tirto.id - Terdakwa kasus korupsi PLTU Riau 1 Eni Maulani Saragih divonis bersalah dalam kasus korupsi PLTU Riau-1.
"Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap terdakwa Eni Maulani Saragih dengna pidana penjara selama 6 tahun dan pidana denda sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana kurungan selama 2 bulan," kata Ketua Majelis Hakim, Yanto, membacakan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Jumat (1/3/2019).
Hukuman Eni lebih rendah dibanding jaksa KPK. Jaksa KPK menuntut anggota Eni Maulani Saragih dengan hukuman 8 tahun penjara.
Jaksa menilai politikus Partai Golkar itu telah bersalah menerima suap terkait dengan pembangunan PLTU Riau-1 dan menerima gratifikasi.
Selain pidana kurungan dan denda, Eni dikenakan pidana pengganti sebesar Rp5,087 miliar dan 40 ribu dollar Singapura.
Pengembalian uang tersebut merupakan selisih dari total penerimaan Eni yang mencapai Rp10,35 miliar dan 40 ribu dollar Singapura. Apabila tidak dibayar dalam kurun 1 bulan, harta Eni disita negara sesuai nominal vonis.
Apabila harta Eni tidak cukup untuk membayar uang pengganti, Eni menjalani hukuman tambahan selama 6 bulan. Hak politik Eni pun dicabut selama 3 tahun oleh hakim.
"Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa Eni Maulani Saragih yaitu pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama 3 tahun sejak terdakwa Eni Maulani Saragih menjalani pidana pokok," tutur Yanto.
Eni dianggap melanggar dakwaan kesatu pertama dan dakwaan kedua. Eni dianggap terbukti menerima suap senilai Rp4,75 miliar dari pemegang saham Blackgold Natural Resources Johannes B. Kotjo terkait proyek PLTU Riau-1.
Uang tersebut diterima Eni karena membantu Kotjo mendapatkan proyek Independent Power Producer (IPP) Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU) Riau 1.
Proyek rencananya akan dikerjakan oleh PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company yang dibawa oleh Kotjo.
Selain itu, Eni terbukti menerima gratifikasi dalam persidangan. Politikus Golkar itu dianggap terbukti menerima Rp5,6 miliar dan 40 ribu dolar Singapura dari sejumlah Direktur Perusahaan di bidang minyak dan gas.
Di antaranya dari Prihadi Santoso selaku Direktur PT Smelting Rp 250 juta, Herwin Tanuwidjaja selaku Direktur PT One Connect Indonesia sejumlah Rp100 juta dan 40 ribu dolar Singapura.
Selain itu, Eni juga menerima uang dari Samin Tan selaku Pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal sejumlah Rp 5 miliar, dan Iswan Ibrahim selaku Presiden Direktur PT Isargas sejumlah Rp250 juta.
Dalam pertimbangan putusan Hakim beranggapan hal yang memberatkan hukuman Eni karena politikus Golkar itu tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Sementara itu, dari sisi yang meringankan, Eni dianggap kooperatif dalam proses persidangan, bersikap sopan, mengakui kesalahan, menyerahkan uang hasil kejahatan, dan belum pernah dihukum.
Hakim menyatakan, Eni melanggar dakwaan pertama, yakni pasal 12 huruf a UU Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 kuhp pasal 64 ayat 1 KUHP dan Pasal 12B ayat 1 UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 tahun 2001 jungto Pasal 65 ayat 1 KUHP.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Zakki Amali