tirto.id - Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menegaskan ketimbang membahas dan mengesahkan RUU Ketahanan Keluarga, DPR RI sebaiknya fokus menggolkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). RUU Ketahanan Keluarga dianggap tak logis dan malah merugikan perempuan, sementara RUU PKS sebaliknya.
“Mari kita fokus meminta baleg membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” tegas Siti kepada reporter Tirto, Senin (24/2/2020). “Setelah mencermati usulan RUU Ketahanan Keluarga, Komnas Perempuan berkesimpulan bahwa usulan RUU ini tidak dibutuhkan,” tambah Siti.
Menurut Siti, keluarga memang kerap menjadi penopang utama bagi perempuan korban kekerasan dalam mengakses keadilan dan pemulihan. Namun di sisi lain, pelaporan tentang tindak kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan oleh anggota keluarganya pun terus meningkat dari waktu ke waktu.
Dalam catatan Komnas Perempuan, pada tahun 2018 lalu 71 persen dari 13.384 kasus yang dilaporkan merupakan kekerasan dalam rumah tangga.
Siti memaparkan sejumlah alasan kenapa RUU Ketahanan Keluarga tidak dibutuhkan. Misalnya soal tumpang tindih produk hukum. “Membentuk produk hukum baru yang berpotensi tumpang tindih hukum tentunya bertentangan dengan semangat pembangunan hukum nasional,” ujarnya.
Siti pun menilai masalah kekerasan seksual dalam perkawinan dan keluarga secara lebih rinci telah disusun dalam RUU PKS. RUU PKS, jelas Siti, justru memuat upaya menjamin perlindungan bagi perempuan, dan anak perempuan, serta kelompok rentan lain di dalam keluarga.
“Serta keberpihakan kepada korban,” tegasnya.
Hal serupa diungkapkan pengacara publik dari LBH Jakarta Citra Referandum. LBH Jakarta adalah salah satu lembaga yang tergabung dalam koalisi Gerak Perempuan yang tegas menolak RUU Ketahanan Keluarga (yang mereka singkat jadi 'RUU Halu').
“RUU PKS memberi perlindungan bagi perempuan, sedangkan RUU Halu justru menjadi kebijakan yang melanggengkan ketidakadilan gender,” tegas Citra kepada reporter Tirto, Senin (24/2/2020).
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Rio Apinino