tirto.id - Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Perencanaan Strategis, Yudo Dwinanda Priadi menjelaskan tanah Papua memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Tetapi sayangnya energi terbarukan di Bumi Cendrawasih tersebut belum sepenuhnya dikembangkan dan dimanfaatkan.
"Pulau Papua punya modal pengembangan green industri sangat besar," kata dia dalam acara Jakarta Energy Forum, di Hotel The Sultan Jakarta, Rabu (31/5/2023).
Berdasarkan data yang dimiliki Kementerian ESDM, energi surya di tanah Papua total potensinya mencapai 327,2 Giga Watt. Potensi energi surya tersebut berada di Papua Bara 66,9 Giga Watt dan di Papua 253,3 Giga Watt.
Kemudian energi hidro totalnya mencapai 35,9 Giga Watt. Terdiri dari Papua Barat 3,0 Giga Watt dan Papua 32,9 Giga Watt. Sedangkan untuk bionergi dan bayu masing-masing potensinya mencapai 0,14 Giga Waat dan 23,1 Giga Watt.
"Potensi energi terbarukan tersebut dapat menjadi modal dalam pengembangan green industry," pungkas dia.
Lembaga studi publik yang fokus pada ketersediaan energi, ReforMiner Institute sebelumnya menilai terdapat tantangan serius bagi pelaku industri Energi Baru Terbarukan (EBT), tak terkecuali geothermal. Apalagi bisnis transisi energi dari fosil ke EBT masih tergolong anyar.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro menyarankan, setidaknya perusahaan yang bergerak dalam penyediaan energi baru terbarukan, khususnya geothermal, lebih pandai berhitung dalam menentukan proyeksi target implementasi.
“Belajar dari pengalaman yang sudah-sudah, terkadang implementasi di lapangan tidaklah semanis atau tidaklah linear,” ujarnya dalam dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis (2/3/2023).
Dalam pandangannya, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dianggap lebih ekonomis dibandingkan dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Pada Perpres 112 Tahun 2022 dinyatakan harga listrik PLTA dengan kapasitas 20 MW - 50 MW, harga patokan tertingginya senilai 8,86 sen/kWh.
Sedangkan untuk harga listrik PLTP kapasitas 10 - 50 MW, harganya 9,41 sen/kWh. Padahal PLTP sejatinya harus dibangun di dekat sumber panas bumi, berbeda dengan PLTU yang menggunakan batu bara, di mana tambangnya bisa beratus kilometer dari lokasi pembangkit.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Intan Umbari Prihatin