tirto.id - Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari heran dengan kinerja Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam upaya pengusutan kasus dugaan pelanggaran HAM berat masa lalu yang tak jelas penyelesaiannya.
Salah satu perkara yang disoroti adalah Tragedi Paniai, Papua, pada 2014 yang berkasnya baru saja dikembalikan oleh Kejaksaan Agung ke Komnas HAM karena bukti diklaim tidak kuat.
"Memang persoalannya saya harapkan bukan pada soal ketidakmauan dari Kejaksaan Agung. Saya lihat dari beberapa rapat kerja, sempat saya kritik, mudah-mudahan kesungguhannya masih ada untuk menindaklanjuti ini," kata Taufik saat rapat kerja Komisi III DPR RI dengan Kejagung di Gedung DPR, Jakarta, Senin (29/6/2020).
Ia menilai justru permasalahannya pada tataran teknis formal pembuktian yang memang harus kuat. Namun Taufik melihat buruknya koordinasi Kejagung dan Komnas HAM membuat formal pembuktian yang minim itu menjadi terkatung-katung.
"Karena itu, tolong komunikasikan dengan Komnas HAM supaya bisa duduk bersama dan membahas secara mendalam dan detail terkait dengan kebutuhan-kebutuhan Kejaksaan Agung untuk bisa melaksanakan kasus ini agar tidak terjadi saling lempar melempar," katanya.
"Komnas HAM melempar ke Kejaksaan Agung, Kejaksaan Agung kembali lagi ke Komnas HAM. Tidak ada ujung-ujungnya," lanjutnya.
Bahkan politikus Partai Nasional Demokrat (Nasdem) ini berharap adanya rapat bersama antara Komisi III DPR RI, Komnas HAM, dan Kejaksaan Agung untuk membahas pembuktian-pembuktian dugaan pelanggaran HAM berat tersebut.
"Mudah-udahan pimpinan bisa mengagendakan lagi agar kita bisa mencari jalan keluar terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu," pungkas Taufik.
Direktur HAM Berat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Yuspar dalam diskusi daring berjudul 'Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Papua', Kamis (18/6/2020) lalu mengatakan pihaknya hingga saat ini tidak menemukan unsur-unsur pelanggaran HAM berat dalam suatu perkara, sehingga sulit untuk meningkatkan status kasus ke tahap penyidikan.
Ia membantah Kejaksaan sebagai pihak yang tak bisa menemukan unsur-unsur pelanggaran HAM tersebut. Menurutnya, Komnas HAM yang wajib melakukan petunjuk-petunjuk dalam penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
"Kalau unsur-unsur belum bisa [terpenuhi], maka Komnas HAM wajib melakukan [pengumpulan] petunjuk-petunjuk. Bukan mandek dari kami, tapi bagaimana mencari solusinya," jelasnya.
Bila tidak terpenuhi unsur pelanggaran HAM berat, kata Yuspar "silakan diserahkan ke pengadilan umum atau pengadilan militer." Karena kunci pelanggaran HAM berat menurut Yuspar yakni ada terduga pelaku serta faktor sistematis dan meluas.
Sekretaris II Dewan Adat Papua John NR Gobai berpendapat pengusutan kasus pelanggaran HAM berat di Papua yang hingga kini mandek berdampak kepada kepercayaan masyarakat Papua terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Ia mengambil contoh Kejaksaan Agung (Kejagung) yang dua kali mengembalikan berkas penyelidikan peristiwa Paniai ke Komnas HAM. Ditambah kasus Wasior Berdarah pada 2001 dan Wamena Berdarah pada 2003 yang juga belum rampung penyelidikannya hingga saat ini.
"Penantian penyelesaian pelanggaran HAM berat di Papua ini seperti merebus batu yang tidak akan masak. Masyarakat Papua lama-lama tidak percaya penegakan HAM di Indonesia," kata John dalam diskusi daring berjudul 'Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat di Papua', Kamis (18/6/2020).
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Bayu Septianto