tirto.id - Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, menyerahkan komando tim transisi kepada wakilnya, Mike Pence. "Agar saya punya lebih banyak waktu untuk mengafahkan kemualafan. Kemarin saya baru mengucapkan dua kalimat syahadat," katanya.
Pernyataan itu disampaikan Presiden Trump pada Jumat malam, tak lama setelah pertemuannya dengan Presiden Obama. Di kesempatan yang sama, ia mengaku beberapa jam sebelumnya telah membaca dan memahami sepenuhnya apa itu Obamacare.
"Sudah saya gugling, dan, harus saya katakan, terkejut saya," katanya. "Jujur, ada banyak hal di dalamnya yang benar-benar masuk akal."
Ia menyesal tak melakukan itu dari dulu, ingar-bingar kampanye dan kepadatan agendanya memaksa Donald kehilangan waktu luang untuk menggugling dan membaca hal-hal penting. Penyesalannya benar-benar mendalam, sedalam Palung Mariana. "Anda harus terus berlari, berlari, berlari," katanya. "Beberapa kali saya mengingatkan diri sendiri untuk menggugling Obamacare, tapi sayang tidak pernah sempat."
Setelah rangkaian kampanyenya kelar, baru ia bisa menikmati kemewahan waktu senggang untuk berselancar di internet. Selain Obamacare, ia juga penasaran dan mencari-cari tahu lebih banyak tentang Meksiko.
"Sungguh membuka mata," ujarnya. "Ternyata banyak orang Meksiko yang dahsyat. Mereka banyak melakukan hal-hal luar biasa. Hebat Meksiko."
Ketika ditanya apakah pengetahuan barunya itu bisa mengubah pikirannya untuk membangun tembok raksasa di perbatasan AS-Meksiko, Donald menjawab, "Agaknya begitu, sempat saya bertanya-tanya sendiri soal itu. Orang-orang Meksiko yang hebat-hebat itu boleh masuk AS dan berkontribusi untuk negara ini. Sebagai balasannya, saya pikir mereka akan mendapatkan banyak manfaat dari Obamacare."
Tujuh paragraf di atas tidak berdasarkan kejadian sebenarnya. Ia ditulis oleh Andy Borowitz, kolumnis satire di Newyorker. Di tengah situasi suram—paling tidak menurut pandangan orang-orang Newyorker, mantan pemimpin redaksinya, David Remnick, malah sampai menyebut kemenangan Trump sebagai "Sebuah Tragedi Amerika", Andy ternyata belum kehilangan selera humornya.
"Kemenangan mengejutkan Trump, kenaikannya ke kursi presiden, adalah peristiwa memuakkan dalam sejarah Amerika Serikat dan demokrasi liberal," tulis Remnick. "Ia tidak segan-segan menyuarakan xenofobia dan supremasi kulit putih."
Orang-orang seperti David Remnick, kelas menengah atas Amerika, kaum terpelajar dan condong liberal, tentu saja kaget, plus dongkol, menyaksikan Donald Trump melenggang ke puncak kekuasaan. Berbagai lembaga poling ternama mengunggulkan Hillary Clinton, dan sebagian besar media arus utama menjagokan dan mengendors istri Presiden Bill Clinton itu.
Di Twitter, tagar #AmericaIsOver alias #AmerikaKiamat mendominasi percakapan. Para pemilih Hillary mengekspresikan kekecewaan terberat mereka dan, saking putus asanya, tidak sedikit yang mengungkapkan ingin pindah ke Kanada saja. Di hari Donald Trump terpilih, situsweb Imigrasi Kanada sampai tidak bisa diakses lantaran servernya tak kuat menampung kunjungan yang tiba-tiba membludak.
Kolom Remnick belum seberapa, ocehan-ocehan frustrasi di media sosial hanya akan menjadi sampah digital, puncak pencapaian kedongkolan paling paripurna ditorehkan oleh seorang editor lepas bernama Tom Freeman di akun Medium-nya. Dalam tulisan berjudul "Sebuah Analisis atas Kemenangan Donald Trump dan Prospek Kepresidenannya", Tom menuliskan 2.086 kata yang demikian memancarkan kekesalan dan kegusaran dan kemarahan dan keputusasaan yang ritmis. Ia mengemukakan beberapa poin penting yang memungkinkan Trump mengalahkan Clinton, dilengkapi diagram lingkaran yang menyajikan warna-warni data.
Artikel itu berisi 2.086 kata fuck. Mahakarya.
Sukar bagi kaum urban dan terpelajar Amerika menerima kenyataan, mereka merasa kecolongan. Media-media dan para wartawannya mau tidak mau harus mengevaluasi diri, menggali-gali apa yang salah selama ini, apa yang lepas dari amatan, fenomena apa yang gagal mereka tangkap dan jelaskan. Karena sulit bagi mereka tidak menggelengkan kepala mendapati sebagian besar saudara sebangsa menomorsatukan seorang pria yang suka mencemooh orang cacat, berbual-bual melecehkan perempuan, menyemburkan kebencian, dan rasis.
Margareth Sullivan, editor publik terbaik yang pernah dimiliki The New York Times yang pensiun pada April silam, manusia kesayangan insan pers Amerika sebagaimana Julia Roberts bagi Hollywood, dengan baik memotret kesembronoan para wartawan. "Meski kita, wartawan, kerap menggambarkan diri sebagai orang yang sinis, tidak sentimental, kita juga seringkali tidak realistis, bahkan naif," tulisnya di Washington Post.
Margareth bersepakat dengat Peter Thiel, miliarder pendiri Paypal, bahwa "media selalu menanggapi Trump secara harfiah. Tidak pernah menganggapnya secara serius." Wartawan ingin tahu persis bagaimana Trump akan mendeportasi para imigran gelap, bagaimana ia membangun tembok raksasa, atau langkah-langkah yang akan ditempuhnya supaya dunia terbebas dari ISIS. Wartawan menguber detail, dan terlalu sibuk mengecek fakta atau tidaknya setiap hal yang keluar dari mulut Trump.
Tapi mayoritas pemilih Amerika justru berpikir sebaliknya: Mereka menanggapi Trump secara serius, bukan secara harfiah. Mereka tahu Trump tidak benar-benar berencana membangun tembok. "Yang mereka dengar adalah: Kita akan punya kebijakan imigrasi yang lebih waras, lebih masuk akal," kata Peter.
Dengan bahasa yang lebih terang, Rod Dreher, penulis di The American Conservative, menyebut kebanyakan wartawan dibutakan oleh fanatisme mereka sendiri, "fanatisme melawan konservatisme agama, fanatisme yang alergi terhadap orang desa, dan fanatisme menentang kelas pekerja dan orang-orang kulit putih yang miskin."
Mereka minim turba dan kurang bisa berbaur dengan masyarakat di pelosok-pelosok negeri, sehingga terbata-bata membaca semangat dan keinginan mendasar yang tumbuh di akar rumput.
Semoga kita semua bisa mengambil hikmahnya.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Arlian Buana