tirto.id - Di Indonesia, sesungguhnya ada lebih dari 80 persen penyandang kebutaan yang memiliki harapan untuk dapat melihat dunia kembali. Kebanyakan dari mereka adalah penderita katarak dan kerusakan kornea. Operasi katarak bukan masalah besar, karena sudah banyak fasilitas kesehatan yang mengadakannya secara gratis. Namun, tidak untuk orang dengan kerusakan kornea.
Mereka masih harus bersabar menunggu antrian donor kornea yang jumlahnya sangat sedikit di Indonesia. Waktu antre yang lama, tak jarang membikin semangat mereka untuk dapat melihat menjadi pupus.
Secara nasional, angka penyandang kebutaan di Indonesia berkisar 3 persen dari jumlah penduduk. Namun, meski tampak kecil, jumlahnya setara jumlah penduduk di Afrika. Dari 3 persen penyandang kebutaan tersebut, sebanyak 80 persennya merupakan penderita katarak dan 4,5 persennya lagi adalah orang dengan kerusakan kornea.
Baca juga:Mata Palsu Abadi
Menurut dr. Tjahjono D. Gondhowiardjo, SpM(K), PhD, Ketua Bank Mata Indonesia, tindakan mendonorkan kornea masih kontroversial karena dianggap bertentangan dengan ajaran budaya dan agama.
Prosedur di luar negeri, terutama negara-negara maju, berbeda dengan di Indonesia. Di luar negeri, orang bisa mengatur dirinya sebagai donor organ tubuh. Ketika pendonor bersedia memberikan kornea dan menandatangani surat persetujuan, organnya bisa didonorkan sesaat setelah ia meninggal.
Namun, di Indonesia, tim dokter masih harus berurusan dengan keluarga dan pemuka agama. Padahal, kornea yang didonorkan dapat memberi cahaya kehidupan pada orang lain.
“Ketika pasien bisa melihat, keluarganya juga ikut merasa kegembiraan. Misal dia tulang punggung, mereka kembali dihidupi olehnya,” kata dr. Tjahjono dalam acara pembukaan bank mata di Jakarta, Kamis, 30 November.
Baca juga:Waspada Kebutaan pada Penderita Diabetes
Karenanya, hingga kini Indonesia masih mengimpor donor kornea dari negara lain seperti Sri Lanka, India, Belanda, dan Amerika Serikat. Daftar tunggu pasien transplantasi kornea di Indonesia saja berjumlah lebih dari 20 ribu orang. Sementara itu, donor kornea dalam tiga tahun terakhir hanya sekitar 35 orang. Impor kornea dari negara tersebut juga baru bisa menutupi 5-10 persen kebutuhan kornea di dalam negeri.
Siapa Pun Bisa Jadi Donor
Tak ada batasan bagi siapapun untuk bisa mendonorkan kornea matanya, baik seseorang yang berumur tiga tahun atau lebih dari 80 tahun. Tak ada masalah dengan mata minus maupun plus. Semuanya bisa menjadi pendonor, asal kornea matanya dinyatakan sehat dan tidak pernah mengalami infeksi.
Dr. Tjahjono pun bercerita tentang pasien transplantasi kornea yang berumur 80 tahun pernah mendapat donor saat usianya masih 40 tahun. Kornea yang ia dapat berasal dari donor yang sudah berumur 80 tahun. Artinya, kornea tersebut telah hidup selama 120 tahun di mata pendonor dan pasien.
“Tapi meski begitu, kita cari dulu kornea yang umurnya tidak jauh berbeda dengan pasien,” katanya.
Baca juga:Program Pencegahan Kebutaan bagi Bayi Prematur
Untuk menjadi donor, seseorang cukup menandatangani formulir kesediaan disertai saksi dari keluarga. Dalam waktu enam jam setelah meninggal, kornea sudah harus diambil. Jika melebihi waktu tersebut, jaringan kornea sudah mati dan tak lagi bisa digunakan.
Sementara itu, menyelamatkan bola mata merupakan tindakan penyelamatan yang pertama kali akan dilakukan dokter kepada pasien. Donor kornea yang rusak bukan berarti tidak bisa digunakan. Jenis kornea ini masih bisa dipakai untuk menambal sementara kornea pasien yang sudah tipis dan akan jebol.
Setelahnya, jika kondisi saraf masih bagus, dilakukan pergantian kornea yang lebih baik kualitasnya. Untuk dapat menempuh tindakan transplantasi ini, umumnya pasien mesti menyiapkan dana sekitar Rp25-30 juta. Alternatif lain untuk memulihkan penglihatan karena kerusakan kornea adalah mencangkokkan kornea buatan seperti Novel Baswedan.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani