tirto.id - Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok teroris yang bersumpah setia kepada ISIS pada Juli 2014 lalu, terus menebar teror di beberapa daerah di Sulawesi Tengah. Baru-baru ini mereka membunuh empat orang yang masih satu keluarga dan membakar tujuh rumah di Sigi.
Kejadian ini mengundang pertanyaan: bagaimana mungkin kelompok yang pada 2019 lalu disinyalir tak lebih dari 20 orang leluasa menebar teror, padahal sudah diburu oleh ribuan personel TNI-Polri yang tergabung dalam Satgas Tinombala sejak 2016 lalu?
Peneliti dari Celebes Institute Adriany Badrah mengatakan jawabannya adalah karena "ada pembiaran oleh aparat." Dalam diskusi daring, Senin (30/11/2020), ia mengatakan bukti pembiaran tak hanya MIT terus beraksi, tapi juga jumlah DPO tidak berkurang. Satgas Tinombala menurutnya bahkan gagal menangani perekrutan dan penanaman ideologi MIT.
Selain pembiaran, faktor lain adalah "pimpinan berbeda-beda dan kata sandi berubah-ubah." Kemudian, personel yang ditugaskan pun hanya bersifat Bawah Kendali Operasi (BKO) yang durasi kerjanya hanya 3-6 bulan. Meski barangkali persenjataan lebih lengkap dan personel jelas-jelas lebih banyak, mereka jadi tak berkutik menghadapi kelompok yang benar-benar menguasai medan.
"Apa yang dikuasai? Ali Kalora ini kalau saya hitung sudah sekitar delapan tahun menguasai hutan," kata dia. Akhirnya, yang terjadi adalah "anggaran dengan jumlah banyak tidak mampu menyelesaikan teror, malah semakin masif."
Ali Kalora adalah pimpinan MIT saat ini. Ia melanjutkan kepemimpinan Santoso yang berhasil dibunuh dalam baku tembak pada 18 Juli 2016 dan Basri yang tertangkap beberapa bulan kemudian bersama istrinya. Dikutip dari Ancaman Virus Terorisme: Jejak Teror dan di Dunia dan Indonesia (2017), Ali Kalora mulai menebar teror sejak 2011 dan merupakan salah satu orang kepercayaan Santoso.
Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISeSS) Khairul Fahmi mengatakan semestinya operasi dituntaskan ketika MIT tengah mengalami krisis kepemimpinan setelah pembunuhan Santoso dan penangkapan Basri, salah satunya dengan memotong akses logistik dan sumber daya dari luar Poso, Parigi Moutong, dan luar negeri. Tapi toh itu tak terjadi. Kelompok itu kembali dengan Ali Kalora tampil sebagai pemimpin baru.
Lewat keterangan tertulis, Senin (30/11/2020), Fahmi bilang ini bukti "konsolidasi mereka berjalan". "Meski suplai logistik dan sumber daya terhambat, tapi mereka bisa survive, apalagi mereka juga lebih menguasai medan dan berhasil mengembangkan taktik insurgensi," katanya.
Sebelum kasus di Sigi, pada Agustus lalu MIT membunuh seorang petani bernama Agus Balumba (45), warga desa Sangginora, Kecamatan Poso. Kejadian serupa terjadi pada April. Seorang petani yang hilang sejak 8 April ditemukan 10 hari kemudian dengan kepala hilang. Mayat itu ditemukan di wilayah operasi Satgas Tinombala. Kemudian, pada akhir 2018, ditemukan kepala yang sudah terpisah dari badan, diketahui pria berinisial RB alias A. Aparat menemukan tubuhnya di wilayah pegunungan. Saat hendak mengevakuasi, mereka dihujani tembakan oleh MIT.
Alih-alih memberantas teroris, Satgas Tinombala justru membunuh dua orang petani bernama Syarifudin dan Firman pada Juni lalu. Saksi mengatakan aparat terus menembak membabi-buta kendati dua orang itu telah berteriak mengaku bukan teroris. Satgas berdalih tidak mendengar teriakan mereka.
Hal serupa terjadi pada 9 April di Desa Tobe, lokasinya tak jauh dari TKP terakhir. Korban bernama Qidam Alfarizki Mofance. Ia kabur dari rumah, lalu meminta minum di kediaman salah satu warga. Karena curiga, sang pemilik rumah lapor ke polisi. Alih-alih polisi biasa, saat itu yang datang adalah dua regu Satgas Tinombala. Qidam dianiaya dan ditembak.
Meski cenderung tidak efektif, masa kerja Satgas Tinombala terus diperpanjang, per tahun ini sudah empat kali. Awalnya direncanakan mulai 1 Januari sampai 31 Maret, lalu dilanjutkan 31 Maret sampai 28 Juni, dilanjut lagi mulai 29 Juni sampai 30 September. Perpanjangan terakhir hingga 31 Desember nanti.
Atas semua kejadian tersebut, menurut Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara, perlu ada "evaluasi secara keseluruhan" terhadap Satgas Tinombala. Selama ini evaluasi hanya dilakukan secara internal dan sekadar seputar hal teknis operasi. "Bukan hanya [evaluasi] yang di lapangan, tetapi juga soal isu-isu yang ada di seputar operasi itu," kata Beka kepada reporter Tirto, Senin. "Pembubaran itu opsi lanjutan," tambahnya.
Beka menilai pendekatan dalam menghadapi teroris MIT harus digeser menggunakan soft power. Salah satunya, Satgas Tinombala bisa menggandeng warga atau keluarga untuk membujuk agar para anggota kelompok teror menyerahkan diri.
Khairul Fahmi juga mengatakan opsi pembubaran Satgas Tinombala bukan pilihan yang baik. Selain tak mungkin membiarkan MIT berkeliaran dan mengancam masyarakat, pembubaran juga hanya akan mengukuhkan kegagalan polisi menangani teroris di Sulawesi Tengah. Keadaan itu justru akan memicu Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden tentang pelibatan TNI dalam menanggulangi aksi terorisme, dan operasi di daerah ini akan murni jadi operasi militer.
"Makanya pembubaran menurut saya bukan opsi yang menarik lagi untuk saat ini," kata Fahmi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino