tirto.id - Ekonom senior Universitas Indonesia Faisal Basri mengkritik rencana pemerintah menelurkan kebijakan melalui RUU Omnibus Law atau yang diberi nama “Cipta Lapangan Kerja”.
Dalam artikelnya bertajuk “Sesat Pikir Omnibus Law”, Faisal mengulas alasannya menyatakan bahwa Omnibus Law sama sekali bukan solusi untuk perekonomian Indonesia. Ia bahkan menduga kalau pemerintah salah diagnosis.
“Jika Omnibus Law bertujuan untuk menggenjot investasi agar pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, boleh jadi jauh panggang dari api,” ucap Faisal dalam tulisan di website resminya, Senin (20/1/2020).
Faisal pertama-tama menjelaskan kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia mandek lantaran kurang investasi adalah keliru. Menurutnya, capaian investasi Indonesia tidak buruk.
Indikatornya, Faisal merujuk pada capaian pembentukan modal tetap bruto yang masih di atas pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dalam 5 tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik pun mengonfirmasi itu kalau kisarannya masih 4,7-6,6 persen dibanding PDB yang mentok di 4,88-5,17 persen.
Lalu Faisal merujuk juga pada pertumbuhan investasi Indonesia yang relatif lebih tinggi dari Malaysia, Afrika Selatan, dan Brasil. Data World Bank bertajuk World Development Indicators Indonesia bahkan masih lebih baik dari Cina.
Masih dalam tajuk data yang sama, porsi investasi terhadap PDB Indonesia juga tergolong lebih baik. Dari rata-rata negara berpendapatan menengah dan atas di kisaran 26,8 persen dan 29,6 persen Indonesia ada di kisaran 32,3 persen di tahun 2018. Nilai ini memang masih kalah dari Cina tapi Faisal bilang negara itu sudah mulai menunjukkan tren menurun.
Hal ini juga menjadi bukti menarik di balik fakta kalau banyak investasi asing yang justru terpental oleh pemerintah seperti penguasaan Freeport, Blok Mahakam sampai PT Holcim. Indonesia tetap menjadi negara yang menarik investasi.
“Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia masuk dalam top-20 penerima investasi asing,” ucap Faisal mengutip World Investment Report 2019.
Faisal pun menyoroti kalau pemerintah gagal mendeteksi penyebab mandeknya pertumbuhan ekonomi. Misalnya porsi ekspor yang juga digadang-gadang bakal meningkatkan pertumbuhan justru tak terurus lantaran investasi mesin dan peralatan rendah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kalau investasi Indonesia sejak 2010-2019 untuk mesin dan peralatan hanya 9-10 persen dari PDB dibanding konstruksi fisik yang mencapai 73-75 persen.
Lalu pemanfaatan kapasitas produksi industri rata-rata di bawah 90 persen misalnya otomotif dan tekstil di kisaran 50 persen. Hal ini menurutnya jadi biang kalau investasi seolah tampak seret.
Kesalahan terakhir, menurut Faisal, tampak pada lemahnya kondisi lembaga keuangan dan perbankan. Menurut Faisal, pertumbuhan kredit yang terus melambat jadi indikasi kalau industri keuangan tak kunjung pulih dari kondisi ketika mengalami krisis. Menurutnya, pemerintah bahkan kurang menelurkan solusi untuk benar-benar mengatasi ini.
“Bagaimana perekonomian hendak berlari cepat jika detak jantung lemah,” ucap Faisal.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri