tirto.id - Hawa panas tiba-tiba menyengat manakala pengunjung tengah bersantap di Go-Food Festival, Kuningan City, Jakarta Selatan, Minggu (4/8). Raut muka mereka menunjukkan rasa tak nyaman. Beberapa bahkan sampai ada yang masuk kembali ke mal.
Usut punya usut, hawa panas tersebut ternyata berasal dari genset yang tengah dioperasikan. Lokasinya tepat di bawah area Go-Food Festival. "Ini [panas] dari genset di bawah mas," kata salah satu tenant di sana kepada Tirto.
Hari Minggu kemarin memang menjadi hari yang meresahkan bagi masyarakat di Jawa bagian Barat, terutama DKI Jakarta. Bagaimana tidak, listrik tiba-tiba padam selama lebih dari 10 jam. Di beberapa tempat, listrik padam bahkan bisa lebih dari setengah hari.
Padamnya listrik ini jelas merugikan banyak orang. Belum lagi, sinyal data juga ikut padam. Pengemudi ojek daring sampai mengeluh karena susah mendapatkan order. Alhasil, upah hariannya pun menjadi tidak maksimal.
Pelaku usaha tak ketinggalan pula ikut bersuara terkait pemadaman listrik itu. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) bahkan berencana meminta ganti rugi kepada PLN karena produktivitas mereka terganggu.
"Semua usaha yang berjalan jadi perlu mengaktifkan genset dalam waktu lama, dan ini mahal karena genset menggunakan bahan bakar," kata Wakil Ketua Kadin Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaja Kamdani, dikutip dari Antara.
Apa yang dikatakan Shinta benar adanya. Genset kebanyakan digunakan oleh para pelaku usaha, mulai dari mal, perkantoran, industri, hotel, apartemen, pabrik farmasi, hingga rumah sakit. Pemerintah pusat pun juga tak ketinggalan memakai genset.
Dalam penelusuran Tirto, selain pusat perbelanjaan di Kuningan City, genset juga menyala di sejumlah tempat lainnya, termasuk kantor pusat PLN sendiri di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
Genset memang menjadi barang yang kerap digunakan saat listrik padam. Kapasitasnya pun bermacam-macam, mulai dari skala rumah tangga 600 watt sampai dengan 1.500 watt hingga skala pabrik yang sampai ribuan kilo watt.
Data genset di DKI Jakarta pada 2009 saja menunjukkan sebanyak 88 perusahaan memiliki genset dengan kapasitas di atas 200 kilo volt, dan sekitar setengahnya memiliki genset dengan kapasitas di atas 1.000 kilo volt.
Namun demikian, seperti yang dikatakan Shinta, biaya menyalakan genset tidak kecil. Butuh puluhan atau bahkan ratusan liter bahan bakar agar genset dapat menghasilkan listrik dalam waktu satu jam. Untuk genset dengan kapasitas 300 kilo volt, ditaksir membutuhkan bahan bakar fosil sekitar 63 liter/jam. Sementara untuk genset dengan kapasitas 1.000 kilo volt, membutuhkan bahan bakar sebanyak 210 liter/jam.
Sekadar catatan, kebutuhan bahan bakar untuk genset itu—dengan asumsi penggunaan solar sebagai bahan bakarnya—diambil berdasarkan rumus 0,21 (faktor ketetapan konsumsi solar per kilowatt per jam) dikalikan kapasitas genset per kv dan dikalikan 1 (jam).
Bisa dibayangkan berapa liter bahan bakar yang harus dibakar apabila listrik padam hingga 10 jam. Apalagi, pemilik genset di DKI Jakarta juga tidak sedikit. Bahkan, minat membeli genset belakangan ini mulai tinggi pasca pemadaman. Mengutip dari Antara, toko genset di kawasan Glodok mendadak diserbu warga pada hari Minggu (4/8).
Kondisi ini tentu disayangkan dan kontraproduktif dengan komitmen pemerintah membangun pembangkit listrik ramah lingkungan. Untuk diketahui, mayoritas pembangkit listrik nasional saat ini masih didominasi dari bahan bakar fosil.
Berdasarkan data Kementerian ESDM hingga tahun 2017, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang biasanya memakai bahan bakar fosil menyumbang sekitar 50 persen dari total kapasitas terpasang sebesar 60.790 megawatt pada 2017. Khusus di DKI Jakarta, kebutuhan listrik masyarakat yang dipenuhi dari pembangkit listrik ramah lingkungan, seperti dilaporkan Kompas, baru mencapai 30 persen pada 2019.
Panel Surya Jadi Alternatif?
Lantas, adakah pilihan alternatif pengganti genset? Salah satunya adalah panel surya atau solar rooftop. Beberapa tahun terakhir ini, memasang panel surya sebagai sumber listrik alternatif memang sedang menjadi tren di dunia.
Menurut catatan Statista, pemasangan panel surya secara global dalam 10 tahun terakhir ini meningkat 15 kali lipat menjadi 102.400 megawatt pada 2018. Pertumbuhan signifikan juga terjadi di Indonesia, dari 13 megawatt pada 2010, menjadi 60 megawatt pada 2018.
Populernya panel surya dalam satu dekade ini bukan tanpa sebab. Panel surya memang memiliki beberapa kelebihan. Pertama, perangkat tersebut mampu memproduksi energi terbarukan dan ramah lingkungan. Kemudian, penggunaan panel surya secara jangka panjang tak hanya lebih hemat ketimbang membayar listrik ke PLN seperti biasanya, namun juga dalam waktu bersamaan turut mengurangi emisi karbon.
Perawatannya juga mudah dan tidak memakan banyak biaya. Panel surya hanya perlu dibersihkan dari debu dengan menggunakan air dan sabun. Ini bisa dilakukan enam bulan sekali guna menjamin panel tersebut menyerap energi matahari dengan maksimal.
Tak hanya itu, panel surya juga awet apabila dirawat secara baik. "Sebuah sistem panel surya dengan perawatan yang baik bisa bertahan lebih dari 20 hingga 30 tahun," kata Dosen Teknik Fisika ITB Brian Yuliarto kepada Tirto.
Meski begitu, panel surya juga memiliki kekurangan. Pertama, tidak ada jaminan panel surya mendapatkan paparan sinar matahari secara terus menerus. Dengan kata lain, sumber energi ini sangat bergantung pada kondisi cuaca dan waktu.
Apabila hujan atau matahari tertutup awan, suplai sumber energi tentu tidak cukup. Sehingga pada saat-saat tertentu, produksi listrik dari panel surya bisa menurun. Panel surya juga tidak bisa diandalkan ketika malam hari.
Kekurangan panel surya lainnya adalah biaya pemasangan mahal. Untuk setiap pemasangan 1 kilowatt peak (kWp), biaya yang harus dirogoh mencapai Rp15 juta atau sekitar Rp1,5 miliar untuk 100 kWp.
Harga tersebut jelas lebih mahal jika dibandingkan dengan genset berkapasitas 100 kilowatt yang harganya di kisaran Rp178 juta-Rp300 juta. Namun, perlu dicatat bahwa angka pengeluaran tersebut belum memasukkan komponen bahan bakar untuk pengoperasian genset tersebut.
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara