Menuju konten utama

Duduk Perkara Penolakan Film 212 di Manado dan Palangkaraya

Penolakan di Manado dan Palangkaraya didasari penilaian film 212 tidak tepat untuk kondisi setempat.

Duduk Perkara Penolakan Film 212 di Manado dan Palangkaraya
Fact Check penolakan film 212 di Manado dan Palangkaraya. FOTO/Portal-Islam.id

tirto.id - Muncul kabar ihwal penolakan film 212: The Power of Love. Film garapan sutradara Jastis Arimba dari rumah produksi Warna Pictures itu disebut ditolak sebagian kelompok masyarakat Manado dan Palangkaraya.

Situs portal-islam.id pada 14 Mei 2018 menulis artikel berjudul "Miris! Viral Aksi Persekusi Tolak Penayangan Film 212 di Manado; Katanya Bhineka Toleransi". Artikel yang mengandalkan informasi dari Facebook itu menyebut film ditolak di beberapa bioskop di Manado, Sulawesi Utara.

Sementara akun Twitter @PakatDayak memberitahu penolakan film 212 di bioskop XXI Palangkaraya Mall (Palma), Kalimantan Tengah, pada 14 mei 2018. Akun itu juga membagikan video yang memperlihatkan penolakan di Palangkaraya.

Kejadian di Manado

Avis Metriko Sumilat, Ketua Umum Makatana Minahasa, membenarkan penolakan film 212 di bioskop-bioskop Manado. Salah satu alasannya memang terkait muatan film tersebut.

Riko menyebut bahwa film menggunakan konteks "Aksi Bela Islam" pada 2016 secara langsung dan karena itu dinilai berpotensi punya dampak politik.

"Awalnya kami menolak karena judul filmnya 212, The Power of Love. Kami melihat di sini, kita sudah lihat trailer, dan trailernya tetap memakai aksi 212 sebagai bagian film tersebut. Jadi film tersebut mengambil bagian dari aksi 212," ucap Riko kepada Tirto (15/5).

Ia mengkhawatirkan muatan dalam film itu bisa berpengaruh di Manado.

“Kota Manado ini, kan, kota toleran, kota nomor satu tolerannya. Kami gak mau paham-paham yang nantinya disampaikan di film itu. Film itu sudah dikemas baik, yang saya tahu itu sudah dikemas dengan baik, tapi sebenarnya pesannya di situ-situ juga [soal aksi Bela Islam],” lanjut Riko.

Saat ditanya ormas apa saja yang turut serta dalam aksi tersebut, Riko menjawab ada Makatana Minahasa, Brigade Manguni, Ormas Kristen Laskar Benteng Indonesia, Paspamnas.

Gabungan ormas adat di Manado itu kemudian datang ke bioskop untuk meminta klarifikasi apa benar film 212 sudah dihentikan penayangannya di bioskop.

"Kami hanya mengklarifikasi. Kami lihat di Minahasa, Manado, terjadi penolakan oleh masyarakat. Tapi mereka, kan, gak mungkin bergerak sendiri-sendiri, dan kami memutuskan untuk [mewakili] aspirasi-aspirasi masyarakat Minahasa sebagian besar, masyarakat Minahasa atau Manado, dengan mengklarifikasi untuk memastikan film itu sudah tidak akan diputar," tegas dia.

Dia juga menyebut bahwa film itu memang pernah diputar karena ada permintaan dari penonton tertentu. Mereka tidak mempermasalahkan pemuataran yang sudah terjadi. Namun, mereka meminta film 212 tidak akan dijadwalkan lagi untuk diputar di Manado.

Konfirmasi Pengelola Bioskop

Samsul, perwakilan manajemen bioskop CGV Grand Kawauna, membenarkan adanya aksi penolakan pemutaran film 212 oleh beberapa ormas di Manado.

Ia menjelaskan pihak bioskop CGV Grand Kawauna telah secara resmi menarik jadwal pemutaran film 212 pada Jumat (11/5). Sikap itu diambil setelah ada permintaan dari aparat kepolisian. Polsek Mapanget, disebut oleh Samsul, menyampaikan informasi dan situasi protes beberapa kelompok masyarakat setempat terkait film 212. Intinya ada penolakan pemutaran film 212 di seluruh bioskop di Kota Manado.

"Di hari Sabtu (12/5) beberapa ormas yang melakukan aksi penolakan penayangan film tersebut mendatangi CGV Grand Kawauna dan melakukan pengecekan langsung terhadap jadwal film yang tayang di kami untuk memastikan," terang Samsul.

Samsul mengatakan aksi ormas itu berjalan dengan aman dan damai dan tidak ada kekerasan terhadap penonton atau pun menghentikan secara tiba-tiba kegiatan pemutaran film.

CGV Cinemas Indonesia di Jakarta pun mengatakan hal serupa. Adhizeza Nandra dari CGV Cinemas Indonesia menegaskan, sembari mengirimkan teks "official statement" atas kasus di Manado, mereka menghentikan penayangan film 212 atas imbauan aparat kepolisian setempat, serta dilakukan tanpa mengurangi dukungan terhadap karya film Indonesia.

Kejadian di Palangkaraya

Pada Minggu, 13 Mei 2018, Forum Muda Dayak Kalimantan Tengah membuat surat keberatan/penolakan terkait pemutaran film 212 di bioskop XXI Palangkaraya Mall. Surat itu menyebutkan: film dilihat dapat mendorong perpecahan keharmonisan umat beragama. Ditambah suhu politik di Kalimantan Tengah dirasakan sedang memanas karena sedang menggelar Pilkada. Film 212 juga dianggap dapat menjadi pemicu konflik.

Sehari setelahnya, pada 14 Mei 2018, beberapa video muncul di media sosial memperlihatkan situasi bioskop XXI Palangkaraya Mall saat pembatalan pemutaran. Salah satunya video yang dibagikan akun twitter @PakatDayak. Namun potongan videonya terhitung pendek dan tidak cukup memuat informasi yang lengkap ihwal apa yang sebenarnya terjadi saat itu.

Pada hari itu, 14 Mei 2018, sempat muncul rencana menggelar acara nonton bareng (nobar) di bioskop XXI Palangkaraya Mall. Forum Muda Dayak (FMD) Kalteng lalu mendatangi bioskop bersama dengan aparat kepolisian. Tidak ada kekerasan yang terjadi, sekalipun beberapa penonton mengalami syok dan kecewa atas pembatalan itu.

Ketegangan antara massa dan panitia nobar dimediasi oleh aparat keamanan. Dari sana muncul kesepakatan bersama yang dituangkan dalam sebuah surat. Salah satu isi kesepakatan adalah penayangan film yang hari itu dibatalkan akan diganti dengan jadwal baru: 16 Mei 2018.

Konfirmasi Formad Kalteng

Pada 16 Mei 2018, jadwal penayangan film sesuai kesepakatan sebelumnya, sejumlah ormas kembali datang ke bioskop. Kali ini bukan FMD Kalteng saja. Kali ini mereka datang sembari mengklaim membawa aspirasi masyarakat Dayak, lebih tepatnya Forum Masyarakat Dayak (Formad).

Bachtiar Effendy, Ketua Formad Kalimantan Tengah, membenarkan klaim itu. Bachtiar menjelaskan bahwa setelah beberapa kelompok masyarakat Dayak menyampaikan kepada Formad situasi yang terjadi. Formad mengaku menerima aspirasi sebagian masyarakat yang tidak setuju film 212 diputar di Palangkaraya.

"Kenapa itu kami pandang masuk ranah kewenangannya Formad, karena ini menyangkut hajat orang Dayak. Orang Dayak itu damai dan tenteram, berdampingan dan menjaga suku dan agama. Ketika ada persoalan yang, menurut pandangan kami, menyebut hal-hal yang sensitif, menjadi tugas atau kewajiban dari Formad untuk mencegah," ucap Bachtiar kepada Tirto (16/5).

Bachtiar lantas bertemu dengan Solehan, perwakilan manajemen bioskop XXI Palangkaraya Mall, Palangkaraya.

Solehan menyatakan kepada Bachtiar bahwa film 212 sudah tidak ditayangkan. Pemutaran di Palangkaraya pun, kata Solehan, disebutnya sebagai pemutaran berdasarkan permintaan komunitas. Awalnya manajemen menyetujui permintaan itu, namun tidak sempat terlaksana karena berbagai pertimbangan.

“Intinya, penayangan film 212 tidak ada. Ini khusus Palangkaraya. Seharusnya tanggal 9 kemarin, penayangan satu kali, ini permintaan dari... istilahnya itu ada acara nonton bareng dari pihak Forum Lingkar Pena. Awalnya manajemen menyetujui, untuk satu kali penayangan aja, untuk acara nonton bareng itu. Tapi tidak terlaksana dengan berbagai banyak pertimbangan,” ucap Solehan.

Konfirmasi dari Produsen Film

Corporate Secretary Cinema XXI Catherine Keng menolak memberikan konfirmasi terkait pembatalan penayangan film 212 di Palangkaraya.

“Untuk lebih jelasnya mohon hubungi produser film 212, Ibu Asma Nadia,” jawab Catherine kepada Tirto (16/5).

Helvy Tiana Rosa membenarkan penolakan pemutaran film 212 yang terjadi di Manado dan Palangkaraya. Pendiri Forum Lingkar Pena yang ikut mensupervisi skenario film 212 ini mengungkapkan terjadinya miskomunikasi antara pihak yang menolak dengan panitia penyelenggara di Palangkaraya.

“Ada miskomunikasi, nobar itu dianggap gak legal, jadi ilegal, padahal sebenarnya, kan, nggak, ya? Prosedur nobar itu biasa saja. Akhirnya terjadi kesepakatan, malah dijanjiin jadi reguler, semuanya boleh nonton,” ucap Helvy.

Sedangkan Asma Nadia menganggap ada salah persepsi atas muatan film. Associate producer film 212 ini mengeluhkan orang-orangnya belum menonton, dan masih perlu duduk bersama, namun sudah buru-buru menolak.

Adik kandung Helvy ini juga menyebut banyak pihak yang salah paham dan terlalu terburu-buru menghakimi film 212. Dia menyatakan film 212 sebenarnya semacam otokritik terhadap umat Islam itu sendiri.

“Kita muslim, tapi kita gak tahu tentang Islam. Bagi saya, terutama di masa di mana umat makin sensitif, terlalu mudah untuk bilang kafir, untuk main hakim sendiri. Itu yang kemarin kita sorot bully-bullyan di medsos. Itu yang jadi salah satu otokritik bagi umat Islam di film ini,” ungkap Asma Nadia.

Ucapan Asma merujuk bagaimana film 212 tidak menutup-nutupi adanya tindakan perundungan, dan menyebut hal itu sebagai otokritik kepada umat Islam agar lebih berhati-hati, dan bukan malah untuk menganjurkan hal itu dilakukan lagi.

Terkait situasi penolakan di dua lokasi, Manado dan Palangkaraya, Asma menyatakan bahwa mereka mendorong semua pihak untuk mendinginkan suasana terlebih dahulu.

“Kami lagi coba melakukan pendekatan ke pihak-pihak yang mungkin bisa mengademkan suasana di sana. Yang penting adem dulu. Dan kami mengajak kepada pihak yang nobar untuk, ayo kita mundur sebentar,” terang dia.

======

Tirto mendapatkan akses pada aplikasi CrowdTangle yang memungkinkan mengetahui sebaran sebuah unggahan (konten) di Facebook, termasuk memprediksi potensi viral unggahan tersebut. Akses tersebut merupakan bagian dari realisasi penunjukan Tirto sebagai pihak ketiga dalam proyek periksa fakta.

News Partnership Lead Facebook Indonesia, Alice Budisatrijo, mengatakan, alasan pihaknya menggandeng Tirto dalam program third party fact checking karena Tirto merupakan satu-satunya media di Indonesia yang telah terakreditasi oleh International Fact Cheking Network sebagai pemeriksa fakta.

Baca juga artikel terkait PERIKSA FAKTA atau tulisan lainnya dari Frendy Kurniawan

tirto.id - Film
Reporter: Frendy Kurniawan
Penulis: Frendy Kurniawan
Editor: Zen RS