akan ditransfer ke kapal lain di tengah laut. Pada periode tangkapan terakhir, mereka memiliki 16 boks yang masing-masing berisi 45 kilogram sirip hiu,” tambahnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino