tirto.id - Imam Nahrawi, politikus yang besar di PKB, Menteri Pemuda dan Olahraga 2014-2019, divonis tujuh tahun penjara setelah terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap dan gratifikasi dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia atau KONI. Hakim Ketua Rosmina membacakan putusan ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (29/6/2020) kemarin.
“Menyatakan terdakwa IMR telah terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu pertama dan dakwaan kedua,” katanya.
Imam terbukti melanggar pasal 12 huruf a Jo pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 64 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama, serta pasal 12B ayat (1) Jo pasal 18 UU 31/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan kedua.
Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK): penjara 10 tahun, denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, dan wajib membayar Rp19,1 miliar dalam waktu sebulan. Sementara hakim memutuskan Imam membayar denda Rp400 juta subsider tiga bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 18.154.230.882. Apabila tidak dibayarkan paling lambat satu bulan setelah putusan, maka hartanya akan disita kemudian dilelang. “Jika harta tidak mencukupi maka dipidana dua tahun,” ujar hakim.
Hakim juga mencabut hak politik Imam selama empat tahun setelah menjalani masa pidana penjara.
Perjalanan Kasus Imam
KPK menetapkan Iman Nahrawi sebagai tersangka pada 18 September 2019. Ini adalah hasil perkembangan dari Operasi Tangkap Tangan (OTT) di kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) dan KONI pada 18 Desember 2018. Hari itu juga ia mengundurkan diri dari jabatan menteri.
Saat konferensi pers penetapan tersangka, Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan Imam menerima uang Rp26,5 miliar sebagai commitmet fee pengurusan proposal dana hibah yang diajukan KONI ke Kemenpora. Uang diterima bertahap, pertama pada 2014-2018 sebesar Rp14,7 miliar, dan kedua pada 2016-2018 sebesar Rp11,8 miliar. Semua dijembatani asisten pribadinya, Miftahul Ulum.
“Uang tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi dan pihak yang terkait,” ujar Alexander.
Imam, anggota DPR selama 10 tahun sejak 2004, menjalani pemeriksaan perdana sebagai tersangka di KPK, Jakarta Selatan pada 27 September 2019. Sementara sidang perdananya pada 14 Februari 2020.
JPU KPK mendakwa Imam menerima uang Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum Koni Johnny E Awuy. Uang tersebut ditujukan untuk pengawasan dan pendampingan program peningkatan prestasi olahraga nasional Asian Games dan Asian Para Games 2018.
Agar pencairan dana kian cepat, Deputi IV Kemenpora Mulyana meminta Ending berkoordinasi dengan Ulum. Ending lalu menemui Ulum dan menyepakati pembagian hasil sebesar 15 persen hingga 19 persen dari total dana--rencana anggaran dalam proposal itu sebesar Rp51,5 miliar. Ulum juga menyerahkan nama-nama dari Kemenpora yang akan menerima uang haram tersebut.
Pada akhir Januari 2018, Imam menerima uang Rp500 juta dari Ending di kantor KONI Pusat. Kemudian Imam mendisposisikan ke Mulyana untuk ditelaah dan dilanjutkan ke Asisten Deputi Olahraga dan Prestasi, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan tim verifikasi. Imam, menurut jaksa, juga mendosposisikan proposal tersebut ke Ulum.
Pada Maret 2018, Imam melalui Ulum menerima uang Rp2 miliar dari Ending di kantor KONI Pusat. Kemudian Kemenpora menyetujui dana yang akan diberikan ke KONI sebesar Rp30 miliar.
Begitu proposal telah disetujui Kemenpora, Imam mendapatkan total Rp9 miliar. Jumlah tersebut diberikan bertahap, dengan rincian sebagai berikut:
-Rp3 miliar melalui orang suruhan Ulum di kantor KONI Pusat;
-Rp3 miliar dalam bentuk 71.400 dolar AS dan 189 dolar Singapura oleh Ending melalui Atam (sopir Ending) kepada Ulum di Lapangan Golf Senayan;
-Rp 3 miliar yang dimasukan dalam amplop cokelat dan dimuat di dalam kardus kertas A4 dari Ending melalui Ulum di Lapangan Bulu Tangkis Kompleks Kemenpora.
Imam juga dianggap menerima gratifikasi sebesar Rp8,64 miliar bersama Ulum yang diterima dari berbagai sumber. Ulum ditugaskan sebagai perantara antara Imam dengan pemberi gratifikasi.
"Menyatakan terdakwa Imam Nahrawi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua, menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara selama 10 tahun serta pidana denda sejumlah Rp 500 juta subsider enam bulan kurungan," kata JPU saat membacakan tuntutan, Jumat (12/6/2020).
Sebelumnya Imam sempat mengajukan praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Ia merasa tuduhan KPK tak beralasan. Hakim menolak permohonan ini pada 12 November 2019 dengan menyatakan prosedur penyidikan dan penahanan KPK telah sesuai hukum.
Untuk Keluarga
JPU KPK menyebutkan Imam dan Ulum memanfaatkan uang gratifikasi sebesar Rp8,64 miliar untuk liburan bersama keluarga ke Pulau Seribu pada Januari 2017.
Hal ini terungkap berdasarkan keterangan saksi dalam persidangan, Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015-2016 Lina Nurhasanah. “Miftahul Ulum Pernah meminta Lina untuk membayarkan tagihan kartu kredit yang di antaranya digunakan untuk membayar keperluan terdakwa melakukan kunjungan ke Pulau Seribu bersama keluarganya,” ujar jaksa dalam persidangan di PN Jakarta Pusat, 12 Juni 2020.
Biaya tagihan kartu kredit tersebut sebesar Rp244 juta, digunakan untuk menyewa kapal.
Imam juga diduga menggunakan uang hasil gratifikasi sebesar Rp2 miliar untuk merenovasi rumah pribadinya di Ceger, Jakarta Timur. Namun Imam berkilah bahwa biaya renovasi dan konsultasi rumah hanya Rp700 ribu. Ia juga berkilah tidak tahu detail lantaran urusan tersebut ditangani oleh sang istri.
Imam mempertimbangkan banding karena bersikeras tidak menerima semua uang haram itu. “Saya demi Allah dan Rasulullah tidak menerima Rp 11,5 miliar itu,” katanya usai pembacaan vonis. Ia juga mengatakan bakal membongkar aliran duit Rp11 miliar dari KONI yang tidak disinggung dalam persidangan meski sudah tercatat dalam berkas acara pemeriksaan (BAP). “Fakta sudah ada semua. Kami tentu harus mempertimbangkan untuk membongkar semua sampai ke akar-akarnya.”
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino