Menuju konten utama

Satgas Tinombala, Diperpanjang meski Tercoreng Kasus Salah Tembak

Satgas Tinombala diperpanjang. Sebelumnya mereka pernah salah tembak warga biasa.

Satgas Tinombala, Diperpanjang meski Tercoreng Kasus Salah Tembak
Satgas Operasi Tinombala 2016 melakukan patroli bersenjata di Posko Sektor II Tokorondo, Poso, Sulawesi Tengah, Selasa (16/8). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/16.

tirto.id - Kepolisian Negara Republik Indonesia memperpanjang masa kerja Satuan Tugas (Satgas) Tinombala selama 94 hari atau sampai 30 September 2020. Perpanjangan berdasarkan putusan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/360/VI/OPS.1.3./2020 tanggal 26 Juni 2020.

Satgas ini terdiri dari satuan dalam TNI dan Polri seperti Brimob dan Kopassus, dibentuk pada 10 Januari 2016, bekerja di wilayah hukum Polda Sulawesi Tengah, dan dibentuk untuk menghabisi Mujahidin Indonesia Timur (MIT), kelompok teroris pimpinan Santoso alias Abu Wardah Asy Ayarqi di Poso.

Operasi Tinombala adalah kelanjutan dari Operasi Camar Maleo--yang diperpanjang empat kali tapi gagal. Santoso baru dapat ditembak mati pada 18 Juli 2016. Sementara Operasi Tinombala sudah diperpanjang beberapa kali. Sebelum sekarang, operasi diperpanjang pada 1 Januari-31 Maret 2020 dan 31 Maret-28 Juni 2020.

Karopenmas Mabes Polri Bridjen Pol Awi Setiyono mengatakan masa kerja satgas diperpanjang karena masih ada 14 anggota MIT berkeliaran. Perburuan, katanya di Jakarta, Senin (29/6/2020), "mengedepankan kegiatan penegakan hukum yang didukung oleh fungsi intelijen, Binmas dan fungsi kepolisian lain."

Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) 2020-2023 Fatia Maulidiyanti berpendapat kelanjutan Satgas Tinombala harus ditentukan dari hasil evaluasi. Sayangnya hal tersebut tidak pernah diketahui publik. Evaluasi penting selain melihat sejauh mana efektivitas memberantas teroris, Tinombala juga menelan korban jiwa dari sipil.

"Hasil dari operasi ini sebenarnya apa? Soal salah tembak itu hanya salah satu catatan kasus di Poso," ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (1/7/2020).

Pada Juni 2020, dua petani bernama Syarifuddin dan Firman tewas tertembak di Poso Pesisir Utara. Saksi bilang aparat tetap membabi buta menembak meski para petani berteriak kalau mereka bukan teroris. Polisi berdalih tak mendengar. Kabid Humas Polda Sulawesi Tengah Kombes Pol Didik Supranoto mengklaim tengah menyelidiki perkara ini, tapi sampai sekarang hasilnya tak diketahui.

Hal serupa terjadi pada 9 April 2020 di Desa Tobe, lokasinya tak jauh dari TKP terakhir. Korban bernama Qidam Alfarizki Mofance. Ia kabur dari rumah, lalu meminta minum di kediaman salah satu warga. Karena curiga, sang pemilik rumah lapor ke polisi. Alih-alih polisi biasa, saat itu yang datang adalah dua regu satgas. Qidam ditemukan, dianiaya dan ditembak.

Menurut Fatia, selain perlunya keterbukaan hasil evaluasi, aparat juga harus serius memproses hukum pelaku kasus salah tembak. Kedua poin tersebut dapat menjadi acuan layak atau tidaknya Operasi Tinombala diperpanjang.

"Institusi kepolisian sudah memiliki perkap terkait standar HAM yang penting untuk dipatuhi dan beberapa aturan Kapolri lainnya yang seharusnya dapat jadi rujukan operasi keamanan," katanya menegaskan.

Tidak Efektif

Direktur Eksekutif Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berpendapat semestinya Operasi Tinombala selesai setelah Santoso mati seandainya aparat memperkuat kemampuan dan kewaspadaan aparatur di daerah, serta terus memelihara keamanan dan mitigasi lain. Dengan kata lain, mereka seharusnya bisa memanfaatkan situasi krisis kepemimpinan di internal MIT, jumlah personel yang menipis, dan keadaan logistik yang memburuk.

Hal ini gagal diwujudkan sehingga perlahan MIT membangun kembali kekuatan dan kembali meneror masyarakat.

MIT sempat dipimpin Basri alias Bagong sebelum dia ditangkap polisi pada 14 September 2016. Kepemimpinan MIT kemudian jatuh ke tangan Ali Ahmad alias Ali Kalora hingga sekarang.

Dikutip dari buku Ancaman Virus Terorisme: Jejak Teror dan di Dunia dan Indonesia (2017), Ali Kalora mengikuti Santoso menebar teror sejak 2011. Ali adalah salah satu orang kepercayaan Santoso. Ali diduga pernah memutilasi seorang penambang emas di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah pada Desember 2018. Ia juga terlibat baku tembak dengan Resmob Satgas 3 Tinombala yang mencari potongan tubuh korban. Pada April lalu, beredar video Ali mengancam akan membunuh mata-mata polisi.

Fahmi bilang kebangkitan kembali MIT setelah Santoso mati membuat kinerja Operasi Tinombala dipertanyakan. "Saya khawatir ini bisa memunculkan kesan Operasi Tinombala hanya proyek. Terutama untuk peningkatan anggaran pemberantasan terorisme," ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (1/7/2020). "Mengapa? Karena tak nampak kejelasan dalam evaluasi terkait efektivitas strategi yang diterapkan."

Reporter Tirto telah menghubungi Kadiv Humas Polri Brigjen Pol Argo Yuwono dan Karopenmas Polri Brigjen Pol Awi Setiyono sejak Rabu pagi. Namun hingga naskah rampung keduanya tidak merespons.

Baca juga artikel terkait SATGAS TINOMBALA atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino