Menuju konten utama

Draf Perpres HAM Jokowi: Bermula Dari Wiranto & Ditolak Korban

Ide draf Perpres penyelesaian HAM berat muncul kala Wiranto menjabat Menkopolhukam.

Draf Perpres HAM Jokowi: Bermula Dari Wiranto & Ditolak Korban
Peserta mengenakan pin bergambar korban-korban peristiwa Reformasi 1998 saat Napak Tilas Reformasi 1998 di Taman Makam Purwoloyo, Solo, Jawa Tengah, Rabu (27/11/2019). ANTARA FOTO/Maulana Surya/foc.

tirto.id - Selangkah lagi pemerintah punya payung hukum penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat melalui mekanisme di luar peradilan. Aturan sudah selesai dibahas oleh Kementerian Hukum dan HAM, sehingga draf masuk telaah tim Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg).

Mendengar rencana itu, keluarga korban berang. Apalagi draf Peraturan Presiden tentang Unit Kerja Presiden Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat (UKP-PPHB) belum terbuka ke publik.

"Harus ada dulu kepastian hukum kalau anak itu sudah tidak ada baru ada pemulihannya. Kalau tidak dasarnya apa? Kalau penghilangan paksa pencarian diutamakan untuk memastikan mereka sudah meninggal," kata Paian Siahaan, ayah Ucok Mandar Siahaan yang dihilangkan paksa dalam peristiwa reformasi 1998.

Dalam forum diskusi daring Kamis (8/4) lalu, Paian tidak sendiri. Direktur Instrumen HAM Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), Timbul Sinaga bicara tentang ide penuntasan pelanggaran HAM berat nonyudisial. Menurut Timbul, draf UKP-PPHB sudah dikirim ke Kemensetneg untuk ditelaah.

Timbul mengklaim Kemenhumkam transparan dalam pembahasan draf perpres itu. Namun Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) ditolak Kemenkumham saat meminta salinan draf perpres itu dengan dalih bila diberikan akan timbul kegaduhan publik.

Tidak mengherankan Kemenkumham tertutup. Ada pasal kontroversial. Menurut Timbul dalam draf terdapat klausul bahwa pengusutan pelanggaran HAM berat tidak akan mengungkap aktor atau pelaku. Kata dia, fokus UKP-PPHB hanya bikin kronologi kejadian dan konstruksi kasus.

Bermula dari Ide Wiranto

Timbul cerita bahwa rencana pembentukan aturan untuk “pemulihan korban pelanggaran HAM berat masa lalu” tersebut muncul dari Wiranto ketika menjabat Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (2016-2019). Perintah untuk eksekusi aturan itu datang pada 2018 silam saat Timbul baru menempati pos jabatan Direktur Instrumen HAM. Ia ditugasi khusus mengawal ide Wiranto untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu lewat ranah pemulihan.

“Ada dua cara. Ketika bicara yudisial, itu ranah Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Tidak ada yang bisa mencampuri. Nonyudisial itu tugas pemerintah untuk melakukan pemulihan,” ujar Timbul.

Wiranto eks panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (kini TNI) dituding terlibat pelanggaran HAM berat ketika Indonesia akan menganeksasi Timor Timur dari Portugis. Begitu juga pada masa reformasi Mei 1998, Wiranto dituding terlibat pelanggaran HAM berat baik langsung maupun tidak.

Sementara Wiranto dipecat oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari Panglima ABRI karena tudingan pelanggaran HAM itu, Wiranto pada periode pertama Presiden Joko Widodo menempati pos strategis sebagai Menkopolhukam.

Wiranto memang berencana membikin Tim Gabungan Terpadu yang ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Termasuk bikin ide Dewan Kerukunan Nasional. Tentu saja semua rencana Wiranto berdalih selesaikan pelanggaran HAM itu ditolak ramai-ramai.

Setelah ide-ide Wiranto berlalu, kini Kemenkumham mengeksekusi ide Wiranto untuk merancang draf Perpres baru berdalih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, "Secara kemanusiaan," kata Timbul.

Ramai-Ramai Menolak

Cara pemerintahan Jokowi menjawab janjinya sendiri untuk memungkasi kasus pelanggaran HAM berat hanya semakin menyesakkan korban.

Paian ingin Jokowi membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc dan mencari 13 orang yang hilang, termasuk putranya, alih-alih menggenjot upaya nonyudisial.

“Mencari 13 orang yang hilang itu menjadi pintu masuk apa yang harus dilakukan. Karena harus ada kepastian hukumnya dulu bahwa anak saya telah meninggal dunia. Kalau sudah diputuskan oleh negara maka ada urutan selanjutnya. Apa yang harus dilakukan. Misal pemulihan,” sebut Paian.

Dosen FISIP Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) Sri Lestari Wahyuningroem, menilai draf Perpres itu menguatkan dugaan sejak awal bahwa para terduga pelaku pelanggaran HAM berat ingin lolos. Apalagi sudah dijelaskan gambang bahwa unit kerja presiden itu cuma urus kronologi kejadian, bukan ungkap pelaku.

Semakin jelas agenda dari pemerintah bukan memulihkan korban, ujar Ayu—sapaan akrabnya—malahan menabalkan impunitas.

“Draf ini lebih banyak mudaratnya dibanding positifnya,” ungkap Ayu. “Kalau perpres ini disahkan, yang senang aparat-aparat negara yang melakukan pelanggaran HAM. Selesai, toh negara dapat mereparasi dengan perpres ini.”

Bila perpres itu benar-benar Unit Kerja Presiden Penanganan Peristiwa Pelanggaran HAM Berat, maka Hasto Atmojo Suroyo, ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban usul ada perwakilan korban di dalamnya.

Hasto beralasan, banyak korban pelanggaran HAM. Setidaknya 4.000 orang di seluruh Indonesia. Antara lain dalam kasus 1965; Tanjung Priok pada 1984; kasus Talangsari pada 1989; penghilangan paksa 1997-1998; dan semasa konflik Aceh.

Walau usul adanya perwakilan korban, Hasto tetap berharap negara tidak abai dengan penyelesaian yudisial atau lewat pengadilan.

“Jadi upaya yudisial sampai sekarang belum terwujud. Itu masih diperjuangkan oleh teman-teman, dan negara harus merespons ini. Apalagi bulan Desember lalu [Jokowi] menyatakan sudah memerintahkan Jaksa Agung untuk cari solusi pelanggaran HAM berat ini terutama secara yudisial. Ini dua hal berbeda. Yudisial harus tetap dijalankan,” harap dia.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM BERAT atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo & Riyan Setiawan
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Zakki Amali