tirto.id - Francois Abello Camille, warga negara Perancis, menggantung diri di selnya pada Kamis (9/7/2020) malam. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan awalnya ia ditemukan saat petugas jaga tahanan berpatroli.
“FAC ditemukan dalam kondisi leher terikat kabel, tapi tidak tergantung [sepenuhnya]. Dia memanfaatkan berat tubuh,” katanya, Senin (13/7/2020). Francois segera dilarikan ke Rumah Sakit Polri. Nyawanya tak tertolong setelah dirawat tiga hari. Dia mati.
Pria berusia 65 tahun ini adalah pelaku pelecehan 305 anak dalam kurun waktu Desember 2019-Juni 2020. Polisi baru berhasil mendata 19 orang.
Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Nana Sudjana mengatakan Francois biasa mencari korban anak jalanan. Korban lalu ditawari jadi model. Mereka yang terbujuk dibawa ke hotel. Sepanjang enam bulan, ada tiga hotel jadi tempat kejadian. Kamar hotel ini disulap menjadi seperti studio.
Ia telah menyiapkan kamera tersembunyi guna merekam pelecehan. Ia biasanya mendandani korban terlebih dulu. Bila ada yang menolak ditiduri, ia akan memukul atau menendang. Kemudian ia akan meminta si korban untuk membujuk sebayanya agar mau diajak ke hotel pula. Dia membayar korban Rp250 ribu-Rp1 juta.
Polisi mengategorikan perbuatan Francois sebagai eksploitasi ekonomi dan seksual.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan karena pelaku tewas, aparat kini harus fokus memulihkan korban. “Negara bisa melakukan yang terbaik, yaitu pemulihan,” katanya kepada reporter Tirto, Senin (13/7/2020). Pemulihan tak hanya fisik, tapi juga psikososial dan ekonomi. “Jika mereka tetap pada posisi yang sama, cenderung menjadi korban lagi.”
Ia mengatakan pemulihan semestinya dilakukan terhadap semua korban. Maka dari itu aparat harus terus mengidentifikasi korban lain.
Ini bukan kali pertama kasus kekerasan yang pelakunya sama sekali tidak mengenal korban. Berdasarkan Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2019, Komnas Perempuan menyebut orang tidak dikenal adalah pelaku terbanyak kekerasan seksual di ranah komunitas. Jumlahnya 756 kasus (hlm. 18).
Atas dasar itu Asfin menegaskan betapa pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Sayangnya legislatif tak menganggapnya penting. RUU ini disingkirkan dari Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. Asfin mengatakan legislatif, juga pemerintah, tidak serius mengupayakan penghapusan kekerasan seksual, apalagi jika membandingkan dengan RUU Minerba maupun revisi UU KPK yang pembahasannya lekas.
Selain pemidanaan, RUU PKS juga mengatur soal rehabilitasi korban, mencakup aspek psikologis, medis, serta ekonomi. RUU PKS juga membahas soal pencegahan. Jika telah disahkan, materi penghapusan kekerasan seksual akan dimasukkan sebagai bahan ajar dari pendidikan anak usia dini hingga perguruan tinggi.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengatakan mereka menarik RUU PKS “karena pembahasannya agak sulit.”
Jangan Terulang
Psikolog Klinis Anak dari Yayasan Pulih Gisella Tani Pratiwi berpendapat kekerasan seksual terhadap anak berulang karena banyak faktor. “Adanya pengabaian akan kondisi sekitar, kesadaran rendah akan perlindungan anak, permisif akan perilaku kekerasan seksual termasuk salah satunya tidak tegasnya hukum, anak masih dianggap hak milik yang cenderung tidak didengar suaranya,” ujar dia ketika dihubungi reporter Tirto, Selasa (14/7/2020).
Gisella mengatakan perlu solusi komprehensif agar daftar anak korban kekerasan seksual tidak terus bertambah panjang. “Kalau hanya membekali anak tanpa penguatan perlindungan anak dari keluarga dan lingkungan tentu masih sangat berisiko tinggi anak mengalami kekerasan seksual,” imbuh Gisella.
Gisella tahu itu tak mudah, namun, katanya, “jika tidak digalakkan, saya khawatir akan banyak generasi penerus bangsa yang harus berjuang dengan dampak traumatik akibat kekerasan seksual.”
Sebuah artikel yang diterbitkan Jurnal Psikologi Kepribadian dan Sosial pada 2012 lalu menjabarkan apa yang terjadi kepada anak yang mengalami pelecehan seksual. Peneliti menemukan mereka memiliki emosi yang cenderung negatif “seperti perasaan benci dan menyimpan dendam.” Korban juga cenderung memiliki “penilaian negatif pada diri sendiri dan kehidupan... serta relasi yang buruk dengan keluarga atau lingkungan sekitarnya.”
Gisella mengatakan pemerintah juga perlu memastikan akses pengaduan yang aman dan perlindungan bagi korban pelecehan seksual, termasuk jika dia masih tergolong anak. Sejauh ini menurutnya akses tersebut masih terbatas. “Apalagi kalau anak, hampir selalu berada dalam ‘otoritas’ pengasuhan pihak utama (keluarga, orang tua atau pihak pengganti lain),” kata Gisella.
Sementara Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati lebih menyoroti korban berstatus anak-anak jalanan. Menurutnya mereka perlu perhatian lebih dari pemerintah, terutama dinas sosial, karena sangat rentan. “Dinas sosial harus bekerja keras mengedukasi mereka,” kata Rita kepada reporter Tirto.
Selama anak-anak jalanan ini hidup dari pemberian orang asing, mereka akan rentan mengalami pelecehan seperti ratusan korban Francois.
Rita sadar betul menyelesaikan masalah anak jalanan bukan perkara mudah. Ia mengatakan perlu peran banyak pihak agar hal serupa tak terulang. “Faktor pengasuhan juga penting, komunikasi terbuka. Edukasi kesehatan reproduksi dengan baik juga [membuat] potensi [pelecehan] bisa berkurang.”
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino