tirto.id - Awal April ini sebuah blog Meksiko mengunggah gambar seorang suster medis yang terlelap di atas meja kerjanya. Sang pemilik blog menyebutnya “pemalas.” Dikutip dari situs Boredpanda, para dokter seluruh dunia membela sang perawat, mengunggah foto dokter dan pekerja kesehatan lainnya yang ketiduran di tempat kerja dengan tagar #YoTambienMeDormi (“#AkuJugaKetiduranKok”).
Rangkaian foto yang menyedihkan itu adalah sebuah pernyataan yang serius bahwa hari ini tidur menjadi suatu kemewahan tersendiri. Padahal kurang tidur dan insomnia terbukti secara medis meningkatkan risiko obesitas, diabetes, penyakit jantung, hingga mengurangi angka harapan hidup.
Pada 2011, National Transportation Safety Board memperkirakan seperempat kasus kecelakaan di Amerika Serikat disebabkan oleh kurang tidur. Pada tahun yang sama, Centers for Disease Control and Prevention menyatakan kurang tidur sebagai wabah yang berbahaya bagi kesehatan publik, yang efeknya setara dengan merebaknya penyakit akibat rokok pada dekade 1950an di Amerika Serikat.
Tingkat keaktifan di media sosial menyumbang faktor kurang tidur. Tahun lalu, para peneliti Universitas Pittsburgh menemukan bahwa orang-orang yang menghabiskan waktu lebih dari satu jam dalam sehari di media sosial, cenderung mengalami gangguan tidur. Penelitian ini dilakukan dengan mengamati kebiasaan bersosial media 1.700 orang dewasa berusia 19-32 tahun.
Namun, apakah media sosial menjadi satu-satunya penyebab gangguan tidur?
Jam Kerja
Koleksi foto dokter ketiduran yang diunggah oleh situs boredpanda jelas sedang menghubungkan antara jam kerja dan jumlah waktu yang dialokasikan untuk tidur.
Para peneliti dari Universitas Michigan mengeluarkan laporan riset berjudul A global quantification of "normal" sleep schedules using smartphone data (Mei 2016) mengumpulkan data dari 6000 responden via aplikasi telepon genggam. Penelitian ini menyatakan bahwa penentu jam tidur tetaplah usia. Orang-orang berusia lanjut memiliki jam tidur yang lebih sedikit.
Dalam laporan yang sama disebutkan bahwa jam tidur rata-rata di orang sedunia bervariasi antara 7 jam 24 menit (Singapura) hingga 8 jam 12 menit (Belanda). Selisih setengah jam, menurut tim peneliti, sangat signifikan dampaknya buat kesehatan.
Singapura tercatat sebagai negara dengan jam kerja rata-rata paling tinggi (2389,4 jam dalam setahun), sementara pemerintah Belanda melarang warganya bekerja lebih dari 2080 jam per tahun.
Di masyarakat non-industri, jam tidur lebih luwes. Jam kerja yang ketat di kantor dan pabriklah yang membuat tidur menjadi peristiwa semalam suntuk. Namun, hal ini juga terjadi di masyarakat Eropa sebelum Revolusi Industri pada abad 19. Dalam buku At Day's Close: Night in Times Past (2006), Roger Ekirsch menuturkan bahwa sebelum pabrik-pabrik dan sistem administrasi modern ditemukan, orang Eropa pada umumnya tidur dua kali dalam semalam.
Tidur pertama terjadi setelah matahari terbenam, dengan durasi sekitar dua jam. Selang 2-3 jam setelah tidur pertama, barulah mereka tidur untuk kedua kalinya hingga pagi. Kesimpulan Ekirsch berpijak pada catatan pengadilan, buku harian, kitab-kitab medis, karya-karya sastra klasik, serta catatan-catatan etnografis.
Ekirsch menyebutkan bahwa waktu di antara dua tidur digunakan untuk bersosialisasi dengan tetangga, membaca, menulis, berdoa, dan berhubungan seks. Ekirsch juga menambahkan, hingga abad 17, gereja menerbitkan banyak sekali panduan tata cara berdua di antara dua tidur.
Pola tidur yang tersegmentasi ini mulai lenyap sekitar abad 17 di kalangan kelas menengah-atas di kota-kota Eropa Utara, yang kemudian menjadi perintis kapitalisme modern. Pada awal abad 20, kebiasaan ini menghilang—bahkan dari ingatan kolektif.
Industri Tidur
Jika kerja merusak jam tidur, kurang tidur pun akhirnya merusak kerja. Selama kerja-kerja manusia belum digantikan sepenuhnya oleh mesin, maka jam tidur mulai dipandang sebagai sumberdaya yang penting dalam proses menghasilkan laba.
Banyak orang ingin menambah jam tidur. Sebagian lagi ingin menundanya, dengan kafein atau olah tubuh tertentu yang memungkinkan tubuh terjaga lebih lama.
Namun, lain halnya dengan DARPA (Defense Advanced Research Projects Agency). Sembilan tahun lalu, agensi riset pertahanan Amerika Serikat itu tengah melakukan eksperimen untuk menghasilkan obat yang dapat membuat orang tidak tidur selama berhari-hari tanpa mengurangi performance di tempat kerja.
Hasil awal eksperimen ini telah dicoba ke satu spesies kera dan sukses membuat kera tersebut tidak tidur selama 30 jam. Kabarnya produk medis yang akan dihasilkan dari riset ini bertujuan untuk memperpanjang waktu terjaga hingga tujuh hari.
Ketika performa kerja harian menjadi patokan kuantitas tidur, industri pun sigap merespons. Menurut laporan riset industri yang dikutip situs Forbes pada 2015, terdapat kenaikan 4 persen tiap tahun untuk pertumbuhan laboratorium tidur, tempat di mana orang memeriksakan diri untuk masalah gangguan tidur.
Pada 2010, 2.280 laboratorium tidur di AS meraup laba tak kurang dari $5,9 miliar. Lima tahun setelahnya, jumlah laboratorium bertambah menjadi 2.800 unit dengan keuntungan sekitar $7,1 miliar.
Keuntungan itu baru diperoleh dari satu jenis usaha saja, belum jika menghitung konsumsi obat tidur sampai produk-produk fisik yang diklaim dapat meningkatkan kualitas tidur seperti ranjang dan alas kepala bermerek tertentu.
Industri tidur tentu juga mempekerjakan ribuan pekerja lab, asisten farmasi, dan penjahit bantal yang mengalami gangguan tidur akibat jam kerja.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti