Menuju konten utama

Evaluasi Direksi BPJS Kesehatan Sebelum Naikkan Iuran & Suntik Dana

Sebelum menaikkan iuran dan mengguyur uang, pemerintah semestinya mengevaluasi direksi BPJS Kesehatan.

Evaluasi Direksi BPJS Kesehatan Sebelum Naikkan Iuran & Suntik Dana
Petugas keamanan berjaga di depan kantor BPJS Kesehatan di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (13/5/2020). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

tirto.id - Salah satu masalah akut yang dialami Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan adalah defisit anggaran. Masalah ini sudah terjadi sejak lima tahun terakhir, atau sama dengan usia badan hukum publik itu sendiri--yang didirikan pada 31 Desember 2013.

Untuk mengatasi masalah ini, salah satu formula baku yang kerap dilakukan pemerintah adalah menyuntikkan subsidi. Pada 2015 pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp5 triliun, lalu 2016 Rp6,8 triliun, 2017 Rp3,6 triliun dan 2018 Rp10,3 triliun, dan Rp13,5 triliun tahun lalu.

Sementara tahun ini, seperti dinyatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Februari lalu, dana untuk BPJS Kesehatan "dianggarkan Rp48 triliun."

Namun subsidi tak pernah menghilangkan masalah defisit. Pada 2014, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp3,3 triliun. Setahun kemudian menjadi Rp5,7 triliun, lalu naik lagi menjadi 9,7 triliun pada 2016.

Tren tersebut terus berlanjut hingga tahun lalu. Pada 2017, defisit BPJS Kesehatan tembus dua digit, tepatnya Rp13 triliun. Sementara pada 2018 dan 2019 masing-masing defisit Rp19 triliun dan Rp28 triliun.

Menurut Sekjen Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Petrus Hariyanto, suntikan dana memang tidak bakal menyelesaikan defisit di BPJS Kesehatan sepanjang masalah utama tidak diperbaiki. "Yang pertama dibenahi itu manajemennya," kata Petrus kepada reporter Tirto, Rabu (20/5/2020).

Petrus mengatakan pembenahan manajemen atau perbaikan tata kelola adalah "keputusan politik" yang sempat dikeluarkan legislatif dalam sebuah rapat kerja. Ia juga merupakan "keputusan hukum" serta yang paling penting juga merupakan "kehendak peserta."

"Pernah dalam rapat kerja gabungan Komisi IX dengan Menkes dan Wakil Menkeu dan dihadiri oleh BPJS Kesehatan, hasil kesimpulan rakernya itu (perbaikan tata kelola)," kata Petrus.

Sementara "keputusan hukum" diberikan Mahkamah Agung (MA) saat memenangkan gugatan KPCDI yang meminta Perpres 75/2019 dibatalkan. Perpres ini adalah dasar hukum tarif baru premi BPJS Kesehatan per 1 Januari lalu yang kenaikannya mencapai 100 persen. Dalam kutipan amar putusan, MA menyatakan akar persoalan di tubuh BPJS adalah "kesalahan pengelolaan pelaksanaan program jaminan sosial." MA juga menyebut kesalahan tersebut tak boleh dibebankan kepada masyarakat dengan cara menaikkan iuran.

Setelah putusan MA, semestinya presiden menerbitkan peraturan baru yang isinya mengembalikan angka iuran sesuai perpres sebelumnya. Namun iuran tetap naik lewat Perpres Nomor 64 tahun 2020, diteken Selasa (5/5/2020) lalu. Tarif baru berlaku efektif pada 1 Juli nanti untuk peserta kelas 2 dan 1, masing-masing Rp100 ribu dan Rp150 ribu per bulan. Sementara besaran iuran untuk kelas 3 tetap Rp25.500, tapi itu hanya sampai akhir tahun. Mulai tahun depan, iuran untuk peserta kelas 3 menjadi Rp35 ribu.

Oleh karena iuran kembali dinaikkan, KPCDI menggugat lagi ke MA. Gugatan dimasukkan Rabu (20/5/2020) lalu.

Koordinator BPJS Watch Timboel Siregar juga mengatakan manajemen BPJS Kesehatan perlu dievaluasi, terutama para direksi. "Kalau tidak berprestasi tidak bisa dipecat langsung, kecuali kalau ada tindakan pidana. Tapi apakah pernah presiden mengevaluasi sehingga ada sanksi buat direksi? Setahu saya tidak ada," kata Timboel kepada reporter Tirto, Selasa (29/5/2020).

Presiden Jokowi bukannya tak tahu masalah ini. Pada November tahun lalu ia bahkan mengatakan secara eksplisit kalau defisit terus-menerus terjadi karena BPJS Kesehatan "salah kelola." "Yang harusnya bayar enggak bayar. Di sisi penagihan mestinya diintensifkan," katanya.

Sementara Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani memprediksi tahun ini defisit BPJS Kesehatan lebih kecil dibanding tahun lalu karena ada kenaikan iuran sekaligus perbaikan manajemen pengelolaan dan pendanaan.

"Proyeksinya, kalau nanti Perpres 64 ini berjalan, kita hampir tidak defisit. Kurang lebih bisa diseimbangkan antara cash in dan cash out," katanya, Kamis (14/5/2020) dikutip dari Antara.

Namun anggota Komisi IX DPR RI Saleh Daulay menyangsikan keyakinan tersebut.

"Kalau iuran naik, bisa saja orang-orang akan ramai-ramai pindah kelas. Kelas I dan II bisa saja mutasi kolektif ke kelas III. Selain itu, bisa juga orang enggan untuk membayar iuran," kata Saleh Daulay, Selasa (19/5/2020).

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino