Menuju konten utama

Efek Gas Air Mata Kedaluwarsa dan Odol Sebagai Penangkal

Pendapat soal efek gas air mata kedaluwarsa masih terbelah dua. Ada yang bilang efeknya justru tereduksi. Ada juga yang berpendapat gas kedaluwarsa bereaksi membentuk komponen senyawa berbahaya lain.

Efek Gas Air Mata Kedaluwarsa dan Odol Sebagai Penangkal
Polisi menembakkan gas air mata saat aksi mahasiswa dan pelajar di sekitar flyover, Jakarta, Senin (30/9/2019). Petugas memblokade akses mahasiswa menuju gedung DPR RI dengan kawat berduri dan pembatas jalan. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Untuk memukul mundur demonstran tak cukup tembakan gas air mata biasa, tapi butuh juga produk yang kedaluwarsa.

Seorang pewarta menemukan selongsong gas air mata yang ditembakkan aparat ketika aksi demonstrasi Selasa, 24 September kemarin. Keterangan di badan tabung menunjukkan kode produksi milik PT PINDAD yakni MU 24-AR. Yang bikin menarik, kode penggunaan tabung disarankan sebelum bulan Mei 2016. Artinya, gas air mata itu sudah kedaluwarsa lebih dari tiga tahun.

Temuan itu kemudian jadi narasi panjang ketika para demonstran curiga pihak kepolisian menggunakan lebih banyak produk kedaluwarsa. Mereka khawatir tabung gas kedaluwarsa memiliki efek lebih menyakitkan dan berbahaya. Sementara pihak kepolisian sempat mengelak menggunakan produk kedaluwarsa, sebelum akhirnya berbalik mengakui.

“Justru tidak ada bahaya (produk kedaluwarsa), seperti kerupuk melempem gitu,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo.

Tapi benarkah efeknya seperti yang diklaim pihak kepolisian?

Komposisi gas air mata dapat terdiri dari salah satu senyawa kimia o-chlorobenzylidene malononitrile, dikenal sebagai CS, atau phenacyl klorida (CN), dibenzoxazepine (CR), dan semprotan merica (OC). Gas ini disimpan dalam bentuk semprotan atau granat dan bisa menyebabkan iritasi mata atau sistem pernapasan.

“Yang paling beracun adalah CN. Di Amerika sebutannya ‘Mace’, diikuti CS dan OC,” ujar dokter Gitalisa Andayani, spesialis mata, kepada Tirto, Jumat, (27/9/2019). Produk milik Pindad merupakan gas air mata jenis CS.

Menurut BBC, CN merupakan versi pendahulu dari CS, sementara CR adalah tipe gas air mata yang punya efek enam kali lebih kuat dari CS. Namun gas CR merupakan tipe yang paling jarang digunakan dan sudah dilarang di Amerika karena diduga bisa menyebabkan kanker.

Yang Kedaluwarsa Lebih Berbahaya?

Penggunaan gas air mata kedaluwarsa untuk melumpuhkan massa ternyata tak cuma dilakukan aparat Indonesia. Sebelumnya, produk kedaluwarsa (3-4 tahun) pernah juga dipakai untuk memukul mundur demontran di Kairo oleh aparat Mesir pada 2011. Saat itu Revolusi Mesir berhasil menggulingkan Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun.

Demonstran Hong Kong juga tak luput terkena gas air mata kedaluwarsa saat protes pelepaskan diri dari Cina. Gas kedaluwarsa yang digunakan aparat di sana lewat dua bulan dari masa saran pakai. Sama seperti Indonesia, demonstran di Kairo dan Hong Kong juga menganggap penggunaan gas air mata kedaluwarsa telah melanggar pedoman Konvensi Senjata Kimia Jenewa tahun 1993.

Apalagi, polisi Hong Kong seringkali menembakkan gas tersebut di area tertutup, seperti gedung, dan perumahan.

Tapi, kita perlu menguji lebih lanjut klaim yang mengatakan gas air mata kedaluwarsa punya efek lebih berbahaya. Sejauh ini, penelitian spesifik soal efek kedaluwarsa gas air mata masih sangat sedikit.

Bahkan pendapat ahli terpecah jadi dua, ada yang beropini masa kedaluwarsa justru mereduksi efek gas karena bahan kimia penyusunnya telah rusak, tapi ada juga pendapat sebaliknya. Pakar keamanan dan bekas polisi Hong Kong Clement Lai Kai-chi mengatakan kepada South China Morning Post bahwa amunisi masih punya umur pakai sampai lima tahun setelah masa kedaluwarsa.

“Tanggal di produk cuma saran pemakaian terbaik. Kedaluwarsa hanya memengaruhi fungsionalitas putaran, bukan soal asap basi atau bikin lebih banyak kerusakan,” kata Lai.

Di sisi lain, penelitian Mónica Kräuter, seorang profesor kimia Universitas Simón Bolívar, Venezuela memberi perspektif berbeda. Dikutip dari kantor berita lokal Proiuris, tesis doktoral Kräuter meneliti penggunaan gas air mata pada demonstrasi di Venezuela selama tahun 2014 hingga 2017. Pada 2014, ia menemukan sebanyak 72 persen dari seribu gas air mata yang digunakan aparat sudah kedaluwarsa.

Pada 2017, prevalensi penggunaan gas kedaluwarsa oleh aparat Venezuela naik jadi 80 persen. Mayoritas gas-gas tersebut diimpor dari Brasil (72 persen), bermerek Condor--yang sudah memenuhi syarat perjanjian Jenewa. Mereka juga menggunakan gas produksi lokal bermerek CAVIM sebanyak 21 persen dan produksi Amerika dua persen. Yang tidak diketahui asalnya sebesar lima persen.

“Merek CAVIM ini 100 persen tidak mencantumkan tanggal pembuatan atau kedaluwarsa, jadi kita tidak tahu berapa lama masa pakainya,” terang Kräuter.

Dalam studinya, Kräuter memaparkan bahwa komponen gas CS kedaluwarsa akan terurai menjadi bahan kimia berbahaya. Waktu dan proses penyimpanan dapat menciptakan senyawa lain, termasuk klorobenzaldehida, malononitril, hidrogen sianida, asam klorida, nitro oksida, karbon monoksida, klorin, asetilena, dan fosgen.

Semua senyawa itu memiliki toksisitas berbeda, dari yang bisa ditoleransi tubuh hingga yang mematikan. Apalagi, jika gas terhirup oleh kelompok rentan seperti orang tua, anak kecil, ibu hamil, atau orang dengan riwayat penyakit sebelumnya. Toksisitas gas juga akan meningkat ketika seseorang terpapar berberapa kali, dalam ruang tertutup, dan berjarak dekat.

“Ketika dalam 30 menit cuma terasa mata perih dan batuk artinya tubuh menolerir efek gas. Waspada ketika kejang atau kehilangan kendali tubuh, efeknya sudah dialihkan dari sistem pernapasan ke saraf.”

Infogafik Gas Air Mata

Infogafik Gas Air Mata. tirto.id/Sabit

Atasi Efek Gas Pakai Odol?

Odol dioles di bawah mata, kain atau masker tipis penutup hidung, dan nyali. Kiranya itu saja starter pack yang perlu disiapkan untuk maju menyampaikan aspirasi di jalan. Odol selama ini cukup populer sebagai penangkal perihnya gas air mata, tak hanya Indonesia, tapi juga di berbagai belahan dunia lain.

Cara ini sudah dipakai bahkan dalam protes 30 November 1999 di Amerika, ketika lebih dari 40 ribu orang menentang pertemuan WTO ke-3. Mereka menuntut pembubaran WTO yang dipandang mengancam hak-hak buruh. Perusahaan yang memiliki sejumlah modal di negara lain dapat dengan mudah memengaruhi keputusan politik di negara tersebut. Aksi ini dinamai ‘N30’.

Arsip milik Yes Magazine (hal 4) menggambarkan para demonstran saat itu kompak berpakaian serba hitam. Mereka melengkapi diri dengan jaket bertudung, pasta gigi, baking powder, dan kain yang dibasahi cuka apel untuk menutup hidung guna menangkal efek gas air mata.

Tapi siapa sangka, ternyata semua pengetahuan itu belum terbukti secara ilmiah. First Applied Sorbent Treatment Against Chemical Threats (FAST ACT) menjabarkan mitos lain seputar pengendalian gas air mata, di antaranya memakai penutup kain yang dibasahi cuka apel, lemon, atau air, mengoleskan pasta gigi di bawah mata, dan mengendus potongan bawang.

“Memakai pasta gigi atau sunblock malah menyerap gas. Zat-zat kimia di dalamnya bisa bereaksi dengan zat kimia dalam gas air mata,” ungkap Gitalisa sebagai dokter spesialis anak.

Pencegahan yang tepat menurut Gita adalah dengan mengenakan masker gas seperti escape hood atau gas respirator. Setidaknya kacamata pelindung seperti goggle glass yang kedap udara. Jika sudah terpapar gas air mata, segeralah pergi ke area terbuka, dan siram area terpapar dengan air atau larutan garam fisiologi (NaCl).

Baca juga artikel terkait GAS AIR MATA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Windu Jusuf