tirto.id - Terapi plasma konvalesen untuk mengobati pasien COVID-19 semakin populer. Orang-orang yang membutuhkannya bahkan harus antre, menurut Ketua Bidang Unit Donor Darah Palang Merah Indonesia (PMI) Linda Lukitari Waseso beberapa waktu lalu.
Dalam terapi ini, darah dari penyintas yang telah sembuh minimal 14 hari diberikan kepada penderita COVID-19. Plasma darah dari penyintas dianggap kaya antibodi sehingga saat ditransfusikan kepada pasien akan bekerja seperti imunisasi.
Masalahnya efektivitas terapi ini masih diperdebatkan. Sebuah riset yang melibatkan 400 pasien menyebutkan bahwa efektivitas terapi terbatas. Di India, studi lain menyebut terapi tidak mengurangi risiko pasien sakit parah maupun sekarat.
Dalam penelitian lain, terapi konvalesen malah memicu mutasi COVID-19. Studi kasus terhadap seorang pasien COVID-19 yang juga mengidap kanker di Inggris menunjukkan setelah ia diberikan terapi plasma konvalesen virus yang ada di dalam tubuhnya bermutasi. Hasil studi diterbitkan oleh Nature, sebuah jurnal ilmiah bergengsi pada 5 Februari 2021.
Pasien ini sempat dirawat selama 101 hari sebelum meninggal dunia pada hari ke-102. Ia diberikan terapi plasma konvalesen pada hari ke-65. Sebelum diberikan terapi, genom (keseluruhan informasi genetik yang dimiliki suatu sel atau organisme) virus sama. Satu hari setelah menjalani terapi plasma konvalesen, lewat pemeriksaan genom, diketahui virus telah bermutasi dan bermutasi lagi pada hari ke-88.
Pasien kembali diberikan terapi plasma pada hari ke-93. Hasilnya, dari pemeriksaan genom dua hari kemudian, didapati mutasi terhadap dua varian virus sekaligus.
Dampak mutasi atau virus yang berkembang, menurut riset itu, tidak lain akan membuat sistem kekebalan tubuh yang melawan infeksi kurang efektif. Singkatnya, virus memberikan tekanan yang lebih besar terhadap antibodi.
Ravindra Gupta, salah satu tim peneliti, mengatakan “ketika virus memiliki kesempatan untuk menetap pada satu orang untuk waktu yang lama dan bereplikasi selama berminggu-minggu dan berbulan-bulan, ia belajar bagaimana melawan sistem kekebalan.”
Meskipun plasma konvalensen tampaknya tidak membahayakan, namun itu tidak memberikan manfaat yang jelas, kata Ravindra, profesor mikrobiologi klinis di Cambridge Institute of Therapeutic Immunology and Infectious Disease.
Sebelum penelitian Ravindra dkk itu dipublikasikan, Randomized Embedded Multifactorial Adaptive Platform for Community-acquired Pneumonia (REMAP-CAP) yang melakukan penelitian di berbagai negara termasuk Inggris telah menghentikan pendaftaran uji coba terapi plasma konvalesen terhadap pasien kategori parah.
Doktor biologi molekuler dari Harvard Medical School Ahmad Rusdan Handoyo mengatakan hasil penelitian di Inggris setidaknya menunjukkan terapi ini tidak efektif diberikan pada pasien COVID-19 yang mengidap kanker. Selain itu, riset juga dapat jadi pertimbangan dalam pelaksanaan terapi, terutama soal “risiko munculnya varian COVID-19 apabila diberikan pada pasien yang imunitasnya dalam kondisi tertekan, misalnya pasien kanker yang sedang mengalami terapi,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa (9/1/2021).
Atas dasar itu pula menurutnya perlu edukasi agar tidak muncul harapan yang berlebihan terhadap terapi ini.
Belum Bisa Jadi Program Nasional
Meski efektivitas masih diperdebatkan, di Indonesia terapi plasma konvalesen terus didorong penggunaannya. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengatakan pelaksanaan donasi plasma konvalesen dari penyintas COVID-19 terus meningkat.
Dalam siaran pers Senin (8/2/2021), dia bilang hingga 3 Februari 2021 terdapat 14.470 plasma dari total 34 Unit Donor Daerah Palang Merah Indonesia (UDD PMI) yang sudah didonasikan oleh para penyintas. “Jumlah tersebut meningkat signifikan dibandingkan pada 12 Januari sebanyak 4.263 plasma. Itu artinya meningkat sampai 239 persen,” kata Muhadjir.
Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman mengatakan atas dasar hasil penelitian terbaru, pemerintah Indonesia belum dapat menjadikan terapi plasma konvalesen sebagai program nasional. Pelaksanaan terapi pun harus benar-benar diawasi mengingat ada risiko virus bermutasi.
“Mengundang masalah serius ketika pelaksanaan tidak dilakukan melalui skrining dan pemantauan yang ketat, dan ini tidak bisa menjadi program nasional,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Selasa.
Ahmad Rusdan Handoyo menganjurkan siapa pun yang tertarik untuk terapi plasma untuk terlibat dalam uji klinis yang tengah dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes). “Agar datanya bisa tercatat sehingga bisa membuat kesimpulan [soal efektivitas terapi],” katanya.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino