tirto.id - Biara Sant Pau de Camp terletak hanya beberapa langkah dari Las Ramblas, jalan raya di tengah kota yang jadi favorit para turis. Bangunan tua dengan gaya Romanesque itu adalah gereja tertua di Barcelona. Kamis (17/8) kemarin, jalan Las Ramblas dilamun serangan teroris. ISIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan yang menewaskan 13 orang tersebut.
Bercelona sebenarnya tidaklah asing dengan Islam. Sejarah pertemuan Islam dan Barcelona memang diawali memori yang getir bagi orang-orang Eropa: penaklukkan Islam di jazirah Iberia. Tapi bangunan yang didirikan pada 897 oleh Count Wilfred II tersebut tetap menyimpan bukti pengaruh Islam yang mewarnai kebudayaan wilayah itu, dan membentuk percampuran kultural yang memikat. Biara inilah saksi bisu pertemuan dunia Islam dengan Barcelona. Unsur Arab-Islam sangat terasa dalam wujud arsitektur bangunannya.
Permulaannya bisa ditarik ke belakang sejak penaklukkan Islam atas bagian utara wilayah Kerajaan Visigoth—tempat di mana kota Barcelona sekarang berada—pada abad ke-8. Visigoth adalah sebuah kerajaan yang menempati daerah barat daya Prancis sekarang dan hanya bertahan dari tahun 418-720.
Charlemagne, penguasa Kerajaan Frank, berhasil merebut wilayah itu dari tangan Muslim dan membentuk Marca Hispanica pada 795 sebagai zona penyangga (buffer) antara kekuasaan Islam (Kekhalifahan Cordoba) di utara dengan Kerajaan Frank di selatan. Di zona yang sebelumnya sepi karena penduduknya lari akibat serangan Muslim itu, Charlemagne mengundang orang-orang Gothia datang untuk menambah jumlah populasi.
Lama-kelamaan, daerah tersebut makin ramai. Apalagi dengan statusnya sebagai buffer, orang-orang merasa lebih aman tinggal di situ.
“Sebagai penahan atas penyerbuan militer Muslim, Marca Hispanica bekerja dengan sangat baik,” kata David Levering Lewis dalam God’s Crucible: Islam and the Making of Europe, 570-1215 (hlm. 285). Di utara, mereka khawatir dengan persekusi oleh orang-orang Islam.
Daerah itu semakin besar karena Charlemagne secara agresif mencaplok kota-kota di sekitarnya. Pada 801, kota Barcelona akhirnya berhasil dikuasai oleh putra Charlemagne, Louis dari Aquitaine, dan dilebur ke dalam teritori Kerajaan Frank. Ia lalu mendirikan County of Barcelona (semacam kadipaten) yang wilayahnya meliputi semua daerah taklukan bapaknya di Spanyol selatan. Bera, pamannya sendiri, ditunjuk sebagai Count of Barcelona.
Bera secara bijaksana mengurangi agresivitas Kerajaan Frank kepada orang-orang Islam. Kebijakannya yang terkenal adalah mengadakan perjanjian damai dengan penguasa Cordoba dan sekuat tenaga mempertahankannya. Tapi kebijakan inilah yang membuat Louis murka. Ia akhirnya diasingkan. Kekuasan lalu beralih ke tangan Sunifred I pada 844.
Selama satu setengah abad kemudian, Barcelona berada dalam kondisi relatif aman, sampai datang serbuan mengejutkan oleh pasukan Muslim pada tahun 985 di bawah pimpinan al-Mansur bin Abi Aamir. Saat itu, pasukan al-Mansur berhasil menaklukkan Barcelona. Penaklukkan yang konon menimbulkan trauma, “sebab pasukan Islam membantai banyak sekali penduduk dan memperbudak sisanya yang masih hidup,” ungkap Roger Collins dalam Caliphs and Kings, 796-1031 (hlm. 191).
Biara Sant pau de Camp juga tak luput dari serbuan pasukan al-Mansur. Mereka lalu merobohkan biara tersebut. Di atas reruntuhan biara, orang-orang Islam kemudian mendirikan sebuah masjid.
Tapi Islam tidak lama berkuasa di sana. Sekitar satu abad kemudian, bangsa Frank berhasil merebut kembali Barcelona. Ordo Benediktus mengambil alih biara ini dan merestorasinya pada 1096. Mereka kemudian memfungsikan kembali bangunan itu seperti semula sebagai gereja.
Menariknya, para biarawan Ordo Benediktus yang merestorasi San Pau de Camp tidak menghancurkan seluruh bangunan. Mereka mempertahankan salah satu bagian masjid. Sebuah kluster di dalam biara memang terlihat mirip musala kecil dari abad pertengahan, sehingga San Pau de Camp nampak seperti perpaduan indah antara arsitektur Romanesque dengan gaya Moorish—sebuah simbol yang menggambarkan persentuhan lama Spanyol dengan dunia Islam.
Hubungan Islam dan Eropa saat itu memang tak melulu soal peperangan dan penaklukkan. Interaksi sosial-kultural tetap berlangsung di antara keduanya. Brian A. Catlos menegaskan soal itu dalam Christians and Muslims of Catalonia and Aragon 1050-1300, “Pada periode awal dominasi Muslim di Iberia ada petunjuk tentang interaksi yang ekstensif, dibuktikan oleh saling berbagi makam dan gereja, uang logam dwibahasa, dan keberlanjutan gaya tembikar Romawi” (hlm. 33).
Dan interaksi itu tetap berlangsung hingga hari ini ketika isu terorisme, islamofobia, dan rasialisme menjangkiti Eropa.
Saat ini, Provinsi Catalonia, wilayah di mana Barcelona berada, adalah daerah Spanyol dengan penduduk Muslim terbanyak kedua (300,000 orang). Sebagian besar Muslim di Barcelona merupakan imigran dari Pakistan, Maroko, Bangladesh, dan Aljazair. Kehadiran mereka bermula sejak 1960 ketika Barcelona menjadi salah satu entrepot para imigran Afrika utara untuk memasuki Eropa.
Barcelona juga sebuah kota yang multikultur karena banyaknya pendatang dari berbagai negara yang tinggal di sana.
Di tengah hubungan memanas antara Islam dengan Eropa hari ini, Sant Pau de Camp bisa dijadikan perlambang tentang bagaimana dua peradaban besar tersebut sebenarnya bisa berdialog. Bayangkan ini: sebuah gereja yang berada di tengah kota dengan ornamen khas Islam di dalamnya.
Penulis: Ivan Aulia Ahsan
Editor: Zen RS