tirto.id - Kau bungkam aku dengan penjara…!
Kau ikat langkah ku dengan penjara…!
Kau kurung badanku dengan penjara…!
Tapi kau tak akan bisa bungkam-ikat-kurung pikiranku, jiwaku, perlawananku, dan pendirianku…!!!
Solidaritas kawan-kawanku…yang segera akan menumbangkanmu…!!!!
Di penjara manusia ini akan kusiapkan pedang kematianmu wahai manusia lalim yang terpenjara jiwanya nan kotor…!!!!
Eva Bande menuliskan surat itu dari dalam Lapas II B Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah pada 20 Mei 2014 dan diunggah di blog pribadinya pada 18 Juni 2014. Eva, perempuan kelahiran Luwuk, 12 Agustus 1978 ini dikenal sebagai pembela dan pendamping petani Toili dalam memperjuangkan hak atas tanah mereka.
Semua bermula dari konflik agraria antara masyarakat Desa Piondo dan Desa Bukit melawan PT. Berkat Hutan Pustaka (BHP). Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, konflik ini sudah dimulai pada 1990. Saat itu PT. BHP yang merupakan perusahaan patungan antara PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS) dan PT Inhutani I melalukan pengukuran areal Hutan Tanaman Industri tanpa melibatkan masyarakat desa.
Pada 2002, perlawanan masyarakat desa makin tajam karena lahan pertanian mereka berkurang terus menerus. Lima tahun kemudian, PT KLS membeli seluruh saham milik Inhutani. Hanya butuh setahun, KLS mulai menggusur lahan yang ditanami oleh petani dan diganti dengan kelapa sawit. Penggusuran lahan ini melibatkan aparat kepolisian dan TNI. Tak hanya itu, PT KLS juga menutup jalan ke lahan petani sehingga memancing amarah warga, dan berujung pada pembakaran buldozer serta eskavator milik PT KLS pada 26 Mei 2010.
Akibat dari aksi tersebut, Eva ditangkap bersama dengan 23 orang petani lainnya dengan tuduhan sebagai penghasut.
Tak Takut Untuk Melawan
Lahir dari keluarga polisi ternyata tak membuat Eva serta merta kebal hukum. Lagipula, Eva enggan memanfaatkan jaringan keluarganya. Ditambah, pemimpin Front Rakyat Advokasi Sawit Sulawesi Tengah ini yakin bahwa tindakannya tak melanggar hukum. Bersama para petani, ia memilih berjuang dari dalam penjara.
"Hukum yang tak adil, tak layak untuk dipatuhi!" ujarnya.
Eva dan para petani pun melakukan aksi mogok makan. Beberapa petani ambruk dan dibawa ke rumah sakit di hari kelima. "Saya di hari ketujuh harus dibawa ke rumah sakit karena dehidrasi," kata Eva. Dalam kondisi diinfus, Eva pun masih melakukan aksi mogok makan, hingga dia harus tanda tangan pernyataan bahwa rumah sakit tak bertanggung jawab atas kondisi kesehatannya.
“Akhirnya proses pemulihannya diserahkan kepada kami. Kami kembali ke kampung, dijemput lagi, masuk lagi. Jadi sebagai perlawanan kami terhadap keadilan, kami nggak makan, karena kami dalam penjara, itulah yang bisa kami lakukan,” ujar Eva.
Meski setelah sehat ia kembali dijemput jaksa, aksi mogok tetap mereka lakukan. Ini membuat proses sidang berlarut-larut dan masa tahanan mereka habis hingga mereka keluar dari tahanan.
Namun, proses persidangan itu tetap berjalan, hingga hakim Pengadilan Negeri Luwuk menyatakan ia bersalah dan divonis empat tahun penjara. Eva menganggap ini sebagai bentuk ketidakadilan. "Sebab biasanya (untuk kasus seperti ini), paling banter ya 6 bulan." Dia pun mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Palu dan kasasi ke Mahkamah Agung.
“Biasanya peradilan itu bagi para terdakwa selalu ada yang meringankan dan memberatkan. Nah pada saya nggak ada yang meringankan. Mungkin [sikap] saya dinilai sebagai salah satu bentuk perlawanan terhadap peradilan, karena saya tahu betul risikonya, salah satunya ketika hukuman harus naik,” kata Eva.
Bulan Mei 2014, Eva mulai menjalani keseharian di dalam jeruji besi. Dia melakukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasus hukumnya. Eva juga sempat pindah dari Lembaga Pemasyarakatan Banggai ke Lembaga Pemasyarakatan Palu. Di Lapas Palu lah Eva mendapat kabar dari Menteri Hukum dan HAM bahwa Presiden hendak memberikan grasi.
Eva pun melalui prosedur formal pengajuan grasi, tapi dia memberi persyaratan kepada Jokowi.
“Bahwa apa yang diberikan presiden atau diperlakukan itu kepada saya, harus dilakukan pada dua petani yang sama-sama saya kala itu, dan mengakui apa yang kami perjuangkan. Itu menjadi bagian dalam dokumen,” tuturnya.
Pada 22 Desember 2014 Eva resmi dibebaskan, tapi perjuangannya belum selesai. Baginya, isu tanah adalah isu yang harus dipraktikan. Membela kelompok tani terus dia lakukan. Perampasan lahan rakyat menghilangkan sumber penghidupan dan menimbulkan krisis keuangan.
Perjuangan konsisten Eva mendampingi petani membuahkan penghargaan Yap Thiam Hien 2018. Eva mendapat penghargaan itu bersama Sedulur Sikep yang berjuang melawan pabrik semen di wilayah Kendeng. Bagi Eva, penghargaan Yap Thiam Hien tak hanya menjadi bentuk apresiasi perjuangan hak asasi manusia, tapi juga dapat menjadi pemantik untuk perjuangan yang lebih luas.
“Tak hanya bagi saya, tapi juga bagi seluruh petani yang saat ini tengah berjuang di lapangan agraria. Baik yang saat ini sedang berhadap-hadapan, maupun dalam penjara saat ini,” ucapnya.
Eva mengapresiasi pemerintahan Jokowi yang dia anggap memberikan ruang bagi rakyat. “Rakyat bisa mengusulkan wilayah yang menjadi sengketanya menjadi pertentangan klaimnya antara rakyat dengan korporat atau komunitas dengan negara. Itu ada jalur yang disediakan,” katanya.
Eva juga masih menaruh bermacam harapan pada pemerintahan Jokowi. Dia ingin Jokowi membentuk satuan tugas untuk penyelesaian agraria, yang langsung dipimpin oleh presiden. Keinginan itu telah ia utarakan pada Jokowi saat diundang ke istana negara, tapi belum terwujud.
Permintaan Eva yang belum dikabulkan Jokowi tak hanya itu. Hingga kini dia masih berjuang untuk membebaskan dua orang petani lainnya. Mereka dijanjikan akan dibebaskan bersama Eva, namun hingga sekarang belum juga menghirup udara segar.
“Dua petani lagi masih menjadi perjuangan saya saat ini, karena mereka yang dijanjikan kepada saya untuk dibebaskan. Itu belum terlaksana," ujarnya.
Editor: Nuran Wibisono