tirto.id - Fadli Zon geram. Ia tak puas dengan vonis dan penahanan terhadap Ahmad Dhani, musikus yang terjerat kasus ujaran kebencian. Wakil Ketua DPR itu kemudian mengeluarkan ketidakpuasannya di akun Twitter pribadinya.
"Vonis n ditahannya Ahmad Dhani adalah lonceng kematian demokrasi di Indonesia. Bukti nyata rezim ini semakin otoriter n menindas hak berpendapat baik lisan maupun tulisan yg dijamin konstitusi. #SaveAhmadDhani," demikian ditulis Fadli, Senin (28/1/2019). Fadli kemudian mem-pin twit itu sehingga selalu menjadi yang teratas di akunnya.
Ahmad Dhani divonis 1 tahun 6 bulan penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin kemarin. Vonis itu lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan yang menuntutnya 2 tahun penjara.
Dhani diputus bersalah karena melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ia dinyatakan terbukti secara sah dan menyakinkan dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian.
Kasus Dhani ini bermula dari laporan Jack B. Lapian yang mengaku pendukung Basuki Tjahaja Purnama. Ia melaporkan twit Dhani pada 7 Februari, 6 Maret, dan 7 Maret 2017.
Pada 7 Februari Dhani menulis: "Yang menistakan agama si Ahok, yang diadili KH Ma'ruf Amin..." Pada 6 Maret ia kembali menulis: "Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya." Terakhir, pada 7 Maret, dia menulis: "Sila pertama Ketuhanan YME. Penista agama jadi gubernur... Kalian waras???".
Kenapa Hanya Komentar
Komentar Fadli disesalkan Teuku Taufiqulhadi, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem. Ia menilai, Fadli yang merupakan Wakil Ketua DPR semestinya memahami bagaimana proses hukum dan peran penegak hukum.
"Kalau kemudian orang tidak mengerti tugas hakim, dia benar-benar tidak tepat jadi pejabat negara," kata Taufiq kepada reporter Tirto, Selasa (29/1/2019).
Politikus dari Dapil Jatim IV ini pun mengaku heran dengan pernyataan Fadli. Menurut Taufiqulhadi, selama ini tak pernah ada suara keberatan dari para legislator DPR terhadap pemberlakuan UU ITE.
Keberatan, kata dia, justru berasal dari masyarakat sipil dan ia menyarankan agar mereka menggunakan jalur uji materi terhadap UU ITE di Mahkamah Konstitusi.
"Enggak ada anggota DPR yang mempermasalahkan," katanya.
Pendapat senada dikatakan Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu. Ia menilai, Fadli tidak semestinya mengeluhkan kasus Ahmad Dhani di Twitter.
Sebagai pimpinan DPR dan pimpinan partai oposisi, kata Erasmus, Fadli semestinya bisa menggerakkan partai dan koalisinya untuk menguji UU ITE di DPR.
"Oposisi, kan, punya kursi di DPR. Fadli Zon dan kawan-kawan itu, kan, punya kursi di sana. Kalau dia merasa UU itu terlalu karet, maka ujilah di DPR,” katanya.
Meski begitu, Erasmus mengakui UU ITE memang bermasalah dari segi implementasinya. Ia pun menyebut, vonis terhadap Ahmad Dhani menambah rentetan panjang korban dari UU ITE.
Namun, Erasmus sangsi jika penerapan aturan itu hanya menyasar golongan politik tertentu. Sebab, kata dia, banyak orang yang sudah jadi korban UU ITE.
"Dhani itu bukan yang pertama. Ada Baiq Nuril yang kena ITE kemudian ada banyak lah yang kena pasal 27 atau 28 [UU ITE]," katanya.
Pernyataan Erasmus ini berkorelasi dengan data SAFEnet, sebuah jaringan penggerak kebebasan berekspresi online se-Asia Tenggara, baik organisasi maupun individu, dalam konteks Hak Asasi Manusia.
Dalam catatan SAFEnet hingga 31 Oktober 2018, sudah ada 381 korban yang dijerat UU ITE. Sebanyak 90 persen di antaranya dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan tuduhan hatespeech (ujaran kebencian). Umumnya pelapor berasal dari pihak yang memiliki kekuasaan modal atau kekuasaan politik.
Pada 2016, DPR dan pemerintah bersepakat merevisi UU ITE. Keputusan itu disepakati 10 fraksi yang ada di Komisi I DPR bersama Kementerian Komunikasi dan Informasi. Revisi ini juga dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional 2016.
Gerindra menjadi satu di antara 10 fraksi yang menyepakati revisi tersebut dan Fadli tercatat sebagai salah satu anggota Komisi I DPR. Dalam kesepakatan tersebut, ada tujuh poin yang disepakati. Namun dalam poin-poin tersebut tak ada pembahasan soal ujaran kebencian.
Revisi hanya menyangkut masalah distribusi konten yang berisi penghinaan dan pencemaran nama baik, menurunkan ancaman pidana, pengaturan penyadapan, pengaturan penyitaan dan penggeledahan, memperkuat keterlibatan penyidik PNS, menambahkan ketentuan hak untuk dilupakan, serta memperkuat peran pemerintah dalam perlindungan dari segala jenis gangguan.
Reporter Tirto sudah berusaha menghubungi politikus Partai Gerindra untuk mengklarifikasi soal pernyataanya ini dengan berusaha menemui Fadli Zon di kantornya di Gedung DPR, dan menghubunginya. Namun hingga laporan ini ditulis, Fadli belum juga memberikan komentar.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih