Menuju konten utama

Duduk Perkara 'Legalisasi' Gratifikasi dalam UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja mengatur gratifikasi sebagai objek pajak. Apa sebenarnya gratifikasi yang dimaksud?

Duduk Perkara 'Legalisasi' Gratifikasi dalam UU Cipta Kerja
Ilustrasi Gratifikasi. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Sudah puluhan tahun Indonesia mengakui gratifikasi sebagai objek pajak penghasilan. Aturan ini sudah muncul dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, kemudian dipertahankan melalui UU Nomor 36 Tahun 2008. Paling baru, ketentuan ini muncul dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja--versi 1.187 halaman.

Ketentuan ini disorot karena selama ini gratifikasi identik dengan korupsi. Ia tercantum dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sudah banyak pejabat terjerat karena terbukti menerima gratifikasi.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menerangkan gratifikasi tidak hanya terbatas di lingkup pemerintahan, tapi juga di swasta. Ketentuan ini wajar dipertahankan karena konsep penghasilan di Indonesia luas dan tidak melihat asal-usul. Yustinus memberi contoh: hasil judi pun tak luput jadi objek pajak.

Oleh karena itu menghapus ketentuan ini justru tidak adil lantaran gratifikasi menjadi celah penghasilan yang bisa tidak kena pajak.

“Gratifikasi sudah jauh lebih dulu dikenal sebagai fee bisnis di swasta. Kalau pidana korupsi, lain lagi,” ucap Yustinus kepada reporter Tirto, Kamis (8/10/2020), lalu memastikan ketentuan ini tidak bertentangan dengan UU Tipikor yang mengatur larangan gratifikasi untuk pejabat negara. “Tipikor tetap jalan, pajak tetap objek.”

Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia Gandjar L. Bonaparta mengatakan memang ada dua 'hukum' gratifikasi. Pertama dilarang jika yang menerima pegawai negeri atau penyelenggara negara (PN/Pn). Kedua yang boleh karena diberikan kepada yang bukan PN/Pn seperti swasta dan masyarakat biasa. Gratifikasi yang bisa dipajaki hanya yang boleh.

“Gratifikasi yang dilarang tetap tidak boleh diterima dan tentunya tidak bisa dipungut pajaknya. Kalau gratifikasi yang dilarang dipajakin juga, negara jadi penadah dong,” ucap Gandjar kepada reporter Tirto, Senin (9/11/2020).

Meski begitu ia memberikan catatan bahwa UU Pajak Penghasilan sebaiknya menggunakan kata 'pemberian' sehingga tidak sama seperti UU Tipikor. Perbedaan ini penting selain untuk membedakan dengan tipikor, juga karena tidak semua pemberian adalah 'fee' atau 'penghasilan'.

Ia memberi contoh: seorang guru honorer miskin di Sukabumi, Jawa Barat pada Januari 2020 lalu menerima pemberian motor dan sepatu dari orangtua murid. “Menurut UU, si guru berarti harus membayar pajak atas apa yang diterimanya. Bukankah itu malah jadi beban?” ucap Gandjar.

Hal ini menjadi PR bagi pemerintah dan DPR. Ia bilang mereka masih kurang sensitif sehingga pencantuman kata 'gratifikasi' mudah ditafsirkan lain.

UU No. 7 Tahun 1983 tidak memuat penjelasan mengenai pembedaan gratifikasi ini, sama halnya dengan UU No. 36 Tahun 2008 yang merevisi dan ketentuan pajak penghasilan dalam UU Cipta Kerja.

Penjelasan mengenai Pasal 4 ayat (1) huruf a hanya sebatas: “Semua pembayaran atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan, seperti upah, gaji, premi asuransi jiwa, dan asuransi kesehatan yang dibayar oleh pemberi kerja, atau imbalan dalam bentuk lainnya adalah Objek Pajak. Pengertian imbalan dalam bentuk lainnya termasuk imbalan dalam bentuk natura yang pada hakikatnya merupakan penghasilan.”

Ketua Kampanye dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Arip Yogiawan sepakat soal poin memperjelas definisi gratifikasi baik dalam UU Cipta Kerja maupun UU Pajak Penghasilan. Ia misalnya bisa merujuk Peraturan KPK No. 2 Tahun 2019 yang menggolongkan gratifikasi apa saja yang harus dilaporkan.

Lebih dari itu, isu ini menambah daftar panjang masalah UU Cipta Kerja. Pasalnya, pemerintah tidak memanfaatkan kesempatan yang ada untuk membenahi kerancuan ini padahal pengaturan gratifikasi perlu mengacu pada UU Tipikor yang lahir setelahnya sekaligus sudah lebih konkret definisinya.

“UU tidak boleh multitafsir. Semangat terbesarnya tetap jangan sampai terjadi gratifikasi,” ucap Arip kepada reporter Tirto, Senin.

Baca juga artikel terkait GRATIFIKASI atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Hukum
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino