tirto.id - Tommy anak Soeharto tak punya kekuasaan lagi di Partai Berkarya. Posisinya diganti Muchdi PR alias Muchdi Purwoprandjono, sebelumnya Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya.
Jabatannya sebagai ketua umum dilengserkan lewat Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang digelar oleh Presidium Penyelamat Partai Berkarya (P3B), Sabtu (11/7/2020) lalu. Munaslub itu juga menyepakati enam poin lain. Salah satunya, nama dan logo partai berubah kembali menjadi Partai Beringin Karya yang disingkat ‘Berkarya’, sesuai akta pendirian 5 Mei 2016.
Kekuasaan Tommy bisa dibilang relatif singkat, beda dengan bapaknya yang jadi presiden tiga dekade lebih.
Ditilik ke belakang, Partai Berkarya cukup menarik dan agak berbeda dari partai lain yang berkompetisi di Pemilu 2019. Mereka sesungguhnya tak pernah benar-benar mendaftarkan namanya ke Kementerian Hukum dan HAM. Partai yang mengedepankan imajinasi atas “kerinduan Orde Baru” ini terbentuk lewat akuisisi dua partai gurem: Partai Nasional Republik (Nasrep) dan Partai Beringin Karya.
Partai Nasrep didirikan pada 2012 oleh beberapa orang, salah tiganya adalah Tommy Soeharto, Jus Usman Sumanegara, dan Neneng A. Tutty. Neneng bilang pembentukan partai itu memakai badan hukum Partai Sarikat Indonesia dan Partai Nurani Umat. Usulan mencaplok partai lama datang dari Usman. Alasannya, ujar Neneng: “Kami tidak perlu repot, tinggal ambil [partai] yang berbadan hukum.”
Empat tahun setelahnya, Tommy mendirikan sebuah partai bernama Beringin Karya. Ia mengajak salah satu taipan asal Makassar bernama Badaruddin Andi Picunang dan menjadikannya sebagai Sekretaris Jenderal. Partai ini persis dibentuk setelah Tommy kalah dalam pencalonan Ketua Umum Partai Golkar.
Akhirnya Tommy mengambil langkah strategis: meleburkan Partai Nasrep dan Partai Beringin Karya menjadi Partai Berkarya pada 15 Juli 2016—yang juga merupakan hari ulang tahun Tommy.
“Partai Nasrep terdaftar di Kemenkumham pada 2012, sedangkan Partai Beringin Berkarya belum sempat mendapatkan legitimasi dari Kemenkumham karena waktunya singkat,” kata Badaruddin.
Jejak Ketua Partai
Selain sejarah pendirian, yang 'menarik' dari partai ini adalah rekam jejak para ketua umumnya.
Tommy alias Hutomo Mandala Putra pernah dinyatakan terbukti menjadi otak pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita.
Syafiuddin adalah Hakim Agung/Ketua Muda Bidang Pidana Mahkamah Agung (MA) RI. Dalam sidang 22 September 2000, ia menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp30,6 miliar kepada Tommy dalam kasasi kasus tukar guling tanah milik Bulog dengan PT Goro Batara Sakti.
Genap 10 bulan berselang, Syafiuddin tewas ditembak orang tak dikenal dalam perjalanan menuju kantornya. Tommy, sang putra mahkota Cendana atau putra bungsu mantan Presiden Soeharto, diduga sebagai otak pembunuhan ini. Kelak dugaan itu terbukti di pengadilan. Dia dibui di Nusakambangan.
Sementara nama Muchdi PR pernah terseret ke dalam kasus pembunuhan aktivis kemanusiaan Munir Said Thalib. Munir meninggal dunia dalam penerbangan tujuan Amsterdam dengan pesawat Garuda Indonesia, 6 September 2004 malam. Ketika itu Muchdi menjabat Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN).
Polisi menangkap Muchdi pada 19 Juni 2008 atau kurang lebih empat tahun setelah pembunuhan terjadi. Ia resmi ditetapkan sebagai tersangka dan dikenakan Pasal 340 KUHP mengenai pembunuhan berencana. Muchdi dianggap punya dendam pribadi terhadap Munir. Kariernya terhenti setelah terungkapnya penculikan aktivis pada 1997-1998, perkara yang disebut-sebut juga melibatkan Prabowo Subianto.
Dalam pemeriksaan terungkap bahwa Muchdi lebih dari 40 kali berkomunikasi dengan Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot pesawat Garuda yang ditumpangi Munir. Bahkan, di hari Munir tewas, terdapat 15 kali hubungan telepon antara kedua orang ini.
Tapi nasib Muchdi berbeda dengan Pollycarpus. Jika Pollycarpus divonis 14 tahun penjara, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan justru menyatakan Muchdi bebas murni dari segala dakwaan pada 31 Desember 2008.
Tanggal 7 Januari 2009 atau beberapa hari setelah diputus bebas, Muchdi PR berkata, “Untuk apa saya harus membunuh Munir dengan tangan orang lain? Saya sendiri kalau mau juga bisa.”
Coup d'État di Partai Kuning
Orang terpenting di Partai Berkarya selain Tommy sebelum Pilpres 2019 adalah Priyo Budi Santoso. Ia menggantikan Andi Badaruddin Picunang sebagai sekjen partai. Priyo juga menjadi salah satu juru bicara andalan tim sukses Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, lawan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Tapi keduanya gagal. Tidak ada satu pun kader lolos ke parlemen. Partai yang kerap berkampanye soal stabilitas ekonomi dan politik di era Orde Baru ini ternyata kurang diminati masyarakat.
Kekalahan inilah yang menjadi pangkal mengapa banyak kader 'gerah'. Beberapa pengurus, termasuk Badaruddin dan Muchdi, lantas membentuk Presidium Penyelamat Partai Berkarya (P3B) pada awal Maret. Pada 12 Maret, presidium mengumumkan akan menggelar musyawarah nasional luar biasa (munaslub) pada 11 Juli, dengan salah satu agenda mengevaluasi total Partai Berkarya.
Badaruddin mengatakan alasan penyelenggaraan munaslub lantaran terjadi kevakuman dan tersumbatnya komunikasi sejak Rapimnas III Partai Berkarya tahun 2018. Tak hanya itu, tak adanya evaluasi hasil Pemilu 2019, nihil rapat pengambilan kebijakan, tak ada petunjuk dan produk pedoman organisasi sebagai turunan AD/ART partai tersebut, bikin banyak kader kebingungan.
“Pengelolaan partai dilakukan secara otokrasi dan feodalisme, jauh dari semangat demokrasi yang diamanatkan UU Nomor 2 tahun 2011 tentang Parpol dan AD/ART Partai Berkarya,” kata Badaruddin.
Jelang Munaslub, 8 Juli lalu, Tommy merespons gejolak ini dengan mengatakan akan mengambil tindakan tegas, termasuk memecat kader yang membangkang.
Munaslub hari pertama sempat ditunda enam jam karena ada sekelompok orang datang mengatasnamakan AMPB, pihak yang mengawal kedatangan Tommy dan Priyo. Tujuannya untuk membubarkan munaslub yang mereka anggap ilegal dan inkonstitusional. Kelompok Tommy-Priyo memporak-porandakan properti panitia dan masuk ke ruangan acara. Kejadian itu disaksikan langsung oleh Tommy dan Priyo.
“Suatu tontonan yang memalukan dengan gaya premanisme memakai atribut partai,” kata Badaruddin merespons kejadian itu.
Akhirnya munaslub tetap terselenggara. Muchdi jadi ketua umum terpilih mengkudeta Tommy, sementara Badaruddin kembali menjadi sekjen.
“Ketua Umum terpilih Mayjen TNI (Purn) Muchdi PR dan Sekjen terpilih Badaruddin Andi Picunang sekaligus Ketua dan Sekretaris Formatur dalam Tim Formatur, terdiri [dari] lima orang yang akan menyusun pengurus DPP Partai Beringin Karya periode 2020-2025,” kata Badaruddin.
Selain mengkudeta Tommy, munaslub juga memutuskan partai mendukung pemerintahan Jokowi-Ma'ruf. Sikap ini berbeda dengan Tommy dan sebenarnya tidak mengagetkan mengingat Muchdi sudah mendukung Jokowi sejak 2014.
Kesepakatan penting lain adalah, Partai Berkarya meminta Jokowi memberikan gelar pahlawan nasional kepada Soeharto.
Sementara terkait Tommy, Badaruddin mengatakan partainya akan memberikannya jabatan Ketua Dewan Pembina. Pertimbangannya, bagaimanapun Tommy mewakili unsur keluarga Cendana dan merupakan anak biologis Soeharto. “Kecuali kalau beliau tak mau lagi membesarkan partai ini. Tergantung beliau,” kata Badaruddin saat dikonfirmasi wartawan Tirto, Senin (13/7/2020) pagi. “Kalau Pak Priyo, tidak [masuk struktural partai]. Karena dia sudah merusak partai ini.”
Demikian akhir daripada Tommy Soeharto, setidaknya saat ini: disingkirkan dari partai yang ia dirikan sendiri.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino