tirto.id - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menjatuhkan vonis 1,5 tahun penjara kepada musikus Ahmad Dhani, Senin, 28 Januari. Caleg Gerindra itu dinyatakan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi untuk menimbulkan rasa kebencian.
“Menjatuhkan pidana penjara selama 1 tahun enam bulan, memerintahkan agar terdakwa ditahan,” demikian putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Ratmoho, di PN Jakarta Selatan.
Kasus Ahmad Dhani ini bermula dari laporan Jack B. Lapian yang mengaku pendukung Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Ia melaporkan twit Dhani pada 7 Februari, 6 Maret, dan 7 Maret 2017.
Pada 7 Februari, misalnya, Dhani menulis: "Yang menistakan agama si Ahok, yang diadili KH Ma'ruf Amin..."
Pada 6 Maret, Dhani kembali menulis: "Siapa saja yang dukung penista agama adalah bajingan yang perlu diludahi mukanya."
Terakhir, pada 7 Maret, pentolan Dewa 19 ini menulis: "Sila pertama Ketuhanan YME. Penista agama jadi gubernur... Kalian waras???".
Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitulu menilai, vonis yang dijatuhkan hakim kepada Ahmad Dhani menambah rentetan panjang korban dari pasal karet UU ITE.
Data yang dihimpun Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), hingga 31 Oktober 2018 setidaknya ada 381 korban yang dijerat dengan UU ITE.
Berdasarkan data itu, 90 persen dijerat dengan tuduhan pencemaran nama baik, sisanya dengan tuduhan ujaran kebencian. Umumnya pelapor berasal dari mereka yang memiliki kekuasaan modal atau kekuasaan politik.
Salah satu korban pertama UU ITE yang paling menyita perhatian adalah Prita Mulyasari. Lima bulan setelah UU ITE disahkan, pada 21 April 2008 atau tepatnya 6 September 2008 Prita menjalani sidang perdana dengan agenda pembacaan dakwaan.
Jaksa mendakwa Prita Mulyasari telah melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 310-311 KUHP.
Prita dianggap telah mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional. Kasus ini menjadi sorotan publik hingga memunculkan gerakan “Koin untuk Prita” untuk membantu Prita membayar denda.
Tak berhenti di sana, UU ITE ini pun digunakan untuk menjerat profesi jurnalis media online. Fathur Rokhman, Rektor Universitas Negeri Semarang, yang melaporkan wartawan Serat.id Zakki Amali ke Polda Jawa Tengah.
Laporan itu berangkat dari empat seri liputan Serat.id, pada 30 Juni 2018 atas dugaan plagiat karya ilmiah yang dilakukan Fathur Rokhman. Zakki dituding telah melanggar Pasal 27 ayat (3) di UU ITE.
Kasus lain yang tak kalah mendapat sorotan publik adalah Baiq Nuril, mantan pegawai honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) yang dilaporkan oleh Muslim, kepala di sekolah tersebut. Nuril diduga telah melakukan pencemaran nama baik.
Kasus yang menjerat Nuril ini, bermula saat dia merekam percakapan telepon dari Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram Muslim. Dalam percakapan itu, Muslim diduga melakukan pelecehan verbal kepada Nuril.
Rekaman itu kemudian diberikan ke rekan Nuril, Imam Mudawin, dan dilanjutkan ke Dinas Pendidikan dan DPRD setempat. Sialnya, Imam rupanya juga menyebarkan rekaman percakapan tersebut ke publik.
Tak terima aksi senonohnya tersebar, Muslim justru melaporkan Nuril, bukan Imam, ke kepolisian atas tuduhan melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Dalam kasus ini, majelis hakim Pengadilan Negeri Kota Mataram sebenarnya membebaskan Nuril dari sangkaan. Namun, jaksa penuntut umum malah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan ini.
Mahkamah Agung kemudian memvonis Nuril bersalah dan dihukum penjara selama 3 tahun karena dianggap terbukti melanggar Pasal 27 ayat (1) UU ITE.
Rumusan UU ITE Tidak Clear
Erasmus mengatakan, salah satu alasan UU ITE menjerat banyak korban adalah karena rumusannya yang masih belum clear. Hal ini menciptakan ruang-ruang penafsiran yang membuat aturan ini jadi karet.
Salah satunya soal definisi menyebarkan kebencian yang membuat Ahmad Dhani terjerat.
Erasmus membandingkan rumusan ujaran kebencian di Pasal 28 ayat (2) UU ITE dengan Pasal 156 KUHP. Salah satu perbedaannya adalah, dalam KUHP terdapat kalimat "di muka umum".
"Kenapa dia pakai kata-kata 'di muka umum'? Karena memang tujuannya untuk propaganda. Untuk membuat orang lain tahu," kata Erasmus.
Selain itu, Erasmus menjelaskan ujaran kebencian yang dimaksud dalam KUHP adalah ujaran kebencian dalam rangka menghasut. Sementara, penjelasan ini tidak disebut di dalam UU ITE.
"Misalnya Dhani ngetweet saya benci dengan pendukungnya Ahok. Itu bisa dikategorikan sebagai menimbulkan rasa kebencian enggak? Enggak, karena itu pernyataan ekspresi pribadi,” kata Erasmus.
Untuk itu, Erasmus menilai UU ITE perlu dievaluasi lagi dari segi substansi maupun implementasinya.
Menurut Erasmus, jika memang DPR tidak mampu membuat rukusan yang baik, maka bisa digunakan rumusan lama yang terdapat di KUHP dengan beberapa penyesuaian.
“Misalnya Pasal 156 [ujaran kebencian] kalau dilakukan di media sosial yang dampaknya meluas, maka hukumannya ditambah 1 tahun,” kata Erasmus.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz