tirto.id - Mohammad Hatta mengangkat Djohan Sjahroezah sebagai sekretaris waktu militer Jepang menduduki Indonesia. Dengan jabatan tersebut ia bisa datang kepada orang yang kelak menjabat wakil presiden pertama itu kapan saja diperlukan. Djohan cukup berpengalaman sebagai jurnalis. Ia mendidik kader sejak zaman kuliah di sekolah hukum dan melawan pemerintah kolonial.
Hatta adalah orang yang rapi dan rajin mencatat, termasuk kepada siapa mengirimkan uang dan jumlahnya.
Suatu hari Djohan melihat Hatta mencatat, “untuk Sjahrir”. Djohan terkejut. “Bung, kan berbahaya mencatat hal itu! Kalau Jepang tahu, kan Bung jadi korban.” Hatta yang tersadar pun memusnahkan catatannya.
Bagi Djohan, Hatta adalah orang jujur dan berusaha transparan dengan apa yang dilakukannya. Kala itu Sjahrir tidak ikut-ikut bekerja sama dengan Jepang dan nyaman dengan gerakan bawah tanah. Sjahrir tentu butuh uang untuk berbagai keperluan dan itu kenapa Hatta membantu.
Djohan juga seperti Sjahrir. Pada 1943, Djohan—yang biasa disapa Djon—berangkat ke Surabaya dengan dukungan Hatta. Djon dapat tugas untuk mendekati kaum buruh minyak di bekas instalasi milik perusahaan Belanda Bataafsch Petroleum Maatschappij (BPM) yang sudah dikuasai militer Jepang. Djon pernah bekerja sebentar di perusahaan minyak di Tarakan pada zaman Hindia Belanda, namun dipecat karena mendirikan serikat buruh.
Semasa di Surabaya, Djon tinggal di Plampitan, dekat Paneleh, Surabaya—yang pernah jadi tempat tinggal Haji Oemar Said Tjokroaminoto dan Sukarno muda. Rumah itu kerap dikunjungi orang pergerakan macam Sukarni, Sujono, dan Soemarsono. Di Plampitan juga tinggal pemuda bernama Ruslan Abdulgani.
Di sana Djon tinggal bersama istrinya, Violet bin Haji Agus Salim alias Jojet. Rumah itu tak hanya dihuni mereka berdua. Anak angkat Sutan Sjahrir yang jago merakit radio asal Banda Neira, Des Alwi, pun tinggal di sana. Ini karena Djon sendiri adalah keponakan Sjahrir. Ibunya, Radena, adalah kakak Sjahrir. Kakak Radena yang lain adalah Roehana Koeddoes.
“Aku kemudian mengikuti Bung Djohan Sjahroezah pindah ke Surabaya pada pertengahan Januari 1943. Di sana aku ikut membantu memasang pemancar (radio) gelap di Kedurus, sebuah kampung antara Wonokromo dan Sepanjang,” Des Alwi dalam Pertempuran 10 November 1945 (2012:28).
Kehadiran Des Alwi di Surabaya cukup berharga bagi Djon dan jaringan yang sedang dibangunnya. Dengan radio itu siaran berbahasa Inggris akan bisa dipantau. Ini penting karena Jepang kerap menyensor berita kekalahan mereka setelah 1943 di Front Pasifik. Djon tentu butuh banyak informasi tentang perkembangan terkini.
Apa yang dilakukan Djon bukan membangun organisasi seperti yang dilakukan kaum pergerakan sejak 1908 hingga Jepang datang. Organisasi yang boleh ada haruslah sesuai dengan kepentingan militer Jepang. Djon, disebut Riadi Ngasiran dalam Kesabaran Revolusioner Djohan Sjahroezah (2015:125), “Berkeliling secara diam-diam untuk membicarakan tujuan politik para aktivis praperang (sebelum Jepang datang), dan secara berhati-hati membagi rasa ketidakpuasan terhadap pemerintah Jepang.”
Djon juga bergerak ke luar kota untuk membangun jaringan. Di kota minyak Cepu, dekat Blora, Djon juga berhubungan dengan para pekerja, seperti yang dia lakukan di Wonokromo, Surabaya. Di Yogyakarta, Djon berjejaring dengan pelajar Sekolah Menengah Tinggi (SMT)—Dayino, Den Njoto, Kusumo Sundjojo, dan Permadi Joy—yang memotori kelompok-kelompok Pemuda Pathuk.
Bekas anggota Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Hatta-Sjahrir)—organsasi pergerakan di mana Djon pernah bergabung sebelum diubrak-abrik pemerintah kolonial dan Hatta-Sjahrir diasingkan—yang tersebar di Jawa adalah orang yang potensial untuk dihubungi. Koneksi lawas dari zaman Hindia Belanda bisa menjadi kunci untuk memperluas jaringan.
Jaringan Djon akhirnya terbangun di antara para buruh di Cepu dan Wonokromo. John Legge dalam Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan (1993:106), menyebut apa yang telah dilakukan Djon “telah meletakan landasan bagi sebuah organisasi bawah tanah yang lebih luas.”
Jika pamannya, Sjahrir, lebih banyak menghimpun orang-orang yang pernah sekolah menengah bahkan anak kuliahan di Jakarta, Djon mampu menghimpun orang-orang dengan latar pendidikan yang cukup beragam di sekitar Jawa Timur. Selama di Surabaya, Djon juga tetap berhubungan dengan kelompok mahasiswa di Jakarta.
Djon juga menjalin hubungan dengan orang-orang yang berada di luar jaringan pamannya. Ia memiliki hubungan dengan Adam Malik dan Sukarni—yang merupakan jaringan Tan Malaka. Tetangganya di Plampitan, Ruslan Abdulgani, juga jaringan Tan Malaka. Djon pernah kagum pula pada Tan Malaka.
Namun Djon tetaplah dianggap sebagai orangnya Sjahrir. “Seseorang hampir pasti mengatakan bahwa bila Djohan datang ke suatu tempat, maka ia sedang berbicara atas nama Sjahrir,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1996:428).
Setelah Amir Sjarifoeddin tertangkap oleh militer Jepang pada Januari 1943, gerakan bawah tanah yang dibangunnya juga ikut dibersihkan. Amir hampir dihukum mati tapi lolos setelah orang Indonesia yang jadi penasihat militer Jepang berhasil melobi kolega Jepangnya agar hukuman diganti penjara seumur hidup saja.
Djon, yang dekat dengan Hatta yang merupakan penasihat militer Jepang di Jakarta, tampak lebih berhati-hati hingga bisa seaman Sjahrir. Mrazek juga mencatat Djon disebut-sebut telah mengambil alih gerakan perlawanan dari Amir.
Setelah Proklamasi
Djohan Sjahroezah masih di Surabaya setelah Indonesia merdeka dan menjadi saksi Peristiwa 10 November 1945. Kolega Djon bergerak mendukung kemerdekaan, terlibat dalam Pertempuran Surabaya yang menelan banyak korban. Banyak orang rela terbunuh di sana.
“Mereka melakukan perbuatan nekad itu dalam keyakinan bahwa tewasnya mereka itu akan menumbuhkan dan memperkuat semangat perjuangan rakyat selanjutnya,” aku Djon dalam tulisannya di majalah Sikap (29/11/1953), seperti dikutip Riadi Ngasiran dalam bukunya.
Kerja Djon di kalangan buruh minyak pada zaman Jepang di Surabaya dan Cepu jauh dari kata sia-sia. Banyak buruh minyak muda adalah pendukung Republik. Merekalah yang mengusahakan perusahaan minyak dinasionalisasi. Minyak sebagai sumber energi menjadi komoditas vital sejak abad ke-20.
Di awal masa kemerdekaan, Djon menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) dan setelahnya sempat duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Setelah Belanda angkat kaki pada 1949, Djon menjadi pengurus Partai Sosialis Indonesia (PSI), partai yang sulit besar setelah Pemilu 1955 dan dibubarkan oleh Presiden Sukarno pada 1960.
Djohan yang kelahiran Muara Enim pada 1912 ini tutup usia di Jakarta pada 2 Agustus 1968, tepat hari ini 53 tahun yang lalu.
Editor: Rio Apinino