tirto.id - Beberapa minggu lalu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dan Panglima TNI menandatangani kerjasama program penguatan pendidikan karakter. Ini adalah kelanjutan dari program serupa bernama “Tentara Masuk Sekolah”, kerjasama antara Mendikbud dan Panglima TNI pada 2017.
Guna meningkatkan disiplin, semangat nasionalisme dan sekaligus untuk menangkal radikalisme di sekolah-sekolah—suatu perkembangan yang memprihatinkan belakangan ini—personel TNI akan dilibatkan untuk memberikan penguatan pendidikan karakter bagi siswa baru dari tingkat SD hingga SMA di seluruh Indonesia, antara lain melalui latihan baris-berbaris dan tata cara upacara bendera.
Dengan segala hormat kepada niat baik Mendikbud dan Panglima TNI, menurut saya itu adalah contoh kebijakan pendidikan yang salah arah, keliru orientasi. Ia harus dikoreksi.
Berpikir Logis
Tanggung jawab utama lembaga pendidikan adalah memastikan para siswa bisa berpikir logis. Dengan begitu ia pun bisa jernih mengenali dan menyelesaikan masalah. Sayangnya, itulah yang selama ini tak cukup diurus oleh sekolah-sekolah kita.
Seperti tercermin dari kebijakan di atas, sekolah kita sering begitu sibuk mengurus perkara moral, kesalehan, ideologi, nasionalisme, semangat kewirausahaan, bahkan komitmen organisasi. Semuanya dijejalkan masuk kurikulum. Sejak SD hingga Perguruan Tinggi, lembaga pendidikan kita membebani siswa dengan begitu banyak hal karena khawatir mereka kelak akan tumbuh menjadi individu yang tidak bermoral, kurang beragama, tidak modern, kurang nasionalis, gagap teknologi, radikal, minder, tak punya kepekaan sosial dan hal-hal menakutkan lainnya.
Lalu para siswa pun dipaksa untuk menanggung begitu banyak beban sambil dihantui psikologi penuh kecemasan. Dunia pendidikan kita tampak kemrungsung, nervous, ia tidak menjadi lingkungan yang membuat para siswa gembira menyambut masa depan dan mimpi-mimpi mereka dengan sikap penuh suka cita. Yang paling memprihatinkan, ihtiar menanamkan kritisisme dan cara berpikir logis yang menjadi tanggung jawab utamanya justru kurang tergarap, malah sering dikorbankan.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kita tidak usah peduli dengan macam-macam hal mengkhawatirkan yang memang terjadi di sekitar kita. Tapi sekolah bukanlah juru selamat yang bertanggung jawab mengatasi segala masalah. Harus ada pembagian peran, jangan semua dibebankan kepada sekolah. Sekali lagi, tanggung jawab utama sekolah sebagai lembaga pendidikan adalah menanamkan kritisisme dan cara berpikir logis agar para siswa tumbuh sehat menjadi manusia dengan kemampuan kognitif yang memadai untuk mengarungi kehidupan.
Lebih jauh, nasionalisme, disiplin, integritas moral, kepercayaan diri, kejujuran, kepekaan sosial, sikap toleran dan lain-lain sebetulnya bisa tumbuh sebagai buah dari olah kritisisme dan cara berpikir logis para siswa dalam proses belajar. Dengan merawat dan mengembangkan rasa ingin tahu melalui asah nalar dalam hal-hal mendasar, para siswa diarahkan untuk tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang cinta bangsa, disiplin, jujur, berintegritas moral dst.
Kenapa nasionalisme orang Amerika atau Norwegia sangat kuat, meski mereka tidak mendapat pelajaran khusus tentang itu? Kenapa disiplin orang Korea Selatan atau Jepang sangat tinggi, bahkan mereka selalu berbaris tertib ketika naik-turun kendaraan umum, meski selama di sekolah mereka tidak ada kewajiban upacara bendera rutin dan latihan baris-berbaris?
Sebaliknya kenapa nasionalisme kita selalu “mencemaskan” dan disiplin kita sangat payah, meski telah sekian lama dilatih mengikuti upacara bendera dan baris-berbaris di semua level sekolah? Apakah penambahan porsi latihan dengan melibatkan TNI dengan segala biayanya itu akan efektif?
Menurut saya tidak.
Formalitas dan Prosedur
Kita lebih banyak mengurus atribut formal prosedural “apa” itu nasionalisme dan disiplin, ketimbang “kenapa” dan “bagaimana” menginternalisi substansi keduanya untuk diwujudkan dalam kenyataan. Akhirnya, meski sudah banyak waktu dan energi kita curahkan untuk mengurus yang formal-prosedural itu, ibarat membuat kuil pasir di bibir pantai, pendidikan nasionalisme dan disiplin kita akan segera manjadi jejak-jejak yang samar ketika gelombang datang menyapunya. Lalu kita harus mengulanginya lagi dari waktu ke waktu.
Bukan hanya dalam soal pendidikan karakter, secara umum sekolah kita sekarang lebih banyak menimbuni kepala para siswa dengan fakta dan data, bukan membekali mereka dengan paradigma untuk memahami kenyataan. Para siswa digiring untuk menampung “sebanyak mungkin" hal-hal teknis, sering tak relevan, banyak yang percuma ketika kelak mereka terjun dalam kehidupan.
Jumlah mata pelajaran pada level SD kita hampir dua kali lipat jumlah mata pelajaran SD di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Siswa kehilangan banyak kesempatan untuk bertanya, mereka harus banyak menghafal. Sebelum masuk sekolah anak-anak punya begitu banyak pertanyaan dan bisa mengungkapkan pikiran dengan jelas. Semakin lama anak-anak itu sekolah, banyak yang justru jadi sulit untuk bertanya. Ketika mengemukakan pikiran, banyak yang bahasanya sulit dimengerti. Kenapa?
Siswa terlalu sering digenjot untuk menghafal begitu banyak hal tanpa benar-benar mencernanya. Kemampuan mereka pun lebih kerap diuji lewat soal-soal tes berupa pilihan ganda. Kenyataan yang rumit dan penuh nuansa disederhanakan sebagai fakta a, b, c, d yang mati untuk dipilih oleh para siswa tanpa kesempatan cukup untuk mengeksplorasi pertanyaan yang mereka punya.
Sekolah kita lebih banyak mengajari siswa dengan "kiat-kiat" menjawab soal, bukan "bagaimana" merumuskan persoalan dan berbagai kemungkinan logis mengatasinya. Sejak siswa SD hingga Perguruan Tinggi banyak siswa membaca buku "kumpulan soal" untuk mencari tips. Hanya sedikit yang benar-benar membaca buku untuk menggali ilmu pengetahuan.
Saya ulang, sistem pendidikan kita tidak cukup efektif menjalankan tanggung jawab utamanya: mengasah kritisisme dan nalar logis para siswa. Kita terlalu banyak menghabiskan waktu untuk mengurus prosedur dan formalitas, kurang mempedulikan esensi.
Yang lebih mengenaskan, situasi para pendidik pun tak jauh berbeda. Para guru dan dosen sekarang harus repot menghabiskan waktu untuk urusan administratif "borang-borang" yang melelahkan dan membingungkan. Mereka hanya punya waktu amat terbatas untuk melampaui “apa” dan menjelajah “kenapa” dan “bagaimana” buat merawat nalar logis dalam proses pembelajaran. Akhirnya, terbentuklah lingkaran setan prosedur dan formalitas yang amat menekan.
Inilah yang perlu dipahami penentu kebijakan pendidikan seperti Mendikbud.
Disiplin, Bukan Upacara
Disiplin militer seperti yang hendak ditanamkan lewat program kerjasama di atas, suatu disiplin yang mengedepankan otoritas dan pola "siap, laksanakan" tanpa banyak bertanya dalam relasi antara komandan dan anggota pasukan jelas tidak relevan. Ia bahkan berpotensi mematikan kritisisme dan daya pikir logis yang hendak dirawat dan dikembangkan pendidikan. Di luar, pergaulan global yang kita takutkan itu menuntut lahirnya individu-individu yang mandiri, lentur, kreatif, inovatif, mampu berpikir serta bersikap efektif di depan kenyataan yang beragam dan terus berubah. Tidak semestinya dunia pendidikan kita justru mengambil arah yang berkebalikan.
Disiplin di sekolah jelas diperlukan, tapi dalam bentuk ketahanan untuk merawat rasa ingin tahu dan stamina mengeksplorasinya hingga menemukan jawaban terbaik diantara berbagai kemungkinan, disiplin untuk membaca, berdiskusi, mengasah argumen, untuk berani menempuh jalan sunyi berdasarkan prinsip kebenaran yang ia temukan. Ini adalah disiplin yang digerakkan oleh kemerdekaan berpikir dan kreativitas individual. Bukan disiplin upacara bendera, bukan disiplin baris-berbaris.
Ini bukanlah disiplin "jiwa korsa" a la militer yang cenderung melucuti kemerdekaan individu demi efektifitas mobilisasi dan terlaksananya perintah atasan.
Dalam pendidikan disiplin itu mutlak harus. Disiplin militer juga baik. Tapi disiplin militer di sekolah tidaklah tepat. Jika urusan mau beres, kita perlu menyadari tugas dan tanggung jawab masing-masing. Bukan semua urusan dikerjakan oleh semua.
Kebijakan keliru Mendikbud tentang pendidikan karakter ini perlu dikoreksi demi masa depan anak-anak kita, demi masa depan bangsa.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.