tirto.id - Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin, mengusulkan agar organisasi keagamaan yang didirikan Ahmad Dahlan menolak tawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang telah disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Mei 2024.
"Saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil atau Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat daripada maslahat-nya," ucap Din Syamsuddin dalam keterangan yang diterima, Selasa (4/6/2024).
Menurut dia, Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa, bukan menjadi bagian dari masalah atau a part of the problem.
Menurut Din, pemberian konsesi tambang untuk ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dapat dinilai positif sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada mereka.
Namun, kata Din, hal demikian sangat terlambat, dan terlihat ada motif dibalik pemberian WIUPK yang terkesan untuk mengambil hati.
Din Syamsuddin bercerita sempat diminta Presiden Jokowi menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja sama Antaragama dan Peradaban. Namun, Din menolak hingga dua kali.
Saat itu, Din menyarankan Jokowi menanggulangi ketidakadilan ekonomi antara kelompok yang telah menguasai aset nasional di atas 60 persen dan umat Islam yang terpuruk dalam bidang ekonomi. Namun, Jokowi menilai usul tersebut sulit dilakukan.
"Presiden menjawab bahwa hal itu tidak mudah. Saya katakan mudah seandainya ada kehendak politik, political will," ujarnya.
Din Syamsuddin berharap pemerintah melakukan aksi keberpihakan atau affirmative actions dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tidak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu.
Ada beberapa masalah yang disoroti dari pemberian WIUPK, pertama pemberian konsesi tambang batu bara kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua Ormas Islam itu, dan tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki oleh kelompok segelintir penguasa ekonomi.
"Dunia minerba Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Sumber daya alam Indonesia sungguh "dijarah secara serakah" oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat," tuturnya.
Masalah kedua, pemberian tambang batu bara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah satu penyebab perubahan iklim dan pemanasan global.
"Saya diminta mewakili Islam meletakkan petisi kepada Sekjen PBB agar pada 2050 tidak ada lagi energi fosil. Maka, besar kemungkinan yang akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara," ujarnya.
Ketiga, pemberian tambang "secara cuma-cuma" kepada NU dan Muhammadiyah potensial membawa jebakan. Dia menyebut, sistem tata kelola tambang dengan menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah sistem zaman kolonial berdasarkan Undang-Undang Pertambangan Indische Mijnwet yang dilanggengkan dengan Undang-Undang Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan Undang-Undang Minerba Nomor 3 Tahun 2020.
"Sistem IUP ini tidak sesuai konstitusi," ujarnya.
Muhammadiyah sendiri mengaku belum mendapatkan tawaran resmi dari pemerintah tentang pemberian IUP kepada ormas keagamaan.
“Saya kira kalau tawaran secara terbuka iya, tapi kalau secara khusus seperti surat masuk itu mungkin belum ya. Saya sendiri belum tahu tentang itu. Ini akan kami godok lebih dulu secara baik,” kata Saad usai konferensi pers terkait "Edukasi Jamaah Menyambut Transformasi Haji; Sistem Pelayanan Modern Arab Saudi Wujudkan Impian lbadah Nyaman dan Aman” di Gedung PP Muhammadiyah Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/6/2024) dilansir dari Antara.
Saad menerangkan pemberian IUP merupakan hal baru bagi Muhammadiyah, sehingga pihaknya pasti akan membahas lebih lanjut mengenai aspek positif, negatif, serta kemampuan Muhammadiyah dalam menerima tawaran tersebut.
Penulis: Faesal Mubarok
Editor: Bayu Septianto