tirto.id - Fadli Zon bak aktivis pro-demokrasi ketika mengkritik penahanan sekutunya, Ahmad Dhani, yang dipenjara karena tersangkut UU ITE. Disebut mirip aktivis pro-demokrasi karena kata-kata yang ia pilih semisal "otoriter" dan "menindas hak berpendapat". Begini katanya, Senin 28 Januari kemarin:
"Vonis dan ditahannya Ahmad Dhani adalah lonceng kematian demokrasi di Indonesia. Bukti nyata rezim ini semakin otoriter dan menindas hak berpendapat baik lisan maupun tulisan yang dijamin konstitusi. #SaveAhmadDhani."
Sebetulnya Fadli tak perlu mengatakan itu semisal UU ITE tidak ada, atau minimal pasal karetnya. Catatan kami, sangat kecil kemungkinannya orang yang didakwa UU ITE bisa lolos dari jerat hukum. Jumlah mereka yang bisa lolos hanya 6,12 persen.
Satu dekade setelah UU ITE disahkan, tercatat ada 245 laporan yang didasarkan pada Undang-Undang tersebut. Pelaporan semakin meningkat jelang tahun politik.
Beberapa pihak ingin aturan itu dihapus, atau pasal-pasal karetnya, seperti Pasal 27 ayat 2, direvisi. Dan Fadli, dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua DPR, punya kuasa untuk itu. DPR, selain pemerintah, adalah pihak yang bisa merevisi UU.
Tapi Fadli enggan melakukan itu. Bagi dia, kasus Dhani bukan karena UU ITE yang salah, tapi sebatas penerapannya yang tidak tepat.
"Kalau UU [ITE] bisa saja UU-nya benar, tapi penerapannya salah. Menurut saya [kasus Dhani) masih pada wilayah kebebasan berpendapat," ujarnya, sebelum menjenguk Dhani di Lapas Cipinang, Rabu (30/1/2019) kemarin.
Ia pun kemudian berkelit lebih jauh.
"Kita harus mengawasi [UU ITE] itu. ITE tuh maksudnya transaksi elektronik, itu lebih kepada perdagangan juga dan ini tidak ada hoaksnya. Orang bicara enggak ada subjeknya [ditujukan pada siapa]," kata Fadli.
Bicara Karena Kawannya yang Kena
Kasus Dhani bermula dari laporan Jack B. Lapian, yang mengaku pendukung Basuki Tjahaja Purnama. Ia melaporkan twit Dhani pada 7 Februari, 6 Maret, dan 7 Maret 2017.
Pada 7 Februari Dhani menulis: "Yang menistakan agama si Ahok, yang diadili KH Ma'ruf Amin..." Pada 6 Maret ia kembali menulis: "Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya."
Terakhir, pada 7 Maret, dia menulis: "Sila pertama Ketuhanan YME. Penista agama jadi gubernur... Kalian waras???".
Dhani dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian. Ia pun divonis 1 tahun 6 bulan penjara—lebih ringan dari tuntutan JPU, 2 tahun penjara.
'Korban' UU ITE bukan cuma pesohor macam Dhani atau Basuki Tjahaja Purnama (BTP), tapi juga orang-orang biasa seperti Prita Mulyasari dan Baiq Nuril Maknun.
Adi Prayitno, pengajar Ilmu Politik dari UIN Syarif Hidayatullah, merasa Fadli hanya bicara besar ketika kawannya saja yang jadi korban. Adi merujuk pada sikap Fadli yang merasa tak ada yang salah dengan UU ITE dan sikapnya yang biasa-biasa saja pada kasus-kasus UU ITE yang lain. Ia bahkan salah satu pihak yang mendorong BTP dipenjara saja pada 2016-2017 lalu.
"Fadli ini seharusnya introspeksi diri juga. UU ITE ini sudah banyak korban, bukan cuman Ahmad Dhani saja. Ahok contohnya," ujar Adi kepada reporter Tirto.
"Jangan dia [Fadli] terlihat seperti anggota LSM yang bergerak karena [rekannya] Ahmad Dhani yang terkena kasus," tambah Adi.
Hal serupa dikatakan Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu. Sebagai pimpinan DPR dan pimpinan partai oposisi, kata Erasmus, Fadli semestinya bisa menggerakkan partai dan koalisi untuk revisi UU ITE.
"Oposisi, kan, punya kursi di DPR. Fadli Zon dan kawan-kawan itu, kan, punya kursi di sana. Kalau dia merasa UU itu terlalu karet, maka ujilah di DPR," katanya.
Keinginan Adi dan Erasmus, sayangnya, harus dikubur-dalam-dalam. Soalnya tak cuma Fadli yang enggan merevisi UU ITE, tapi juga anggota dewan lain. Hal ini setidaknya dikatakan Teuku Taufiqulhadi, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem.
"Enggak ada anggota DPR yang mempermasalahkan [UU ITE]," kata Taufiq kepada reporter Tirto, 29 Januari lalu.
Penulis: Nadhen Ivan
Editor: Rio Apinino