tirto.id - MFS, bukan nama sebenarnya, membongkar kasus predator "Fetish Kain Jarik". Pelaku diduga, seorang pria bernama depan Gilang, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga. Modus dari pelaku ialah melakukan kekerasan seksual dengan kedok tengah melakukan riset.
Peristiwa yang menimpa MFS, salah satu korban, terjadi pekan lalu, Jumat (24/7/2020). MFS merupakan mahasiswa semester tiga di Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya.
"Terjadi Jumat kemarin, waktu dia DM [direct message] aku di Instagram," kata MFS kepada reporter Tirto, Kamis (30/7/2020).
MFS menuturkan kasus itu melalui thread--twit atau cerita berseri--di akun Twitternya, Rabu (29/7/2020). Dia melampirkan beberapa bukti foto, rekaman video, hingga tangkapan layar percakapan dengan korban melalui aplikasi ponsel pintar.
Awalnya, pelaku memperkenalkan diri sebagai mahasiswa angkatan 2015 di Unair. Pelaku memaksa korban membungkus seluruh badan dengan kain jarik atau selendang dengan dalih: untuk riset. Korban merasa kasihan dan menuruti karena pelaku menyampaikan berbagai tekanan manipulatif seperti, mahasiswa semester 10 yang perlu dibantu.
Pelaku justru memanfaatkan empati dari korban: untuk melakukan tindakan kekerasan seksual.
Reporter Tirto telah berupaya menghubungi Gilang atau terduga pelaku melalui ponselnya. Namun, hingga kini belum ada respons.
Pelaku Harus Diproses Hukum dan Terapi
Dosen dan akademisi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, Fathul Lubabin Nuqul, menilai kasus yang dilakukan oleh terduga pelaku bernama Gilang belakangan kerap terjadi di berbagai medium, bukan hanya memiliki fetish terhadap "kain jarik" saja.
"Ini terkait dengan "pemuasan abnormalitas" di ranah psikologi seksual. Bisa dengan kain, bisa dengan hewan. Ke sesama manusia juga bisa, seperti sadistik, itu bagian dari abnormalitas," kata Lubab saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis (30/7/2020) sore.
Walau secara persentase kasus seperti Gilang terbilang sedikit, tetapi Lubab mengatakan korban akan tetap merasa diganggu, dilecehkan, ditipu, bahkan merasa menjadi korban objektifikasi.
"Awal niatnya mau jadi responden baik-baik, kok malah ditipu. Itu jadi sesuatu yang mengecewakan," katanya.
Oleh karena, ia mendesak pihak aparat kepolisian segera memproses hukum terduga pelaku seperti Gilang. Dengan seperti itu, diharapkan ada efek jera yang akan dirasakan oleh pelaku sehingga meminimalisir kejadian berulang.
"Jika tidak, pelaku akan selalu bilang 'kamu enggak paham apa yang saya rasakan'. Itu selalu jadi dalih dia. Ketika si korban marah atau melawan, korban dituntut untuk memahami apa yang dia maui. Permasalahannya enggak semua orang rela memaklumi itu," kata Lubab.
Apalagi, terduga pelaku pelecehan atau kekerasan seksual akan mudah depresi dan tertekan jika tidak segera ditangani oleh pihak berwajib. Di banyak kasus, malah rasa depresinya sudah mencapai titik puncak dan akhirnya bisa memutuskan bunuh diri.
Selain jalur hukum, Lubab menganjurkan agar terduga pelaku seperti Gilang harus segera difasilitasi konsultasi dan terapi psikologi.
"Kalau dihukum aja, nggak akan selesai. Ke ahli-ahli psikologi. Jadi kalau misalnya harus terapi, ada metode-metodenya. Karena kan orang lain yang seperti ini asik dengan dirinya, selama tidak ada yang menghalangi. Dia akan nyaman-nyaman saja. Akan selalu dilakukan terus," katanya.
Beri Rasa Aman pada Korban
Lubab mengatakan kasus yang terjadi kepada terduga pelaku Gilang tak mungkin datang tiba-tiba. Ia menduga ada kasus-kasus atau masalah-masalah tertentu yang membuat Gilang menjadi demikian: trauma berlebihan, mendapat kekerasan seksual di masa lalu, atau kejadian buruk saat masa kecil.
"Salah satu pintu masuknya mencari tahu apakah dulu dia pernah menjadi korban atau tidak. Dirunut ke belakang. Karena ketika masa lalu tidak terselesaikan, di dalam dirinya secara tidak sadar menganggap layak melakukan apa saja. Dia akan bilang 'kamu enggak paham sih apa yang saya rasakan, apa yang terjadi pada diri saya', selalu jadi apologi," katanya.
Oleh karena itu, Lubab menilai penting untuk pihak berwenang juga memberikan rasa aman dan perlindungan para korban, salah satunya MFS, dari kasus Gilang tersebut. Caranya bisa melalui memberi konsultasi, terapi psikologi, atau trauma healing.
"Makanya, ketika ada korban pelecehan atau kekerasan seksual, harus diselesaikan benar-benar. Kalau tidak, berpotensi menjadi pelaku akan sangat tinggi. Malah jadi lingkaran setan," katanya.
Apalagi, kata Lubab, ketika korban masih sangat belia. Jika secara psikologis tidak ditangani, memori kolektif buruknya akan terus terbawa hingga dewasa.
"Ketika sudah besar, sudah superior, dia akan melakukan apa saja untuk mencari korban yang lain. Menggunakan relasi kuasa dia. Semisal, dia bawa nama Unair, dia paham korbannya akan manut dengan membawa nama Unair. Alasan untuk penelitian dan riset, jadi justifikasi," katanya.
"Makanya ketika masuk ke ranah hukum akan menjadi rancu jika tak ada pemeriksaan psikologi lebih lanjut. Sering kali korban disalahkan oleh aparat, alih-alih mendapat perlindungan dan fasilitas psikologi, terapi, atau konseling. Agar posisi korban lebih aman."
Jangan Mudah Modus Riset
Di samping proses hukum dan rehabilitasi psikologi untuk pelaku dan korban, masyarakat juga perlu berlaku kritis dengan modus permintaan riset atau penelitian yang dilakukan oleh predator berkedok mahasiswa seperti Gilang.
Kepala Pusat Informasi dan Humas Unair, Suko Widodo, mengatakan jika ada mahasiswa Unair yang ingin melakukan riset atau penelitian, apalagi jika membutuhkan orang sebagai subjek penelitian, akan diminta membawa surat izin dari kampus.
"Ini saya kira masyarakat harus tahu bahwa ketika ada penelitian ya harus ditanyakan surat izinnya," kata Suko saat dihubungi wartawan Tirto, Kamis malam.
"Publik harus mengecek berulang kali lagi jika ada mahasiswa yang mengaku melakukan penelitian dari Universitas Airlangga misalnya. Kampus akan menerbitkan surat bagi peneliti. Intinya, masyarakat jangan mudah percaya," lanjutnya.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Maya Saputri