tirto.id - Nilai tukar rupiah sudah terdepresiasi hingga level Rp14.073 terhadap dolar AS, pada Rabu (9/5/2018). Kurs ini jauh di atas patokan APBN 2018 sebesar Rp13.400 per dolar.
Pelemahan rupiah terhadap dolar berisiko pada harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik. Penentuan harga BBM dan minyak mentah berpatokan pada dolar karena mayoritas masih impor.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, perusahaan BUMN di sektor energi yang akan mengalami dampak langsung dari melemahnya nilai rupiah adalah Pertamina sebagai pelaksana distribusi BBM subsisi maupun komersial. Sedangkan bagi PLN diprediksi tidak akan berdampak terlalu besar.
“Imbas ke listrik mungkin tidak sebesar BBM, karena pembangkit listrik porsinya 57 persen menggunakan batu bara [yang tidak impor] sebagai energi primer. Sedangkan porsi BBM-nya cuma 5,8 persen, kecil,” kata Bhima kepada Tirto, Rabu (9/5/2018).
Pertamina diperkirakan kekurangan dana untuk subsidi Premium dan Solar lebih dari Rp20 triliun. Pemerintah menganggarkan subsidi energi pada APBN 2018 sebesar Rp94,5 triliun dengan rincian untuk BBM dan LPG sebesar Rp46,9 triliun dan untuk listrik Rp47,7 triliun.
“Kalau dibiarkan, Pertamina menanggung selisih harga subsidi tanpa bantuan pemerintah efeknya ke kinerja keuangan Pertamina menjadi terganggu. Dari Januari-Februari saja, Pertamina sudah mengeluh potentialloss Rp3,9 triliun karena menanggung BBM subsidi,” kata Bhima.
Menurut Bhima, pemerintah perlu segera melakukan intervensi berupa tambahan subsidi. Menurutnya, jika subsidi tidak segera disuntikkan, maka efeknya akan berimbas ke investasi Pertamina, terutama untuk pembangunan kilang dan eksplorasi.
“Ini bahaya bagi kelangsungan bisnis produksi minyak nasional. Tiap tahun kita defisit US$ 8,5 miliar dari migas karena impor minyak semakin bengkak,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS), Marwan Batubara. Menurutnya, saat ini penentuan harga BBM Pertamina masih tergantung dengan kurs dolar AS dan harga minyak dunia. Dua faktor itu, kata Marwan, membuat harga keekonomian BBM akan semakin tinggi, di sisi lain pemerintah sudah tak mensubsidi BBM premium dan melepas harga pasar untuk Pertalite dan Pertamax.
Menurutnya tanpa intervensi pemerintah dengan cara memberikan tambahan subsidi, maka ada kemungkinan harga BBM dan listrik dapat naik karena harga keekonomian yang semakin tinggi.
“Saya enggak tahu berapa yang pasti selisih harga keekonomian untuk BBM. Kalau di Premium itu sudah Rp2.000 mungkin sudah Rp2.200. Di solar juga sama, tapi solar, kan, diberi subsidi Rp500 per liter, yang katanya mau dinaikkan menjadi Rp1.000 per liter. Tapi, tetap saja masih rendah dibanding harga keekonomiannya itu, sekitar Rp1.500 per liter,” kata Marwan.
Marwan menambahkan opsi lainnya adalah menaikkan harga BBM dan listrik subsidi. Namun, hal itu tentu saja risiko politiknya tinggi, apalagi janji pemerintah yang tidak akan menaikkan harga BBM (premium, solar, dan minyak tanah) dan listrik hingga 2019.
Ia menegaskan seharusnya pemerintah lebih berhati-hati dan cermat dalam menetapkan kebijakan. Jangan membuat kebijakan terlalu ambisius dengan janji-janji muluk, sehingga mengabaikan kondisi terkini, seperti kurs dolar.
Opsi Hadapi Rupiah Melemah
Selain masalah kurs rupiah yang melemah terhadap dolar, persoalan lain yang tak kalah pelik adalah harga minyak dunia dalam tren naik. Saat ini, harga minyak mentah Brent menyentuh level tertingginya sejak November 2014 pada 77,20 dolar AS per barel. Kombinasi kenaikan dua faktor ini menjadi pukulan bagi Pertamina dan PLN. Agar keuangan Pertamina dan PLN tidak terganggu, maka perlu ada opsi penambahan subsidi energi.
Menurut Marwan, opsi kedua adalah melakukan kombinasi memberikan izin kenaikkan harga dan tambahan suntikan tambahan anggaran subsidi BBM. “Penambahan subsidi dan diberi izin harga naik berapa ratus. Persentasenya bisa 50:50 gitu,” katanya.
Opsi ketiga, pemerintah tidak memberikan tambahan subsidi dengan alasan mengamankan APBN dari anggaran pengeluaran yang membengkak, sekaligus tetap mempertahankan harga. Namun, jika opsi ketiga ini menjadi solusi, maka pemerintah harus rela kehilangan dividen dari Pertamina.
Bhima Yudhistira menuturkan, bisa saja pemerintah memberikan tambahan subsidi energi di APBN. Caranya adalah menambal pembengkakan APBN dengan memangkas anggaran infrastruktur Rp410 triliun.
“Uang itu [subsidi] mau dicari dari mana? Opsinya harus ada pos belanja yang dipangkas. Saya kira yang potensial dipangkas itu belanja infrastruktur. Ada Rp410 triliun, bisa ditunda dan dievaluasi beberapa proyek, sisa dana bisa dipakai subsidi energi,” katanya.
Bhima menambahkan “opsi berikutnya adalah Pertamina menanggung beban subsidi, tapi PMN (Penambahan Modal Negara) disuntik dan dividen Pertamina dikembalikan lagi dalam bentuk subsidi.”
Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito saat dikonfirmasi Tirto hanya menjawab singkat. Ia hanya menyampaikan pihaknya akan sepenuhnya mengikuti mandat dan kebijakan pemerintah.
“Kami sudah ada solusi dari pemerintah,” katanya pada Rabu (9/5/2018).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pelemahan nilai tukar rupiah akan berpengaruh terhadap subsidi, terutama BBM dan listrik. Dalam konteks ini, ia akan berkomunikasi dengan Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno untuk membahas hal itu, sekaligus memantau kondisi neraca keuangan PLN dan Pertamina.
Sri Mulyani menuturkan, perhatian terutama akan diberikan kepada kinerja Pertamina, sehingga pemerintah akan membuat kebijakan yang menjaga kondisi keuangan BUMN tersebut sekaligus mempertahankan kondisi APBN tetap sehat.
"Sehingga BUMN itu [Pertamina] bisa bekerja menjalankan tugas negara menyediakan BBM di seluruh Indonesia dengan harga yang terjangkau masyarakat, tetapi di sisi lain APBN tetap sehat dan shock yang berasal dari luar itu kemudian bisa diminimalkan pengaruhnya kepada masyarakat,” kata Sri Mulyani, seperti dikutip Antara, Selasa malam (8/5/2018).
Sri Mulyani juga mengungkapkan, saat ini pihaknya sedang melakukan kalkulasi ulang perihal subsidi bersama dengan kementerian, instansi, dan BUMN terkait.
“Kami dalam tahap membuat laporan semester pertama APBN, itu yang sedang kami fokuskan, dan itu yang akan kami laporkan baik kepada Presiden, kabinet, dan kami bahas dengan dewan. Dari situ kami akan lihat pelaksanaan APBN 2018 dengan adanya perubahan-perubahan itu,” katanya.
Staf Khusus Menteri BUMN, Wianda Pusponegoro mengatakan, pihaknya belum mendapat kepastian waktu terkait pembahasan ini.
“Saya belum terima info kapan waktu meetingnya [meeting antara 3 menteri soal subsidi BBM dan listrik]” kata Wianda saat dikonfirmasi Tirto, Rabu sore.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Abdul Aziz