Menuju konten utama

Epidemiolog Griffith: Obat COVID-19 Paxlovid Miliki Keterbatasan

Keterbatasan tersebut antara lain efikasi, harganya mahal dan jumlahnya terbatas serta berisiko timbulkan resistensi.

Epidemiolog Griffith: Obat COVID-19 Paxlovid Miliki Keterbatasan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Lukito memberikan keterangan pers terkait vaksin COVID-19 booster atau vaksin lanjutan di Kantor BPOM, Jakarta, Senin (10/1/2022). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/nym.

tirto.id - Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menilai bahwa obat COVID-19 Paxlovid yang baru saja diberikan emergency use authorization (EUA) atau izin penggunaan darurat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) memiliki keterbatasan.

BPOM menjelaskan, obat berbentuk tablet salut selaput tersebut merupakan terapi antivirus inhibitor protease SARS-CoV-2 yang dikembangkan dan diproduksi oleh Pfizer.

Sebelumnya, Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito mengatakan bahwa dosis yang dianjurkan adalah 300 mg Nirmatrelvir (dua tablet 150 mg) dengan 100 mg Ritonavir (satu tablet 100 mg) yang diminum bersama-sama dua kali sehari selama 5 hari.

“Artinya kalau sudah lebih dari 5 hari, ya dia tidak terlalu efektif. Tetap orang itu bisa meninggal, bisa juga parah, apalagi belum divaksin,” terang Dicky saat dihubungi Tirto pada Senin (18/7/2022) sore.

Selain itu keterbatasan dari Paxlovid ini, kata dia, adalah harganya mahal dan jumlahnya terbatas. Lalu menurut Dicky, obat ini masih dalam investigasi seperti bagaimana untuk pasien yang sudah divaksinasi COVID-19, dampaknya, serta beberapa efek sampingnya yang masih dalam pengujian.

“Jadi, pemberian Paxlovid ini harus betul-betul diprioritaskan pada kelompok atau orang yang memang berisiko tinggi,” ujar dia.

Oleh karena itu, Dicky menyebut bahwa kelompok yang berisiko tinggi misalnya lanjut usia (lansia) dan komorbid harus betul-betul diberikan literasi bagaimana mereka mendapatkan Paxlovid, selain dilindungi oleh vaksinasi COVID-19. Penggunaan Paxlovid juga harus sangat dibatasi, yakni hanya pada kelompok yang bergejala ringan maupun parah akibat COVID-19.

“Karena apa? karena bila ini digunakan secara umum dan tidak terkendali, dampak bahaya lain penggunaan Paxlovid ini adalah adanya resistansi, adanya varian, subvarian yang akhirnya resistansi terhadap Paxlovid ini. Yang akhirnya akan merugikan, karena orang yang tadinya bisa dicegah kematiannya atau keparahannya, menjadi tidak bisa karena si virusnya sudah resistan,” jelas dia.

Dicky menambahkan, penggunaan selektif Paxlovid ini harus atas rekomendasi atau pengawasan dokter. “Dengan diizinkannya terapi Paxlovid oleh BPOM, bukan berarti pandemi selesai atau masalah selesai. Satu-satunya cara pasti untuk bertahan dalam situasi pandemi COVID-19 bukan untuk dengan terinfeksi COVID-19, tapi dengan cara vaksinasi tiga dosis, memakai masker, jaga Jarak, serta perbaikan kualitas udara,” pungkas dia.

Sebelumnya, BPOM menerbitkan EUA untuk Paxlovid sebagai obat COVID-19. “Paxlovid yang disetujui berupa tablet salut selaput dalam bentuk kombipak yang terdiri dari Nirmatrelvir 150 mg dan Ritonavir 100 mg dengan indikasi untuk mengobati COVID-19 pada orang dewasa yang tidak memerlukan oksigen tambahan dan yang berisiko tinggi terjadi progresivitas menuju COVID-19 berat,” kata Kepala BPOM Penny Kusumastuti Lukito dalam keterangan tertulis, Senin (18/7/2022).

BPOM melaporkan berdasarkan hasil kajian terkait dengan keamanannya, secara umum pemberian Paxlovid dapat ditoleransi. Efek samping tingkat ringan hingga sedang yang paling sering dilaporkan pada kelompok yang menerima obat tersebut adalah gangguan indra perasa dysgeusia sebanyak 5,6 persen, diare 3,1 persen, sakit kepala 1,4 persen, dan muntah 1,1 persen.

Sementara dari sisi efikasi, hasil uji klinis fase kedua dan tiga menunjukkan Paxlovid dapat menurunkan risiko hospitalisasi atau kematian sebesar 89 persen pada pasien dewasa COVID-19 yang tidak dirawat di rumah sakit dengan komorbid atau penyakit penyerta.

Baca juga artikel terkait OBAT COVID-19 atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri