tirto.id - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko meminta publik tidak menggugat rancangan undang-undang omnibus law tentang cipta lapangan kerja.
Ia beralasan, pemerintah ingin agar ada kepastian hukum dalam dunia kerja dan investasi sehingga tidak perlu menggugat omnibus law cipta lapangan kerja.
"Saya mengimbau kita ini kan ingin maju, ya. Bukan berarti kita enggak maju sekarang. Tapi kita ingin ke depan bisa memberikan kepastian kepada semua pihak. Itu intinya," kata Moeldoko di kantor staf kepresidenan, Jakarta, Senin (20/1/2019).
Moeldoko mengatakan, Indonesia harus mampu memanfaatkan momentum perang dagang antara Amerika dan China.
Salah satunya, untuk mendorong penanaman modal asing di sektor manufaktur ketika pabrik-pabrik asal China melakukan relokasi ke Asia Tenggara untuk menghindari pengenaan tarif bea masuk dari Amerika.
"Kan mesti evaluasi, kenapa kemarin pada saat relokasi (pabrik-pabrik di Cina pindah ke negara Asia Tenggara) kok enggak ada yang ke Indonesia. Kan ada sesuatu. Nah setelah kita cari, harus ada pembenahan-pembenahan," kata Moeldoko.
"Jadi jangan berpikir negatif dulu. Tetapi kita lihat semuanya dari sisi positif karena pemerintah ingin ciptakan iklim [investasi] positif," lanjut Moeldoko.
Moeldoko menegaskan, pandangan negatif terkait RUU Omnibus Law perlu diluruskan dan ia meminta publik sabar atas draf yang tengah digodok oleh pemerintah.
"Itu lah persepsi. Belum tahu substansi utuh, terus dikomentari, jadinya bias. Tunggu saja substansinya," kata Moeldoko.
Sebelumnya, Koalisi Masyarakat Sipil mengritik omnibus law karena berdampak negatif seperti menghapus hak perempuan dalam bekerja dan berpotensi merusak ekologi.
Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, berencana untuk mengajukan Constitutional Complaint ke Mahkamah Konstitusi untuk RUU Omnibus Law, yang sedang dirancang oleh pemerintah. Karena menurut Arif, tak ada dasar konstitusional pembentukan RUU Omnibus Law ini.
“Saya berpendapat bisa [ajukan Constitutional Complaint]. Kenapa? Karena setiap perbuatan pemerintah ini harus ada landasan konstitusi. Sedangkan landasan peraturan perundang-undangannya [Omnibus Law] tidak ada,” kata Arif.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Hendra Friana