tirto.id - Pengacara DNT Lawyers, Pahrur Dalimunthe selaku kuasa hukum para anak buah kapal (ABK) asal Indonesia di Kapal Long Xing 629 menilai bahwa pihak agensi yang membuka jasa rekrutmen bagi para ABK lepas tangan terhadap keberlangsungan hidup para ABK.
Pahrur mengatakan pihak agensi tak bisa memastikan apakah para ABK yang dipekerjakan di atas Kapal Long Xing 629 mendapat hidup yang layak atau tidak. Calon ABK yang direkrut biasanya merupakan orang yang memiliki latar belakang ekonomi dan pendidikan yang lemah.
Mereka adalah orang yang putus asa mencari pekerjaan layak di dalam negeri, sehingga mudah didatangi oleh calo penempatan tenaga kerja (biasa disebut sponsor). Calon itu menjanjikan ada pekerjaan yang layak dengan iming-iming gaji besar, salah satunya menjadi ABK.
"Jika setuju, maka para korban akan dibawa ke agen penyalur ABK, tugas sponsor berhenti sampai di sini dan kemudian mendapatkan uang dari agen penyalur. Setelah itu, agen penyalur akan bekerjasama dengan pemilik kapal untuk penempatan ABK," kata Pahrur lewat pers rilisnya yang diterima wartawan Tirto, Senin (11/5/2020).
Pada kasus Kapal Long Xing 629, Pahrur menduga pihak agensi tutup mata dan melepaskan tanggung jawab tentang situasi dan nasib para ABK di kapal itu. Akibatnya para ABK harus hidup ditempat yang tidak layak dengan makanan dan minuman yang tidak manusiawi.
Lebih parahnya lagi, menurut Pahrur agensi yang seharusnya mengirimkan uang kepada keluarga ABK juga tidak melaksanakan kewajibannya itu. Padahal secara hukum agensi bertanggungjawab terhadap ABK dalam masa prakerja, saat kerja dan setelah kerja [pemulangan].
“Ini jelas bentuk perbudakan modern, dimana pihak penyalur [agensi] tutup mata akan hal ini dan hanya mengejar keuntungan semata," tuturnya.
Pahrur menjelaskan banyak bentuk eksploitasi dan dugaan perdagangan orang terhadap para ABK saat bekerja di atas Kapal Long Xing 629.
Pertama mengenai jam kerja yang mengharuskan para ABK bekerja selama 18 jam setiap hari. Bila tangkapan ikan sedang berlimpah, para ABK harus kerja terus-menerus selama 48 jam tanpa istirahat, kata Pahrur.
Ia juga menduga, selama 13 bulan kapal terus berada di tengah laut tanpa pernah berlabuh atau melihat daratan, diduga karena kapal melakukan aktivitas ilegal sehingga menghindari pemeriksaan petugas di pelabuhan.
"Juga diduga untuk membatasi akses ABK untuk dapat mengadu ke pihak lain tentang kondisi tidak manusiawi di atas kapal," katanya.
Pahrur menambahkan ABK asal Indonesia kerap hanya diberikan air sulingan dari air laut yang masih sangat asin, sedangkan ABK Tiongkok meminum air mineral dalam kemasan botol. Padahal, beberapa penelitian menunjukkan kebanyakan minum asin dapat menyebabkan hipertensi dan jantung.
Tak hanya itu, kesengsaraan semakin bertambah lantaran gaji selama tiga bulan pertama tidak diberikan secara utuh karena alasan biaya administratif.
"Padahal menurut ketentuan dalam UU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, pembebanan biaya rekrutmen kepada pekerja merupakan tindak pidana," tuturnya.
Data Western & Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC), organisasi pelestari ikan bermigrasi tinggi seperti tuna, memberikan data pemilik kapal Cina. Tiga dari empat kapal yang mengangkut ABK Indonesia teregistrasi. Mereka satu perusahaan hanya berbeda kepemilikan.
Kapal Long Xing 629 terdaftar atas nama Zhou Feng; Long Xing 802 dimiliki Huang Zhenbao; dan Tian Yu 8 dipunyai Kanghongcai. Ketiganya terdaftar sebagai kapal penangkap ikan tuna. Hanya saja, dalam praktiknya seperti dilaporkan MBC, kapal itu justru menangkap ikan hiu yang diduga di ambang kepunahan.
Mereka memotong sirip ikan hiu dan ditaruh dalam wadah berukuran setidaknya 45 kilogram, lalu dijual ke kapal lain di atas laut (transhipment). Perburuan sirip hiu diduga membuat kapal Cina ini takut terkena masalah hukum sehingga enggan merapat ke negara terdekat untuk mengobati ABK Indonesia yang sakit dan akhirnya meninggal, menurut laporan MBC.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto