tirto.id - Selangkah lagi pemerintah punya payung hukum penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat melalui mekanisme di luar peradilan. Aturan sudah selesai dibahas oleh Kementerian Hukum dan HAM, sehingga draf masuk telaah tim Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).
Mendengar rencana itu, keluarga korban berang. Apalagi draf Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB) belum terbuka ke publik.
"Harus ada dulu kepastian hukum kalau anak itu sudah tidak ada baru ada pemulihannya. Kalau tidak dasarnya apa? Kalau penghilangan paksa pencarian diutamakan untuk memastikan mereka sudah meninggal," kata Paian Siahaan, ayah Ucok Mandar Siahaan yang dihilangkan paksa dalam peristiwa reformasi 1998.
Dalam forum diskusi daring Kamis (8/4) lalu, Paian tidak sendiri. Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Timbul Sinaga bicara tentang ide penuntasan pelanggaran HAM berat nonyudisial. Menurut Timbul, draf UKP-PPHB sudah dikirim ke Kemensetneg untuk ditelaah.
Timbul mengklaim Kemenhumkam transparan dalam pembahasan draf perpres itu. Namun Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ditolak Kemenkumham saat meminta salinan draf perpres itu dengan dalih bila diberikan akan timbul kegaduhan publik.
Tidak mengherankan Kemenkumham tertutup. Ada pasal kontroversial. Menurut Timbul dalam draf terdapat klausul bahwa pengusutan pelanggaran HAM berat tidak akan mengungkap aktor atau pelaku. Kata dia, fokus UKP-PPHB hanya bikin kronologi kejadian dan konstruksi kasus.
Bermula dari Ide Wiranto
Timbul cerita bahwa rencana pembentukan aturan untuk “pemulihan korban pelanggaran HAM berat masa lalu” tersebut muncul dari Wiranto ketika menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (2016-2019). Perintah untuk eksekusi aturan itu datang pada 2018 silam saat Timbul baru menempati pos jabatan Direktur Instrumen HAM. Ia ditugasi khusus mengawal ide Wiranto untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu lewat ranah pemulihan.
“Ada dua cara. Ketika bicara yudisial, itu ranah Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Tidak ada yang bisa mencampuri. Nonyudisial itu tugas pemerintah untuk melakukan pemulihan,” ujar Timbul.
Jelas kan, alasan draftnya nggak bisa diakses publik karena takut bikin gaduh?
— KontraS (@KontraS) April 9, 2021
Bukan begitu, Pak @jokowi & @Kemenkumham_RI?
Draft Perpres-nya kok publik akses infonya dari media & bukan dari kanal resmi yg dikelola lembaga Negara? pic.twitter.com/VYLxBfrVSD