Menuju konten utama

Efektifkah Organisasi Ekstra Kampus Redam Radikalisme?

Organisasi ekstra kampus mungkin efektif menangkal radikalisme, tapi mungkin juga tidak.

Efektifkah Organisasi Ekstra Kampus Redam Radikalisme?
Aktivis mahasiswa dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan HMI-Wati (KOHATI) berunjuk rasa di gedung Dewan DPRK Aceh Utara, di Lhokseumawe, Aceh, Rabu (26/9/2018). ANTARA FOTO/Rahmad/kye/18.

tirto.id - Organisasi ekstra kampus (organ ekstra) sudah bebas beraktivitas di lingkungan internal kampus. Ini tak lepas dari keputusan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi menerbitkan peraturan bernomor 55 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Bangsa.

Aturan ini menggantikan Keputusan Dirjen Pendidikan Tinggi Nomor 26 yang terbit tahun 2002.

Menristekdikti Mohamad Nasir berkata peraturan baru ini tak sekadar melegalkan organ ekstra beraktivitas di internal kampus, tapi juga untuk menghalau radikalisme.

"[Ini] upaya pemerintah menekan paham-paham intoleran dan radikal di kampus," kata Nasir di Jakarta, Senin (29/10/2018), seperti dikutip dari Antara.

Teknisnya begini: setelah dilegalkan, organ ekstra diminta berhimpun dalam wadah bernama Unit Kegiatan Mahasiswa Pengawal Ideologi Bangsa (UKMPIB). Turunannya beragam, bisa kaderisasi atau diskusi publik. Intinya, menjadikan empat pilar kebangsaan (UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) sebagai wacana arus utama di kalangan mahasiswa.

Namun, apakah kebijakan ini akan benar-benar efektif?

Infografik CI Peraturan Menristekdikti

Peneliti Terorisme dari Pusat Kajian Keamanan Nasional (Puskamnas) Ali Asghar menilai legalisasi organisasi ekstra kampus bisa dibilang sangat terlambat dilakukan. Dampaknya tak akan terasa dalam waktu dekat. Soalnya, paham radikal adalah imbas dari kebijakan normalisasi kampus yang diterapkan Orde Baru. Atau dengan kata lain, sudah berlangsung puluhan tahun.

"Memang sudah sangat terlambat, tetapi daripada tidak sama sekali?" kata Ali kepada reporter Tirto, Kamis (1/11/2018) siang.

Penulis buku Men-Teroris-KanTuhan ini mengatakan apa yang diupayakan pemerintah saat ini tidak cukup. Perlu upaya yang lebih dalam, semisal merevitalisasi kurikulum pendidikan tinggi.

Tak ada Gerakan Tandingan

Dalam wawancara dengan Tirto pada Juli lalu, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra mengatakan radikalisme dan intoleransi di kampus berkembang karena tak ada gerakan tandingan yang sama besar selama ini.

Gerakan tandingan yang ia maksud adalah organ ekstra, seperti HMI atau GMNI, yang dilarang eksis sebelum adanya Permenristekdikti.

"Akibatnya apa? Seluruh wacana dan gerakan mahasiswa di kampus cenderung dikuasai oleh LDK [Lembaga Dakwah Kampus] dan KAMMI [Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia], terutama di perguruan tinggi negeri," katanya.

Al Chaidar Abdul Rahman Puteh, dosen Antropologi di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh, sependapat dengan Azyumardi. Namun ia melihat lebih jauh: tandingan radikalisme bukan cuma dari organisasi yang dikenal sebagai "kelompok Cipayung" itu, tapi juga kelompok lain. Masalahnya, kelompok lain ini kerap kali dilarang menggelar kegiatan.

"Ilmu pengetahuan hanya mungkin berkembang dalam atmosfer yang bebas tanpa tekanan," katanya kepada reporter Tirto.

Pelarangan ini biasanya terjadi pada diskusi atau kegiatan yang terkait dengan peristiwa 1965 atau soal PKI dan ideologinya. Misalnya pelarangan diskusi soal Marxisme di Universitas Indonesia pada September lalu yang dilakukan Rektorat UI.

Soal ini, kata Al Chaidar, jadi masalah tersendiri. Sikap Kemenristekdikti mempersilakan organisasi ekstra kampus kembali beraktivitas tapi di sisi lain memberangus yang lain, sama saja dengan memberi "karpet merah" kepada radikalisme jenis lain. Soalnya, dalam amatan Chaidar, banyak organisasi tersebut yang juga jadi ekstrem kanan.

"Mereka juga terjebak dengan conservative turn," katanya.

Baca juga artikel terkait RADIKALISME atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino