tirto.id - Agenda politik yang bakal memiliki dampak terhadap perkembangan ekonomi dan bisnis secara global adalah rencana pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dengan Pemimpin Tertinggi Korea Utara Kim Jong-un pada Juni 2018 mendatang. Setelah pada hari Kamis (24/5/2018) Trump mengumumkan pembatalan pertemuan dengan Kim Jong-un, tapi setelah itu Donald Trump mengatakan bahwa pertemuan tersebut masih mungkin terlaksana.
Selain membuka peluang terlaksananya pertemuan, Donald Trump juga menyebut bahwa pertemuan dengan Kim Jong-un bisa terlaksana sesuai jadwal semula yakni pada 12 Juni dan bertempat di Singapura, seperti ditulis Donald Trump di akun twitternya @realDonaldTrump pada Sabtu (26/5/2018)
Rencana pertemuan yang digemborkan sejak Maret ini, merupakan ajakan yang tidak biasa karena belum pernah dilakukan sebelumnya oleh Pemimpin Tertinggi Korea Utara. Dalam undangan tersebut, Kim Jong-un menyampaikan bahwa pihaknya sepakat untuk menghentikan uji coba rudal dan senjata nuklir, serta melakukan “denuklirisasi”.
Ajakan pertemuan ini menjadi terobosan besar di kancah politik global, setelah sebelumnya terdapat situasi yang penuh ancaman dan kekerasan terkait Korea Utara. Kabar rencana pertemuan tersebut membuat reaksi pasar sumringah.
Respons pasar memang positif terhadap rencana pertemuan kedua tokoh dunia itu, semenjak wacana ini muncul bergulir pada Maret 2018. Melansir Reuters, Indeks Dow Jones Industrial Average naik dengan penambahan 440,53 atau setara dengan 1,77 persen. Indeks S&P 500 dan Nasdaq komposit masing-masing terangkat 47,6 poin atau setara 1,74 persen dan bertambah 132,86 poin atau setara dengan 1,79 persen, pada Jumat (9/3/2018) setelah kabar rencana kemungkinan pertemuan keduanya beredar.
Indeks saham Jepang juga naik dua persen di akhir perdagangan dan pasar saham Korea Selatan juga menguat 1,5 persen dan menjadi salah satu penutupan perdagangan terbaik selama sejak Mei 2017. Respons baik juga datang dari indeks saham Australia yang terangkat 0,4 persen sepanjang perdagangan harian.
Dalam konteks rencana pertemuan 12 Juni mendatang, Frank Jannuzi, CEO Maureen and Mike Mansfield Foundation kepada USA Today mengatakan, jika pertemuan antara Donald Trump dan Kim Jong-un sukses terlaksana dan mengarah pada perjanjian damai serta reunifikasi, maka berbagai manfaat ekonomi akan diperoleh termasuk oleh Korea Selatan. Di antaranya adalah mengurangi biaya risiko untuk bisnis dan investasi. Adanya akses ke tenaga kerja Korea Utara yang murah untuk perusahaan Korea Selatan.
Terbukanya jalur distribusi darat untuk barang ekspor Korea Selatan ke pasar Cina, yang diperkirakan lebih murah dibanding jalur laut. Potensi mendapatkan energi berbiaya murah dengan mengimpor minyak dan gas Rusia dengan kereta api atau pipa. Efek perdamaian akan mengurangi belanja pertahanan.
Peningkatan iklim ekonomi jika Korea Utara tidak menguji misil dan senjata nuklir. Reunifikasi untuk keluarga yang terpisah. “Suasana di Seoul terlalu bersemangat, terlalu menggembirakan, mengingat fakta bahwa semua yang kami miliki sejauh ini adalah yang terbaru dalam serangkaian upaya untuk menempatkan hubungan Utara-Selatan pada pijakan yang lebih baik,” kata Jannuzi seperti dilansir dari USA Today.
Andy B. Anderson, pengajar Hubungan Internasional dan Konsentrasi Keamanan Internasional di Universitas Norwich dalam jurnal Landmark Summit Between Trump and Kim menuliskan penggabungan Korea Utara ke dalam sistem regional dan global melalui penerapan kebijakan ekonomi dapat memperkuat kapitalisme global sebagai fondasi ekonomi internasional yang menguntungkan kemakmuran Amerika Serikat.
Jika AS memutuskan untuk meringankan sanksi dalam hubungan diplomatiknya dengan Korea Utara dalam rangka menuju denuklirisasi, hal itu dapat membuka ekonomi Korea Utara lebih besar. Sebab, akan banyak perusahaan-perusahaan asal AS yang akan terlibat di sektor ekonomi sehingga meningkatkan kemakmuran kedua negara.
“Integrasi ekonomi Korea Utara ke dalam sistem regional dan global dapat memperkuat kapitalisme global dan menguntungkan ekonomi AS. Meskipun kepemimpinan Korea Utara telah menunjukkan minat pada beberapa reformasi ekonomi dasar, tapi dengan berlanjutnya kerja sama dengan AS potensi Korea Utara untuk integrasi global lebih terbuka,” tulis Andy.
Apa yang bakal terjadi soal rencana pertemuan Trump dan Kim Jong-un memang memberikan angin positif bagi prospek stabilitas politik, ekonomi, dan bisnis di kawasan. Semenanjung Korea yang merupakan bagian dari Asia Pasifik menjadi titik penting dari perkembangan kawasan terutama di era digital.
E-Commerce Tak Luput Jadi Perhatian
Pada bulan mendatang beberapa agenda lain yang tak kalah jadi sorotan adalah perkembangan dunia digital di bisnis e-commerce. Pulau Dewata menjadi tuan rumah konferensi bertaraf internasional tentang kegiatan bisnis berbasis teknologi elektronik, sistem pendidikan berbasis media elektronik dan juga perdagangan berbasis teknologi elektronik. Agenda ini diselenggarakan pada 25 Juni-27 Juni 2018.
Berbagai kegiatan berbasis teknologi elektronik, menjadi fokus bahasan di era digital ini. Namun, tidak semua kegiatan berbasis teknologi elektronik terkait e-commerce atau kegiatan bisnis berbasis teknologi elektronik memiliki payung hukum, terutama di Indonesia.
Ada tiga aturan terkait e-commerce hingga fintech yang masih ditunggu-tunggu olah kalangan dunia usaha di dalam negeri. Pertama, regulasi terkait perdagangan berbasis teknologi elektronik atau e-commerce mulai dari pajak sampai dengan mekanisme impor barang. Pemerintah memiliki rencana untuk merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait e-commerce.
Regulasi lain yang masih ditunggu keberadaannya adalah terkait dengan operasional perusahaan raksasa penyedia kontan internet atau over the top (OTT) seperti Google dan Facebook. Aturan ketiga yang masih ditunggu kehadirannya adalah mengenai fintech, karena memiliki banyak jenis seperti equity crowdfunding, insurTech dan RoboAdviser.
Hingga saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru menerbitkan aturan terkait peer to peer (P2P) lending atau pinjam meminjam secara online. Peraturan mengenai inovasi keuangan digital yang mencakup seluruh fintech ditargetkan akan rampung pada Juni ini.
Dunia digital yang berkembang pesat dan seolah tanpa sekat dan batas telah melahirkan gagasan dalam hal perlindungan data pribadi. Pada Juni mendatang menjadi momen penting bagi perkembangan aturan main soal data pribadi. Meski aturannya berlaku awal Mei 2018, tapi implementasi riil di lapangan tentu akan terasa pada Juni 2018.
Pada 25 Mei 2018, peraturan tentang data pribadi yang disebut sebagai General Data Protection Regulation atau dikenal dengan sebutan GDPR, mulai berlaku secara efektif setelah diundangkan sejak 27 April 2016 oleh European Parliament dan EU Council.
Regulasi ini mengatur tentang perlindungan data dan privasi setiap individu maupun perusahaan, yang tentu menjadi kabar menggembirakan bagi masyarakat pengguna media sosial dan juga aplikasi pengirim pesan.
Meski diundangkan oleh parlemen Uni Eropa, namun dampak hukum dari undang-undang ini berlaku pula bagi perusahaan yang berada di luar Uni Eropa termasuk Indonesia, sebab para perusahaan teknologi juga berpraktik dan memiliki pengguna di Indonesia.
Melansir media Inggris, The Sun, GDPR bertujuan untuk mempermudah masyarakat atau individu, untuk mengontrol para perusahaan teknologi seperti Facebook, Google, Instagram maupun WhatsApp, dalam menggunakan informasi data pribadi pengguna.
Aturan GDPR yang ketat ini tidak mengizinkan para perusahaan tersebut untuk mengumpulkan dan menggunakan informasi pribadi tanpa persetujuan individu yang bersangkutan. Melansir BBC, para perusahaan teknologi juga harus melaporkan setiap pelanggaran data termasuk serangan cyber dan kebocoran data tidak disengaja kepada pihak berwenang dalam waktu 72 jam.
Jika melanggar, maka perusahaan teknologi tersebut dikenakan denda sampai dengan 20 juta euro atau setara $23,4 juta. Aturan ini dinilai sebagai obat pasca pencurian data besar-besaran pengguna Facebook di AS yang bocor secara massal.
Editor: Suhendra