tirto.id - “Pelaku menyerang secara random. Orang yang tidak saya kenal dan dia tidak kenal saya,” kata Fani, bukan nama sebenarnya, seorang dosen perempuan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM).
Ia menceritakan penyerangan seksual yang dialaminya 16 tahun lalu kepada reporter Tirto, Selasa (4/8/2020). Saat itu ia masih menjadi asisten dosen di Sosiologi. Siang saat jam kerja pada bulan Maret 2004, ia berangkat ke gedung pusat universitas untuk menyerahkan draf dokumen akreditasi jurusan.
Saat ia sampai di gedung pusat UGM, tepatnya di lantai 2, seorang pria yang belakangan diketahui bernama Bambang Arianto, mahasiswa D3 Ekonomi UGM, tiba-tiba menyerangnya dari belakang dan melakukan kekerasan seksual secara fisik.
“[Saya] dibekap, diremas payudara, dan dicium paksa. Tapi refleks saya melawan cukup bagus karena banyak kasus justru korban malah freeze. Setelah berhasil lepas saya dorong, saya teriak dan satpam datang.”
Penyerangan itu membuatnya syok. Fani kemudian melaporkan Bambang ke polisi. Ia mendapatkan dukungan teknis dari Rifka Annisa, sebuah organisasi non-profit yang mengadvokasi isu kekerasan terhadap perempuan.
Bambang sempat diperiksa polisi. Namun, laporan Fani dianggap lemah karena tidak ada saksi yang melihat langsung kejadian, sedangkan kamera pengawas atau CCTV belum ada di tempat itu. Kesaksian korban saja dianggap tak cukup, sementara satpam yang menolong dinilai bukan sebagai saksi karena tak melihat kejadian. Akibatnya, proses hukum sulit dilanjutkan.
Meski penanganan kasusnya tak ada kemajuan hingga bertahun-tahun, Fani tidak mencabut laporannya. Belakangan, ia tahu kasusnya sudah kedaluwarsa.
Laporan ke polisi itu sejatinya juga diketahui oleh pimpinan universitas kala itu. Namun, kata dia, tidak pernah ada tindak lanjut mengenai sanksi yang diberikan kepada mahasiswa pelaku pelecehan dan kekerasan seksual.
“Sampai 16 tahun berlalu saya belajar berdamai dengan trauma dan ketakutan saya atas penyerangan yang menimpa saya,” ujar Fani.
Kini ia mendapati fakta bahwa pelaku kembali berulah. Puluhan perempuan mengaku menjadi korban pelecehan seksual Bambang.
Ia tak pernah diadili atas perbuatannya melakukan penyerangan dan kekerasan seksual. Bahkan tanpa ia tahu, sang pelaku setelahnya masih dapat menyelesaikan studi S2 Fisipol UGM. “Artinya saat itu tidak ada upaya serius untuk memberi sanksi akademik pada pelaku sampai dia pada akhirnya bisa sampai pada titik ini.”
Hal itu juga sudah diungkapkan Fani pada 2018 lalu saat kasus kekerasan seksual terhadap Agni mencuat di UGM. Ia juga sempat mengungkapkan kekecewaannya sebagai penyintas yang tak mendapatkan keadilan sebagaimana Agni saat itu.
Kepala Bagian Humas dan Protokol UGM Iva Ariani kepada Tirto, Selasa (4/8/2020), membenarkan adanya peristiwa 16 tahun lalu itu. Pihaknya telah melakukan penelusuran termasuk meminta keterangan korban.
“Menurut korban memang dia [Bambang Arianto] pelakunya waktu itu [2004],” kata Iva.
Meski kasus tersebut telah dibawa ke ranah hukum, tetapi ia tidak mengetahui secara pasti hasilnya. Yang jelas, kata dia, usai kasus itu, Bambang beberapa tahun kemudian memang kembali tercatat sebagai mahasiswa S2 di UGM.
UGM, kata dia, mengecam segala bentuk tindakan pelecehan dan kekerasan seksual, termasuk apa yang diduga dilakukan oleh Bambang Arianto. Namun, memang hingga sejauh ini belum ada pembahasan mengenai saksi yang akan diberikan.
Melalui bidang hukum dan organisasi dan unit layanan terpadu, UGM, kata dia, telah melakukan kajian dan pemantauan terhadap korban. “Kami sedang mendata sejumlah korban agar kita tahu kebutuhan korban yang membutuhkan dukungan,” ujar Iva.
Fantasi Swinger Berkedok Penelitian
Kasus dugaan pelecehan dan penyerangan seksual yang dilakukan Bambang Arianto terkuak saat satu per satu hingga mencapai puluhan. Mulanya Laeliya Almuhsin mengungkapkan pengalamannya di Facebook.
Kepada Tirto, Senin (3/8/2020), ia mengatakan pertama kali dihubungi oleh Bambang melalui pesan pribadi di Facebook. Bambang mengutarakan hendak melakukan penelitian soal swinger. Bambang lalu menelepon Laeliya, bercerita panjang lebar soal rencana penelitiannya dengan meyakinkan.
“Dia akan mencari komunitas swinger untuk bisa tahu informasi sebanyak-banyaknya dan dia bilang sudah menemukan pasangan itu.”
Ia juga bercerita soal rencana bertemu dengan pasangan swinger. Ia bilang akan menggali informasi dari mereka dan akan membawa istrinya untuk bertemu mereka di sebuah hotel. Ia bercerita soal syarat pertemuan itu yang masing-masing perempuan harus memakai gamis dan bercadar.
“Dia bilang berempat akan saling bercumbu. Menurut saya kok aneh, kok beneran,” katanya. “Dia menunjukkan foto istrinya dan menunjukkan akun Facebooknya.”
Laeliya bertanya ke Bambang apakah istrinya bersedia atau tidak melakukan itu. Lalu Bambang menjawab karena untuk penelitian, istrinya setuju. Meski demikian ia menegaskan praktik swinger belum terjadi. Laeliya mengingatkan kepada Bambang ia bisa disebut melakukan pelecehan seksual jika memaksa sang istri.
“Dari itu saya merasa aneh. Penelitian kan tidak harus melakukannya langsung. Saya jadi tidak tertarik. Lalu dia telpon saya bilang sibuk.”
Bambang tidak menyerah dan kembali menelepon. Ia cerita soal perkembangan penelitiannya. Ia bilang telah melakukan swinger dan istrinya menikmati.
“Kemudian saya setop. Saya bilang tidak tertarik mendengar cerita semacam itu, karena di situ dia menceritakan dengan nada yang senang dan menurut saya sudah di luar etika riset,” kata dia. “Saat itu saya curiga bahwa dia mau menjebak seseorang untuk mendengar cerita swinger untuk berfantasi.”
Cerita pengalamannya mendapat respons lingkaran pertemanan di Facebook. Sebanyak 15 orang perempuan menghubunginya dan mengungkapkan pernah mendapatkan perlakuan dari pelaku yang sama. Salah satu teman, Ilian Deta Artasari, merespons dengan menuliskan pengalaman yang sama, juga di Facebook. Bedanya, tulisannya itu diatur menjadi unggahan publik. Semua pengguna Facebook dapat membacanya.
Ilian membenarkan pengalaman soal perlakuan Bambang yang ia tuliskan di Facebook saat dikonfirmasi reporter Tirto, Senin (3/8/2020) kemarin.
Unggahan terus menyebar dan makin banyak direspons. Perempuan yang mengaku mendapatkan perlakuan yang sama dari Bambang terus bertambah. Laeliya dan Ilian mengonfirmasikan setiap informasi yang masuk. Total sudah ada lebih dari 50 perempuan yang mengaku mendapatkan perlakuan yang sama dari pelaku.
Dari 50 perempuan yang menghubunginya ada sebagian yang mendapatkan perlakuan kekerasan secara fisik, termasuk Fani dan seorang psikolog perempuan dengan dalih konsultasi, di depan psikolog ia onani.
Bambang, kata Laeliya, memanfaatkan nama UGM dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk mencari target. Ia masuk grup sosial media alumni UGM dan lingkaran NU. Ia juga disebut-sebut sebagai dosen di Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta.
Klaim terakhir dibantah oleh Wakil Rektor I UNU Yogyakarta Abdul Ghoffar. “Secara formal dia bukan atau belum dosen UNU. Dia belum memiliki kualifikasi sebagai dosen, dia sedang mengambil program S2 akuntansi, padahal syarat dosen adalah sarjana S2. Dia memang ingin bergabung ke UNU, maka dia sering kegiatan yang sifatnya voluntary di kampus,” ujarnya kepada reporter Tirto, Senin (3/8/2020).
Ghoffar juga memastikan sejauh ini tidak ada riset di UNU mengenai swinger seperti apa yang dikatakan Bambang kepada para korbannya.
Harapan Korban: Pelaku Jera & RUU PKS Disahkan
Laeliya ingin agar Bambang jera dan tidak mengulangi perbuatannya. Ia juga ingin agar masyarakat tahu dan menjadi hati-hati supaya tidak ada korban lagi.
“Agar membuat jera dan mendapat sanksi sosial karena si BA lolos di mana-mana, bekerja di lembaga yang baik. Bahkan menjadi narasumber di mana-mana,” ujarnya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Fani. Meski peristiwa yang dialaminya sudah lama sekali, tetapi trauma yang dialami tak juga sepenuhnya hilang. Dulu ia berharap, kampus memberikan sanksi tegas dengan melakukan drop out. Namun, nyatanya, tanpa ia tahu Bambang malah diberikan kesempatan untuk menempuh S2 di UGM. “Kalau saya tahu pasti akan ajukan keberatan.”
“Fokus saya pribadi agar yang bersangkutan mendapatkan sanksi sosial,” Fani menjelaskan harapannya.
Ia juga berharap agar Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kembali dibahas dan segera disahkan oleh DPR agar para korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan. Termasuk agar tindakan pelecahan seksual fisik maupun melalui daring seperti yang dilakukan Bambang bisa diproses pidana.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi menegaskan RUU PKS urgen untuk segera disahkan mengingat meningkatnya kasus kekerasan seksual dan banyaknya kasus yang tidak dapat diproses oleh RKUHP.
“RUU PKS urgen untuk kasus kekerasan seksual yang belum ada aturannya. Bukan hanya pelecehan non fisik tapi juga pelecehan seksual, penyiksaan seksual, dan eksploitasi seksual yang sekarang mulai banyak.”
Pengakuan Pelaku
Lewat Facebook, Bambang mengunggah video pengakuan dan permintaan maaf, Minggu (2/8/2020) sore. Dalam pernyataan berdurasi 1 menit 40 detik ia menyatakan membuat video dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan. Ia menyatakan bahwa rencana penelitian tentang swinger adalah bohong.
“Sesungguhnya saya lebih ingin berfantasi swinger secara virtual semata. Hal itu dikarenakan kata swinger sering menghantui saya di setiap waktu,” kata dia.
“Saya juga pernah melakukan pelecehan secara fisik. Secara khusus saya meminta maaf kepada seluruh korban baik dari kampus UGM Bulaksumur maupun yang lain yang pernah menjadi korban pelecehan saya baik secara fisik, tulisan, maupun verbal sehingga menimbulkan trauma. Saya juga minta maaf kepada NU dan UGM karena selama ini menyalahgunakan nama NU dan UGM dalam mencari target.”
Malamnya Bambang menutup semua akun media sosial. Meski begitu videonya sudah beredar luas. Reporter Tirto mencoba menghubunginya melalui Whatsapp tetapi tak direspons. Nomor ponsel pribadinya juga tak aktif saat dihubungi.
=======
Universitas Gadjah Mada (UGM) menerima pengaduan dari penyintas atau korban kekerasan seksual lainnya melalui unit layanan terpadu yang dapat diakses di laman berikut: http://ult.ugm.ac.id/eservices/portal/publics/detail/17
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Maya Saputri