tirto.id - Jangan bayangkan singa-singa bersantai di jalanan sepi layaknya yang terjadi di Afrika Selatan, atau buaya yang tengah berjemur di tepi Pantai La Ventanilla, Meksiko. Di Indonesia satwa kita justru tengah berjuang hidup melewati hari-hari tanpa kecukupan makanan.
Pandemi COVID-19 telah membuat masyarakat babak belur. Banyak orang kehilangan pekerjaan dan tak mampu mencukupi kebutuhan perut sehari-hari. Penggalangan donasi seolah jadi rutinitas anyar yang tak lagi eksklusif. Semua orang sibuk mencari cara menyambung hidup esok hari.
Di tengah situasi ini, banyak orang lupa tak cuma manusia saja yang jadi kelompok terdampak wabah. Seolah penghuni kelas dua di bumi, para satwa sudah terbiasa dilupakan. Padahal mereka juga berada antara hidup dan mati karena lembaga konservasi ditutup dari pertengahan Maret lalu.
“Kita tidak tahu sampai kapan pandemi ini berakhir, tapi masyarakat tentu tidak bisa donasi terus-terusan,” Juru Bicara Perhimpunan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI), Sulhan Syafii mengungkapkan kekhawatirannya dalam wawancara bersama Tirto, Jumat, (16/5/2020).
Ketika donasi untuk masyarakat terdampak COVID-19 sudah gencar dilakukan sejak awal April, suara kelaparan satwa-satwa ini baru terdengar beberapa minggu belakangan. Survei internal terhadap 60 anggota PKBSI mengungkapkan kenyataan pahit: hampir seluruh anggota hanya mampu bertahan satu bulan lagi.
Artinya sebanyak 92,11 persen kebun binatang tak bisa menyediakan pakan satwanya melewati bulan Mei 2020. Sementara 5,26 persen mengaku cukup punya tabungan untuk memelihara satwanya selama 1-3 bulan ke depan. Hanya 2,63 persen kebun binatang yang bagus dan bisa bertahan lebih dari tiga bulan.
Total terdapat 4.912 satwa koleksi seluruh kebun binatang anggota PKBSI yang terdiri dari karnivora, herbivora, reptilia, dan unggas. Kebanyakan adalah satwa endemik, satwa “ikon” Indonesia seperti anoa, harimau sumatera, tapir, dan orang utan sumatera. Sementara sebagian lain merupakan satwa dari berbagai belahan dunia.
Indonesia memiliki 84 lembaga konservasi dengan jumlah populasi total satwa lebih kurang sebanyak 70 ribu ekor. Dari seluruh komponen biaya operasional sebuah kebun binatang, biaya terbesar dikeluarkan untuk tenaga kerja, pakan, baru kemudian obat-obatan.
Saatnya Kembali ke Habitat Asli?
Awal Mei lalu, PKBSI akhirnya menggalang donasi untuk keberlangsungan satwa di kebun binatang anggota. Per Kamis, (15/5/2020) jumlah uang yang terkumpul mencapai Rp1 miliar. Dana tersebut rencananya digunakan untuk membatu tujuh kebun binatang yang paling terdampak.
Sisa bantuan akan disebar bertahap berdasar klasifikasi kebun binatang yang paling membutuhkan. Dalam situasi krisis ini sejatinya kebun binatang sudah melakukan penyesuaian, misalnya dengan mensubtitusi dengan pakan yang lebih murah dan pengurangan jadwal makan satwa.
Tapi usaha tersebut tidak cukup membantu. Sebagai gambaran, Taman Satwa Cikembulan Kadungora Garut sudah mengurangi setengah beban tenaga kerja menjadi hanya 15 orang untuk menghemat anggaran. Dalam kondisi normal manajemen mengeluarkan biaya Rp20 juta per bulan hanya untuk pakan lima ekor macan tutul.
Untuk keseluruhan satwa yang berjumlah 435 ekor, mereka mengeluarkan biaya operasional bulanan mencapai Rp220 juta. Taman satwa di Jawa Barat ini merupakan satu dari tujuh kebun binatang yang mendapat prioritas bantuan dari donasi PKBSI. Melihat kemalangan ini, apakah pemerintah turut campur tangan?
Dilansir dari media sosial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), saat ini pemerintah tengah melakukan penghitungan untuk refocusing dan realokasi anggaran. KLHK juga berupaya membantu kebun binatang dengan cara meminta keringanan pajak kepada kementerian terkait.
Pemerintah baru bisa memberikan bantuan dana kepada kebun binatang yang dikelola Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), seperti Ragunan, Jakarta atau Gembira Loka, Yogyakarta. Namun kebun binatang yang diurus lembaga swasta hingga saat ini masih terkendala regulasi.
Persoalan tersebut kemudian memunculkan pernyataan awam untuk mengembalikan satwa ke habitat asli. Padahal prakteknya tidak semudah mengangkut manusia bermigrasi dari satu wilayah ke wilayah lain. Masalah pertama menyangkut kepemilikan dan lainnya menyoal adaptasi satwa.
“Sekitar 70 persen anggota kami memang swasta, tapi semua satwanya punya negara,” lanjut Sulhan.
Jika dilihat duduk perkaranya, pemerintah seharusnya siap dengan skema bantuan untuk para satwa di lembaga konservasi swasta. Karena toh, meski dikelola swasta, satwa-satwa ini berada dalam pengawasan negara. Menjadi tanda tanya besar ketika satwa di lembaga konservasi swasta jadi kelaparan akibat terbentur regulasi.
Satwa aset negara juga wajib dilestarikan dan dijaga kesejahteraannya. Pemindahan satwa rasanya bukan jalan keluar yang baik saat ini karena hewan-hewan tersebut sudah terlanjur terbiasa “dipelihara” sehingga akan sulit beradaptasi di alam liar. Mereka juga tidak memiliki rasa takut alami terhadap manusia sehingga rentan terhadap pemburu.
Menyumbang Bukan Berarti Mendukung Perbudakan
Katanya wabah COVID-19 tengah memulihkan alam, memberi hadiah kebebasan pada satwa-satwa di dunia. Tapi di sini kisah pilu hewan yang tak bisa ikut hajatan dikorek lewat wacana yang sempat diutarakan manajemen Bandung Zoological Garden (Bazoga).
Kondisi keuangan Bazoga mampu menopang operasional kebun binatang hingga empat bulan ke depan. Jika lebih dari jangka waktu tersebut pandemi masih berlangsung, maka mereka berniat memotong rusa sebagai umpan macan tutul. Skenario tersebut akan dilakukan apabila tidak ada bantuan operasional yang diterima manajemen.
“Mekanismenya menyeleksi herbivora dengan umur tua untuk pakan karnivora satwa asli Indonesia seperti macan tutul atau harimau Jawa,” jelas Sulhan.
Nasib para satwa sudah silang sengkarut. Hidup mereka bergantung pada donasi masyarakat – karena pemerintah tak lagi bisa diandalkan. Meski pada akhirnya kita dihadapkan pada kenyataan bahwa kebun binatang di Indonesia juga bukan tempat ideal bagi satwa, dan karenanya beberapa kelompok menolak konsep lembaga konservasi ini.
Data menunjukkan dari sejumlah 80-an kebun binatang di Indonesia, hanya 20 yang sudah terakreditasi. Hanya 30 persen dari jumlah tersebut mencapai predikat baik. Sisanya masih di bawah standar. Fakta lapangan memperlihatkan kepada kita skandal yang terjadi di kebun binatang Indonesia.
Contoh soal ketiadaan dokter hewan yang membuat seekor gajah mati, dan beruang madu kurus dari Kebun Binatang Bandung (Bazoga). Kemudian kasus penggelapan jatah uang makan Harimau Sumatera di Kebun Binatang Gembira Loka, Yogyakarta.
Selanjutnya lembaga konservasi yang terus-terusan disorot akibat kematian misterius satwa koleksi, yakni Kebun Binatang Surabaya (KBS). Di Jambi, Singa dan Harimau diracun, indikasinya sengaja dilakukan agar bagian tubuh hewan bisa dijual.
Deretan masalah di atas belum mencakup persoalan sampah di kandang – yang bahkan ditemukan juga di perut-perut satwa koleksi. Rasanya kebun binatang kita serupa tempat penjagalan bagi hewan. Wajar rasanya ketika kampanye menolak konsep kebun binatang lumayan gencar disuarakan.
Argumentasinya begini: mendukung kebun binatang dengan datang dan membeli tiket sama artinya dengan mendukung perbudakan hewan. Tapi di masa sekarang memberi kesempatan hidup bagi para satwa dengan sedikit berdonasi rasa-rasanya lebih bijak dibanding menggaungkan ketidaksetujuan atas kebun binatang.
Editor: Windu Jusuf