tirto.id - Di Semenanjung Iberia, wilayah yang saat ini meliputi Spanyol dan Portugal, Islam berinteraksi langsung dengan peradaban Eropa Kristen. Masyarakat yang kompleks dan beragam berkembang di sana, yang terdiri atas orang-orang Eropa Muslim, Arab, dan Krisitiani.
Setelah penaklukan yang cepat di Afrika Utara pada pertengahan abad ketujuh oleh Bani Umayyah, invasi Islam melambat beberapa waktu. Samudera Atlantik dan Laut Tengah seolah menjadi batas alam bagi kerajaan Islam baru. Pada akhir abad ke-7, gerakan ekspansi kaum Muslim difokuskan untuk mengkonsolidasikan daerah taklukan dan memasukkan penduduknya ke dunia Islam.
Namun, pintu penaklukan terbuka lagi pada bulan suci Ramadan 92 Hijriah (711 Masehi). Ketika itu, pasukan Muslim mulai merambah Semenanjung Iberia dan memasukkan daerah jauh lain ke dalam kekuasaan Islam.
Ira Marvin Lapidus mendedahkan dalam Islamic Societies to the Nineteenth Century: A Global History (2012) bahwa alasan penaklukan yang cepat di semenanjung itu telah lama diperdebatkan. Bagi orang-orang yang menyaksikan operasi militer kedua pihak, ini hanya manifestasi rasa suka dan tidak suka dari Tuhan.
Bagi umat Muslim, penaklukan itu berlangsung cepat dan mudah karena Allah SWT telah berkehendak tanah ini akan masuk ke dalam kekhalifahan Islam. Bagi umat Kristen, kekalahan massif itu menunjukkan Tuhan kecewa dengan aksi tidak bermoral Visigoth sehingga Dia mengirim penyerbu Muslim sebagai hukuman. Tentu saja ada faktor yang lebih konkret untuk dipahamii. Ketidakpopuleran Roderic dan monarki Visigoth ini terjadi akibat konflik politik yang sudah terjadi sebelumnya (hlm. 583).
Sebagian aristokrat gagal mendukung raja dalam menghadapi invasi dari Afrika, dan saat Perang Guadalete, desersi tentara serta bangsawan membantu membalikkan keadaan. Menurut David Levering Lewis dalam God Crucible: Islam and the Making of Europe, 570-1215 (2008), ketidakpopuleran Visigoth terbukti oleh fakta bahwa setelah puncak pertempuran, beberapa kota tetap melawan pasukan Muslim. Bahkan, perlawanan utama terlihat di pegunungan utara dan tidak dipimpin Visigoth, tetapi oleh separatis politik yang berjuang demi kemerdekaan sebelum penyerbuan Islam.
Kota-kota utama di wilayah Visigoth dengan cepat menyerah kepada pasukan Muslim, yang menjanjikan persyaratan penyerahan diri yang lebih menguntungkan dan otonomi lokal. Kemerdekaan relatif diberikan umat Muslim kepada penduduk sipil yang tentu sangat kontras dengan kebijakan rezim Visigoth (hlm. 68).
Seusai penaklukan, dimulailah pembangunan pemukiman Islam. Pola pemukiman di sini berbeda dari sebagian Timur Tengah, yang menempatkan pasukan di kota garnisun terorganisir oleh otoritas Rashidun dan Umayyah. Di Andalusia, sebagian besar penempatan pemukiman tidak terorganisasi dan serampangan.
Umat Muslim pun tak membatasi diri di kota garnisun, dan malah memilih menjadi pemilik tanah di seluruh semenanjung. Imigran Berber cenderung bermukim di daerah utara dan barat, mencari area penggembalaan seperti daerah asal mereka di Afrika Utara.
Suku Arab yang datang ke Andalusia kebanyakan berasal dari Yaman dan sudah lama bertani. Oleh sebab itu, mereka kebanyakan bermukim di daerah subur di selatan dan di kota-kota utama seperti Kordoba, Valencia, dan Zaragoza. Baik suku Arab maupun Berber banyak yang menikahi penduduk lokal dan akhirnya menciptakan masyarakat unik anyar yang menggabungkan aspek budaya Arab, Berber, dan Hispanik (hlm. 69).
Peran Dinasti Umayyah
Dalam beberapa dekade pertama pemerintahan Islam, Andalusia tidak lebih dari sekadar provinsi jauh dan sepi dari kekhalifahan Umayyah nan luas. Keadaan berubah pada 750-an, saat Abbasiyah berhasil menggulingkan keluarga Umayyah.
Di Suriah, sebagian besar anggota keluarga Umayyah dipenjara atau dihukum mati. Salah seorang Umayyah muda berhasil lolos dari pembunuhan. Abdul ar-Rahman, pangeran berusia dua puluh tahun, berhasil melarikan diri dari Damaskus pada 750 Masehi, persis di depan hidung pasukan Abbasiyah. Dia memulai perjalanan epos melintasi dunia Islam untuk mencari bantuan dan dukungan setelah seluruh keluarganya dibantai. Ibunya seorang Berber sehingga dia mencari bantuan di tanah asal Berber di Afrika Utara.
Selalu selangkah di depan tentara pengejar Abbasiyah, akhirnya dia mendapatkan dukungan bagi keluarga Umayyah di Andalusia pada 755. Di sana, dia menobatkan diri sebagai penguasa negara Umayyah, dengan Kordoba sebagai ibu kota, yang secara politis terpisah dari Abbasiyah di Baghdad nun jauh di sana. Perjalanannya dari Suriah ke daerah barat yang jauh membuatnya mendapat julukan ad-Dakhil, sang imigran.
Menurut Tariq Suwaidan dalam Dari Puncak Andalusia: Kisah Islam Pertama Kali Menginjakkan Kaki di Spanyol, Membangun Peradaban, Hingga Menjadi Warisan Sejarah Dunia (2015), Emirat Umayyah yang didirikan Abdul ar-Rahman ad-Dakhil menjadi kawah candradimuka perkawinan budaya selama berabad-abad setelah kekuasaannya. Orang-orang dari dunia Islam terus berimigrasi ke sini dengan membawa aspek budaya setempat asal mereka.
Selain itu, sebagian besar penduduk asli Hispanik masuk Islam pada akhir 800-an dan awal 900-an. Menjelang 950, sekitar setengah penduduk Semenanjung Iberia kemungkinan Muslim dan menjelang 1100-an, orang Kristen hanya berkisar 20 persen dari jumlah penduduk (hlm. 35).
Muslim Arab, Berber, dan Hispanik bergabung menciptakan budaya Andalusia unik yang menyajikan latar belakang dan tradisi beragam di bawah bendera Islam. Bahkan, orang Kristen yang tinggal di Andalusia mengadopsi budaya Islam dan mengembangkan bahasa, seni, dan adat Arab. Pengaruh budaya dan bahasa ini masih tampak hingga kini dalam bahasa Spanyol, yang tetap memakai banyak kata pinjaman dari bahasa Arab.
Orang Yahudi juga mendapat manfaat besar dari masyarakat Andalusia. Di seluruh Eropa, orang Yahudi hampir tidak diterima pada abad pertengahan dan pembunuhan berencana menjadi ancaman tetap bagi mereka. Akan tetapi, di Spanyol Islam, Yahudi mendapat kebebasan untuk menjalankan agamanya dan menjadi bagian integral masyarakat. Filsafat Yahudi mencapai puncaknya di Spanyol Islam, dengan menghasilkan ilmuwan seperti Maimonides, yang sekarang masyhur sebagai salah satu filsuf Yahudi terbesar sepanjang masa.
Puncak negara Umayyah di Spanyol terjadi selama pemerintahan Abdul Rahman III dari 912 hingga 961. Dalam hampir setengah abad kekuasaannya, dia menyatakan diri sebagai khalifah dunia Islam. Meskipun tidak memiliki kekuasaan di luar Semenanjung Iberia, klaimnya ihwal peran leluhur Umayyah yang berkuasa pada abad ketujuh dan kedelapan berperan penting untuk melawan kekuatan Fatimiyyah yang baru tumbuh di Afrika Utara.
Khalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi seperti tahanan yang kehilangan pengaruh di istananya sendiri di bawah perintah berbagai dinasti Turki. Sedangkan Syiah Fatimiyyah menjelma ancaman nyata bagi keberlanjutan eksistensi Sunni Islam sebagai kekuatan politik (hlm. 142).
Abdul Rahman III mencintai seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari 600 perpustakaan berada di ibu kota Kordoba. Perpustakaan terbesarnya berisi lebih dari 400 ribu buku dalam pelbagai bahasa. Kordoba menjadi kota kelas dunia yang berperan sebagai jembatan antara Eropa yang terbelakang dan kebanyakan buta huruf dengan kota-kota berkebudayaan tinggi di dunia Islam (hlm. 142).
Arkian, masyarakat yang toleran dan stabil pada abad kesepuluh ini segera tenggelam dalam lumpur perebutan kekuasaan dan perang sipil. Sepanjang 1010-an hingga 1020-an persatuan politik Andalusia pecah menjadi banyak negara bagian (masing-masing disebut ta’ifa) yang saling bersaing.
Sepanjang Ramadan, redaksi menampilkan artikel-artikel tentang peristiwa dalam sejarah Islam dan dunia yang terjadi pada bulan suci kaum Muslim ini. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Kronik Ramadan". Kontributor kami, Muhammad Iqbal, sejarawan dan pengajar IAIN Palangka Raya, mengampu rubrik ini selama satu bulan penuh.
Editor: Ivan Aulia Ahsan