Menuju konten utama

DPR: Presiden Tak Perlu Keluarkan Perppu untuk UU MD3

Menurut Taufik, masyarakat yang tidak puas dengan UU MD 3 sebaiknya mengajukan uji materi ke MK.

DPR: Presiden Tak Perlu Keluarkan Perppu untuk UU MD3
Ketua DPR Bambang Soesatyo bersama Wakil Ketua DPR Fadli Zon, Agus Hermanto dan Fahri Hamzah memimpin Rapat Paripurna Penutupan Masa Sidang di Komplek Parlemen, Jakarta, Rabu (14/2/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

tirto.id - Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan menilai Presiden Joko Widodo tak perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Menurut dia, kalau ada masyarakat yang tidak puas dengan Perubahan Kedua UU nomor 17 tahun 2014 tentang MD3 sebiaknya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Apabila ada pasal-pasal yang bertentangan dengan hati nurani masyarakat, bisa dilakukan uji materi ke MK. Presiden tidak perlu mengeluarkan Perppu," kata Taufik di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (14/3/2018).

Namun dia menilai Perppu merupakan hak konstitusional Presiden dengan berbagai pertimbangan. Namun, batas waktu penandatanganan Perubahan Kedua UU MD3 oleh Presiden Joko Widodo berakhir pada Rabu (14/3/2018) setelah disetujui DPR dan Pemerintah dalam Rapat Paripurna DPR pada Senin (12/2/2018).

Taufik Kurniawan memastikan, sebagaimana UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, kendati UU MD3 belum ditandatangani Presiden, UU tersebut akan tetap berlaku.

"Hari ini, setelah 30 hari UU MD3 disahkan di Paripurna, merupakan batas penandatanganan UU MD3 oleh Presiden. Namun sepertinya belum ada kabar Presiden menandatangani UU itu," ujarnya.

Rapat Paripurna DPR RI pada Senin (12/2/2018) menyetujui perubahan kedua Rancangan Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi Undang-Undang, namun diwarnai dengan aksi walk out dari Fraksi Partai NasDem dan Fraksi PPP.

Pasal 73 ayat 2 UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan bahwa "Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan".

Sejumlah pasal dalam UU MD3 mendapat sorotan dari publik karena dinilai bermasalah. Poin-poin dalam UU MD3 yang paling bermasalah adalah Pasal 73 mengenai pemanggilan paksa, Pasal 122 soal kewenangan MKD bisa memanggil pihak yang mengkritik DPR, dan pasal 245 tentang hak imunitas anggota dewan.

Penekanan pemanggilan oleh DPR kemudian diatur dalam pasal 73 ayat 2 dan 4. Pasal 73 ayat 2 berbunyi: “Setiap orang wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat 1.”

Sementara, pasal 73 ayat 3 berbunyi: “Dalam hal setiap orang sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tidak hadir setelah dipanggil tiga (3) kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.”

Kemudian pasal 122 huruf K yang mengatur tugas MKD. Dalam pasal baru hasil perubahan UU MD3 berbunyi: “Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR.”

Sementara terkait pemanggilan anggota DPR dari kasus hukum diatur dalam pasal 245 ayat 1. Dalam hasil perubahan UU MD3 berbunyi: “Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).”

Baca juga artikel terkait REVISI UU MD3

tirto.id - Hukum
Sumber: antara
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra